Rabu, 12 Januari 2011

Globalisasi Ekonomi dalam Perspektif Indonesia: Kasus Bojonegoro, Jawa Timur

*Disampaikan dalam Open Discussion "Posisi Indonesia dalam Globalisasi Ekonomi" yang diselenggarakan Laboratorium Diplomasi UPN Veteran, Yogyakarta, 17 Desember 2010.

Oleh:
  1. Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
  2. Arif Bachtiar Darmawan
  3. Defirentia One Muharomah
  4. Hestutomo Restu Kuncoro


GLOBALISASI ekonomi merupakan proses penyatuan aspek-aspek ekonomi ke dalam sebuah standar baru yang kemudian difragmentasikan ke seluruh dunia. Rosenau (2003) melihat globalisasi dalam dua kata kunci: integrasi dan fragmentasi. Sementara itu, Steger (2003) menerjemahkan globalisasi sebagai “a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, and environmental interconnections and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant”

Salah satu bentuk globalisasi ekonomi adalah mengalirnya modal dalam skala global. Dalam hal ini, perusahaan multinasional menjadi agen yang membawa modal dan faktor produksi dari negara maju ke negara berkembang yang memiliki sumber daya material dan tenaga kerja.

Globalisasi yang dianggap sebagai hal positif dalam membangun persatuan dan perkembangan ekonomi dunia, ternyata memiliki sisi ironis jika dilihat dari sudut pandang negara berkembang. Misalnya, keberadaan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan cenderung problematis dengan masyarakat lokal.

Salah satu problem yang menjadi sorotan adalah industri penambangan minyak di kawasan Blok Cepu. Di kawasan kaya minyak tersebut, ExxonMobil mengoperatori eksplorasi sumber daya minyak dan melakukan aktivitas penambangan dengan pembagian hasil dengan pemerintah pusat. Namun, dalam distribusi keuntungan antara negara dan perusahaan multinasional cenderung menjadikan masyarakat sebagai aktor yang tersubordinasi padahal mereka yang paling banyak mendapat ekses dari industri penambangan minyak.

Seringkali negara-negara merespon ekses globalisasi ini dengan regulasi negara yang begitu ketat. Akan tetapi, konstruksi negara sebagai aktor utama kini problematis karena dampak sosial dari globalisasi justru tidak hanya dialami oleh negara an sich, tetapi juga oleh masyarakat yang terimbas oleh praktik pertambangan. Relasi antar-aktor menjadi begitu kompleks.

Perspektif konstruktivisme meyakini bahwa Hubungan Internasional tidak hanya dipahami hanya dalam basis “state” sebagai aktor utama, tetapi juga patut mempertimbangkan elemen-elemen di dalam negara. Penelitian ini menggunakan tipe unit-level dalam konstruktivisme, di mana “unit-level constructivists concentrate on the relationship between domestic social and legal norms and the identities and interests of states”. Tipe ini menempatkan entitas di dalam negara –masyarakat— sebagai aktor dalam Hubungan Internasional, yang berarti globalisasi tidak hanya dirasakan oleh negara secara makro, tetapi juga entitas di dalam negara secara mikro (Reus-Smit, 2005).

Oleh karena itu, penting untuk menurunkan level analisis ke level domestik. Dalam konteks ini, globalisasi bukan hanya menjadi persoalan “bagaimana negara menyikapi globalisasi”, tetapi juga “bagaimana aktor-aktor domestik merespons”. Ketika lokus analisis berada di level domestik, aktor-aktor yang dipotret bukan hanya negara, tetapi juga unit-unit lain di bawah negara. Penelitian ini memfokuskan pada dampak-dampak globalisasi ekonomi pada ranah lokal.

Kesimpulan yang kami dapatkan, Ada tiga dampak globalisasi ekonomi yang muncul.  

Pertama, dalam banyak masalah sosial, MNC menjadi patron paling kuat. Orang yang dekat dengan MNC akan mendapatkan akses ke sumber daya ekonomi dan politik. Di sisi lain, yang tidak mendapatkan akses langsung ke MNC juga jauh dari akses sumber daya ekonomi-politik. Sehingga, struktur sosial menjadi klientelistik. MNC berada dalam posisi puncak

Kedua, dalam konteks ekonomi pedesaan, kehidupan bertumpu pada penguasaan atas tanah. MNC melakukan penguasaan sumber daya ekonomi dengan pembebasan lahan. Implikasinya tidak hanya sosial, tetapi juga ekonomi. Harga tanah menjadi tinggi, posisi tanah menjadi jauh, dan petani mesti ganti profesi. Padahal, pertanian tidak hanya dimensi ekonomi, tetapi juga sosio-kultural. Keberadan MNC seperti itu menjadi bersifat subordinatif.

Ketiga, problem lain terletak pada “shock culture” masyarakat akibat peralihan dari struktur agraris ke struktur industrial. MNC memiliki kontribusi penting bagi peralihan struktur masyarakat tersebut. Akan tetapi, ikatan budaya yang terpengaruh menjadikan masyarakat terkena gegar budaya dan jatuh pada kemiskinan serupa, walau bentuknya berbeda.

Maka, bagaimana posisi Indonesia? Jika dipandang dari perspektif unit masyarakat dalam memandang perusahaan multinasional dengan segala aktivitasnya, penting untuk menempatkan posisi negara kuat secara domestik dan tepat dalam merumuskan kebijakan di level internasional. Di level domestik, globalisasi mesti berdamai dengan lokalitas. Pada titik inilah posisi negara yang kuat diperlukan untuk menekan aktor transnasional yang masuk agar dapat sinergis dengan konservasi budaya, kesejahteraan masyarakat, dan ketenteraman sosial secara jangka-panjang.


Referensi
Choiruzzad, Shofwan A. Boundaries as Bridges: Reflection on Transnational Business Actor. Paper presented in 39th St. Gallen Symposium, University of  St. Gallen, Switzerland, 7-9 May 2009.
 
Reus-Smit, Christian. 2005. “Constructivism” dalam Burchill, Scott. et. al. Theories of International Relations. London: Palgrave, Third Edition.

Steger, Manfred B. 2003. Globalization a Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press.

Jakson, Robert and Sorensen, Greg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar: