Rabu, 05 Januari 2011

Membaca Kembali Tauhid Sosial: Dari "Aqidah" ke "Siyasah"

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

"Setiap yang ada di dalam dunia ini akan lenyap, dan yang kekal hanyalah Dzat wajah Allah, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan” (Q.S. Ar-Rahman: 27, dikutip dari Buya Hamka)

Seandainya kalian menyaksikanku dalam kebenaran, maka ikutilah. Tetapi jika kalian menyaksikanku telah menyimpang, luruskanlah!(Abu Bakar Ash-Shiddiq)



Hal apa yang menjadi dasar dari keberagamaan kita? Pertanyaan tersebut akan muncul jika kita merenungkan kembali makna tujuan kita beragama Islam. Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan tersebut, jawabannya takkan lepas dari satu istilah penting yang menjadi dasar utama agama Islam: Aqidah Islam.

Aqidah adalah fondasi agama Islam yang paling fundamental. Setiap muslim mesti memiliki aqidah yang benar, sebagai persyaratan seseorang untuk menjalankan amal dalam Islam. Al-Qur’an dalam konteks memerintahkan kita untuk mengakui bahwa Allah itu esa, tidak ada tuhan selain Allah. Juga, bahwa Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang mampu menciptkan sesuatu selain Allah (Q.S. Al-Ikhlas 1-4). Hal inilah yang mendasari bahwa keislaman seseorang dimulai dari keyakinan terhadap Allah SWT.

Dengan demikian, elemen paling substansial dalam aqidah Islam adalah tauhid, atau mengesakan Allah. Semua unsur akidah harus bermuara dari konsep ini. Maka, ketika kita ingin menjawab pertanyaan di atas, kita akan menemukan sebuah jawaban: Keyakinan kepada Allah-lah yang mendasari keislaman kita. Sebagai konsekuensinya, ketauhidan seseorang akan menjadi kunci penting dalam aktivitas keberagamaannya.


A. Konsepsi Tauhid

Secara etimologi, aqidah berasal dari kata ‘aqada-yaqidu-‘aqdan-‘aqidatan, yang berarti keyakinan (Ilyas, 1992). Adapun tawhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan, kurang lebih diterjemahkan sebagai keesaan. Artinya, keyakinan kita kepada Allah akan dimulai dari sebuah pemahaman, bahwa Allah itu esa. Pemahaman ini akan berlanjut pada proses mengimani dan mengambil konsekuensi dari keyakinan tersebut.

Para ulama membagi tauhid menjadi tiga tingkatan: tauhid rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah (Ilyas, 2002). Awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.

Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, setidaknya ada empat hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam implementasi tauhid, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan magis-tradisional).

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari.

Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah, seperti pernah terjadi di SMKN 3 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga di sekolah penulis dulu. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.


B. Konsekuensi Tauhid

Bagaimanakah konsekuensi dari tauhid? Setidaknya, menurut penulis, ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah.

Pertama, melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Konsekuensi dari keimanan bahwa Allah adalah khaliq, sebagaimana penulis jelaskan di atas, adalah menjalankan ibadah. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini, aktivitas manusia pada hakikatnya adalah beribadah kepada Allah, baik dalam konteks ritual maupun sosial.

Ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Dengan demikian, dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tatacara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sabda Rasulullah, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku, maka ia tertolak” (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-5).

Dari hadits tersebut, tentu saja kita dilarang untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh Allah dalam persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat ritual (ibadah mahdhah) harus memiliki legitimasi nash dari dua sumber primer hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak memiliki dalil yang kuat, kita patut berhati-hati

Banyak bentuk dari bid’ah yang bertebaran di masyarakat. Aktivitasnya tak perlu penulis sebutkan di sini, karena masalah ini telah menjadi perdebatan klasik di antara umat Islam sejak dulu. Akan tetapi, mengingat masalah ini jelas menjadi persoalan besar, perlu pendekatan khusus untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya dakwah bil hal kepada masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai Islam.

Sedangkan untuk ibadah ‘ammah (muamalah), kaidah ushul fiqh yang berlaku justru terbalik. Pada titik inilah ijtihad bermain. Sehingga, tajdid (pembaharuan) memainkan peranan yang begitu penting dalam pelaksanaan muamalah ini. Masalah-masalah yang meragukan kesyar’ian-nya, memerlukan penelaahan dan kajian mendalam oleh para ahli, baik ahli fiqh muamalah atau pakar pada bidangnya. Sehingga, konsep muamalah-lah menaungi aktivitas-aktivitas sosial yang kita lakukan selama ini.

Jika kita kembangkan masalah ini secara lebih jauh, aktivitas politik pun tak lepas dari persoalan ibadah ini. Aktivitas politik (siyasah), merujuk pada Al-Mawdudi, pada hakikatnya diletakkan atas dasar tauhid sebagai penopang utama. Abul A’la Al-Mawdudi mendasarkan siyasah islamiyyah atas tiga prinsip dasar: tauhid, risalah, dan khilafah (lihat Syam, 2005). Aktivitas politik kemudian kita maknai sebagai upaya membangun relasi positif antara umat (rakyat) dan imam (pemimpin) atas dasar keimanan pada Allah.

Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya, kita juga harus mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Dr. Amien Rais pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan (Rais, 1997).

Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.


C. Syirik Aqidah: Antitesis Tauhid

Ketika berbicara mengenai tauhid sebagai unsur paling sentral dalam membangun fondasi keberagamaan, kita akan berbicara pula mengenai lawan dari istilah ini.

Jika tauhid merupakan unsur paling sentral, maka lawan atau antitesis dari kata tauhid ini jelas adalah “kesesatan” paling sentral dalam Islam. Perilaku yang akan meruntuhkan keislaman seseorang. Perilaku yang bahkan disebut oleh Al-Qur’an sebagai dosa yang takkan diampuni oleh Allah selama pelakunya belum bertaubat.

Antitesis dari Tauhid –unsur yang paling esensial dalam Aqidah Islam—adalah Syirik, menyekutukan Allah. Perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang tak diampuni oleh Allah (Q.S. An-Nisa: 48). Di ayat lain, Allah menyebut bahwa perbuatan syirik merupakan kezaliman yang besar (Q. S. Luqman: 13). Sehingga, tidak salah jika kita menempatkan syirik sebagai ‘penyakit mematikan’ no. 1 dalam Aqidah Islam.

Syirik dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dari segi rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah. Yunahar Ilyas (1992: 70) menjelaskan tiga dimensi tersebut secara jelas. Penulis mencoba untuk menyarikan tiga poin dari dimensi tersebut.

Pertama, syirik secara rububiyah tergambar dari perilaku meyakini adanya makhluk yang mampu memberi manfaat atau mudharat atas segala sesuatu. Perilaku yakin pada azimat, kesaktian para “wali”, hingga meminta tolong pada orang yang sudah meninggal karena ada keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu.

Kedua, syirik secara mulkiyyah tergambar dari perilaku meyakini dan mematuhi perintah-perintah pemimpin yang bertentangan dengan perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, atau justru sebaliknya. Dalam konteks Mulkiyyah ini, perilaku yang dimaksud adalah menjadi bagian dari pemimpin yang jelas-jelas menyalahi perintah Allah dan mematuhi sepenuhnya, bahkan mendukung pemimpin tersebut. Keterpaksaaan, menurut Prof. Dr. Yunahar Ilyas, bukan bagian dari perilaku ini.

Ketiga, syirik secara Ilahiyah tergambar dari perilaku berdoa kepada Allah melalui perantara orang yang sudah meninggal. Atau, berdoa kepada Allah dengan perantara berhala-berhala. Syirik ilahiyah ini juga tergambar dari pemahaman keliru mengenai tawassul, sebagaimana sering diperdebatkan di kalangan umat Islam Perilaku ini merupakan defisit ilahiyah, dan sebenarnya juga terjadi pada kaum Quraisy di era Rasulullah SAW.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari (HR. Muslim). Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.

Dalam konteks masyarakat yang masih berciri tradisional, “dukun” merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem religius masyarakat yang masih terpengaruh faham animisme-dinamisme. Di beberapa lokasi di Indonesia, keberadaan dukun merupakan warisan dari era sebelum masuknya Islam. Sehingga, keberadaan dukun menjadi tak bisa dihilangkan sepenuhnya.

Ketika Indonesia bertransformasi ke dalam modernitas, “dukun” pun juga turut memodernisasi diri dengan mengubah istilah: “paranormal”. Akibatnya, praktik masyarakat pra-Islam seperti ini juga menjadi tak terhindarkan, kendati aktivitas ini merupakan “virus” aqidah yang mematikan.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Hal-hal tersebut merupakan bentuk dari “Syirik ‘Aqidi” yang tergambar secara jelas dan langsung dapat kita lihat. Dalam konteks di atas, berhala fisik telah dikategorikan oleh Allah sebagai salah satu bentuk dari kesyirikan. Akan tetapi, bagaimana dengan “berhala-berhala modern” yang muncul seiring bergeraknya zaman? Bagaimana dengan berhala-berhala politik seringkali tak kita sadari muncul dalam aktivitas politik?


D. Antitesis “Tauhid Sosial”

Jika logikanya tauhid mesti ditransformasikan ke dalam hal-hal yang sifatnya sosial, maka kelima dimensi tauhid sosial tersebut akan memiliki antitesis atau lawan masing-masing. Antitesis tersebutlah yang penulis sebut sebagai “syirik sosial”. Perilaku-perilaku tersebut merupakan konsekuensi dan turunan dari perilaku syirik, dan dalam konteks sosial merupakan kategori perbuatan maksiat. Karena, dalam aktivitas sosial, seringkali muncul perbuatan-perbuatan maksiat di jalan Allah, yang sebenarnya berakar dari perilaku menyekutukan Allah.

Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah memiliki antitesis yaitu perilaku menjadikan sesuatu hal sebagai berhala. Antitesis dari poin pertama ini tergambar dari praktik-praktik yang telah penulis jabarkan di atas. Konsekuensi dari jenis syirik pertama ini adalah syirik kabir, syirik yang besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Masalah syirik ini telah penulis jabarkan di atas.

Kedua, kesatuan penciptaan, atau yakin bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah, memiliki antitesis berupa perilaku menduakan Allah. Menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang dapat menciptakan makhluk. Menganggap rendah makhluk hidup lain karena asal penciptaan dan bentuk fisiknya. Atau, menganggap bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya.

Inilah pemaknaan falsafi keliru yang sama sekali tidak bertumpu pada pemahaman tauhid. Perilaku seperti ini tergambar dari perilaku Iblis, yang tak mau bersujud kepada Adam, lantaran Adam diciptakan dari tanah dan Iblis dari api, meskipun Allah telah memerintahkannya. Perilaku ini masih terkait dengan syirik kabir di atas.

Ketiga, kesatuan kemanusiaan antitesisnya adalah perilaku zalim terhadap makhluk Allah yang lain. Pemahaman bahwa adanya kesatuan penciptaan, yang berarti semua makhluk yang diciptakan oleh Allah adalah sama –yang berbeda hanya ketakwaannya— mengimplikasikan perilaku adil kepada semua makhluk. Tak ada garis batas agama. Semua makhluk, baik yang beriman kepada Allah atau tidak, harus diperlakukan secara adil.

Allah sendiri memerintahkan kita untuk berbuat adil dengan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (Q. S. An-Nisa: 58) Dalam konteks sosial, perilaku adil memiliki antitesis zhalim, menindas orang lain. Poin kesatuan penciptaan jelas tidak membiarkan adanya perilaku menindas dari suatu makhluk kepada makhluk lain.

Keempat, kesatuan petunjuk. Pada level ini, antitesisnya adalah mencari petunjuk-petunjuk lain selain yang diberikan oleh Allah. Dalam pemahaman yang sederhana, perilaku syirik jenis ini tergambar dari sikap tidak beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. T

Akan tetapi, jika kita pahami secara lebih kompleks, perilaku syirik jenis ini dapat kita lihat pada perilaku menjadikan “isme-isme” lain yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk, dan menjadi pengikut setia dari “isme” tersebut. Anjuran sinkretisme kontemporer dengan sekularisme, pluralisme agama, atau liberalisme menjadi sebuah gambaran perilaku syirik jenis ini. Pemahaman ber-Islam yang disinkretiskan, diputar-balik pemahamannya, atau dipelintir konteksnya, menjadi sebuah pemahaman yang sarat dengan syirik sosial.

Kelima, kesatuan pedoman hidup, atau keyakinan atas Allah sebagai orientasi dan tujuan hidup, memiliki antitesis berupa materialisme, perilaku menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tujuan hidup. Perilaku syirik sosial ini yang seringkali kita hadapi dalam realitas sosial.

Terkadang, dalam beraktivitas sosial, manusia lupa bahwa hidup ini hakikatnya adalah menyembah Allah, dan orientasi hidup harus mengacu pada ta’abbudi ilallah. Ketika bekerja, manusia lupa bahwa bekerja adalah sarana ibadah, sehingga orientasinya hanya uang. Dalam aktivitas politik, kekuasaan membutakan para pelaku politik, hingga akhirnya mereka lupa bahwa berpolitik itu adalah untuk menegakkan kalimat Allah agar menjadi tinggi. Hingga, uang dan kekuasaan menjadi “berhala” baru.

Di sinilah perilaku syirik sosial muncul. Orientasi hidup menjadi penting. Sebuah keyakinan mesti ditanamkan bahwa manusia hidup untuk mencapai ridha Allah dan untuk beribadah kepada Allah dengan varian-varian ibadahnya, bukan untuk mengabdi kepada makhluk-Nya.

Kelima antitesis dari unsur tauhid sosial inilah yang penulis sebut sebagai syirik sosial. Ketika lima sikap ini menyaru dalam kehidupan sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Amien Rais (1997), terjadilah patologi-patologi. Makna Islam tak lagi menjadi visi hidup masyarakat muslim. Terjadilah sekularisasi perlahan-lahan, sehingga jika virus syirik sosial ini tidak dihilangkan, akan muncul implikasi-implikasi yang lebih kompleks.

KH. Ahmad Dahlan dulu mengkontekstualisasikan ketauhidan dalam bentuk kampanye Anti-TBC. Fenomena Takhayul, Bid'ah, dan Khurafat menggerogoti aqidah umat karena menjadi bagian dari kepercayaan. Oleh karena itulah, Ahmad Dahlan dan murid-muridnya seperti Hasjim, Syuja', dan Fahruddin, lantas bergabung Mas Mansyur dan Sutan Mansyur, mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Gerakan ini bersifat modernis karena melawan tradisionalitas yang menyimpang dari aqidah.

Muhammadiyah berada dalam seting waktu abad ke-20. Pada waktu itu, seting sosial-politik adalah seting kolonial, dan umat sebagai "kawula" berada dalam posisi marjinal. Akibatnya, kondisi "tertindas" tersebut mengakibatkan penyimpangan aqidah. Ini yang kemudian menjadi sebab Muhammadiyah begitu giat memerangi Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) tetapi melakukannya dengan cara yang sangat mengakar, yaitu mendirikan sekolah dan rumah sakit kepada masyarakat miskin.

Ahmad Dahlan memperkenalkan cara berpikir yang sederhana: mengamalkan perintah Allah dalam Al-Qur’an secara nyata. Dalam konteks ini, Ahmad Dahlan mengajarkan murid-muridnya Surah Al-Ma’un secara berulang-ulang. Sudah barang tentu, murid-muridnya bertanya. Ahmad Dahlan kemudian menjawabnya dengan sederhana: “sudahkah surah tersebut diamalkan?”

Ahmad Dahlan kemudian mengajak murid-muridnya ke pasar dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari mereka, lantas pergi ke tempat orang-orang miskin dan memberikan barang-barang tersebut kepada mereka. Tak cukup sampai di situ, Ahmad Dahlan juga mengajak murid-muridnya untuk memelihara anak-anak yatim yang miskin, sebagaimana dipesankan dalam surah Al-Ma’un tersebut.

Artinya, Ahmad Dahlan mengajak kita untuk mengejawantahkan ajaran tauhid dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuknya yang sangat praksis dan implementatif, yaitu pengamalan nyata.


E. Membumikan Tauhid dalam Politik

Lantas, bagaimana relevansi tauhid dengan perilaku politik, terutama perilaku politik masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim? Jelas, perilaku politik mesti berakar dari pemahaman tauhid yang benar dan komprehensif. Tauhid tidak hanya menjadi simbol dalam aktivitas politik, dengan hanya menggunakan atribut-atribut Islam sebagai nama atau asas partai politik, misalnya, tetapi juga harus ditransformasikan ke dalam aktivitas-aktivitas politik. Fatsoen politik mesti ditegakkan.

Kesadaran kasip bahwa politik adalah bagian dari perubahan menuju masyarakat yang lebih baik, juga mesti dibangun. Syariah sebagai sistem ajaran juga mesti dipegang teguh. Semuanya didirikan atas dasar tauhid, sebagai landasan sentral.

Demikian pula, ketika kita menyatakan bahwa tauhid mesti ditransformasikan dalam aktivitas politik, mesti pula disadari bahwa ada pula perilaku-perilaku negatif yang merupakan antitesis dari tauhid. Perilaku syirik sosial sebagaimana penulis ulas di atas, terkadang kita jumpai dalam kehidupan politik. Akibatnya, muncul politisi korup. Patologi politik merajalela. Pragmatisme politik pun kian menjadi-jadi.

Mengacu pada konsep “Tauhid Sosial” yang telah digulirkan oleh Prof. Dr. Amien Rais dalam beberapa tulisan beliau, penulis mencoba untuk mengidentifikasikan perilaku “Syirik Politik” yang rawan sekali terjadi dalam konteks Indonesia. Gagasan ini mungkin hanya mencakup segelintir dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi menjadi patologi politik.

Pertama, orientasi politik tidak lagi agar kalimah Allah menjadi lebih tinggi, melainkan agar “berhala-berhala politik” yang ia yakini tetap bertahan dan menjaga posisinya. Ketika seseorang memegang tampuk kepemimpinan, syirik politik menjelma dalam bentuk kekuasaan, uang, dan syahwat politik yang tinggi. Akhirnya, perilaku politiknya hanya untuk mengamankan posisi kekuasaan. Kekuasaan tidak digunakan untuk memperbaiki hajat hidup umat Islam, melainkan untuk mendapatkan keuntungan material. Perilaku korupsi menjadi begitu lumrah, dan ketidakadilan dianggap sebagai suatu kemestian. Sehingga, kekuasaan pun menjadi berhala.

Syirik politik jenis di atas terjadi pada orientasi. Di sinilah letak relevansi dari hadits riwayat Umar ibn Al-Khattab, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan tiap-tiap urusan bergantung pada apa yang telah ia niatkan (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-1). Ketika niat tidak lagi bergantung pada Allah, muncul maksiat. Syirik Politik ini akan membuat perilaku-perilaku tidak lagi mempertimbangkan maslahat-mudharat atau syar’i-tidaknya lagi.

Kedua, munculnya “kezaliman politik”. Bentuk syirik politik kedua adalah adanya penindasan dari the ruling class (kelas yang berkuasa) kepada subordinated class (oposisi). Potret penindasan ini muncul dalam bentuk kooptasi dari partai yang memiliki kekuatan massa besar kepada kelompok oposisi. Atau, penindasan kepada rakyat dengan kebijakan-kebijakan berkedok konglomerasi dan oligarkhi.

Praktek otoritarianisme, di mana kebebasan dibungkam dan aktivis-aktivis Islam yang menyuarakan aspirasinya ditangkap, justru berlawanan dengan konsep tauhid sosial, di mana setiap manusia yang merupakan ciptaan Allah memiliki hak dan kedudukan yang sama. Kezaliman politik hanyalah bentuk kesombongan dan deklarasi atas kefanaan manusia.

Padahal, potret Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab saja membuka partisipasi masyarakat dengan luas, selama masih berada di atas koridor Al-Qur’an dan Hadits. Khalifah Abu Bakar, dalam pidato politiknya ketika baru terpilih sebagai Khalifatul-Muslimin, menyatakan bahwa, “Seandainya kalian menyaksikanku dalam kebenaran, maka ikutilah. Tetapi jika kalian menyaksikanku telah menyimpang, luruskanlah!”.

Senada dengan Abu Bakar, Khalifah Umar setelah terpilih menjadi Khalifah juga menyatakan, “Dan saya adalah salah seorang di antara kalian.... Barangsiapa melihat penyimpangan dalam diriku, maka luruskanlah! (lihat Masyhadi, 2005).

Dengan demikian, potret yang ditunjukkan Khalifah adalah bahwa partisipasi publik dibuka dengan begitu luas, selama berada dalam koridor Islam. Kezaliman politik dengan membungka suara-suara kritis atau menangkapi para kritikus tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Bahkan, jika kebijakan yang keluar bertentangan dengan perintah Allah, perbuatan tersebut mengarah pada kesyirikan yang lebih besar.

Ketiga, menyadarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam dalam aktivitas politik. Dalam konteks ini, kita patut berpikir secara kritis. “isme-isme” yang penulis maksud pada dasarnya bukan simbol dan atribut politik, tetapi substansi ide dan garis kebijakan yang dianut.

Dalam berpolitik, para politisi dan pengambil kebijakan harus memahami garis-garis larangan yang telah diberikan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau Hadits. Syirik politik muncul ketika garis kebijakan yang ada justru menyalahi rambu-rambu Al-Qur’an.

Banyak formulasi kebijakan ekonomi (baik yang diambil pemerintah atau tidak) yang mengarah pada aktivitas riba. Ketika para politisi mengambil kebijakan yang mengarah pada riba tersebut secara sadar dan dengan arogansi tertentu, ia telah menyandarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam. Alternatif UU pun ada yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Ketika jenis kebijakan tersebut diambil secara sadar dan menafikan ketentuan dalam Islam secara arogan, ia akan terjatuh pada syirik politik.

Seringkali, kelompok yang menggunakan atribut Islam pun terjatuh, karena para politisinya tidak memahami esensi kebijakan yang ada. Contoh konkret yang dapat penulis berikan dalam konteks ini adalah pada panitia anggaran. Di sini, para politisi mesti cermat dengan substansi anggaran, agar tidak mengandung unsur-unsur yang memperkaya diri. Ketika seorang politisi membuat anggaran yang memiliki unsur tersebut secara sadar, secara otomatis ia akan jatuh pada syirik politik. Hal inilah yang perlu dihindari oleh para politisi muslim.

Islam mengenal istilah akhlaq sebagai basis moral. Akhlaq Islam bersifat universal, dan memiliki satu basis: ketauhidan pada sang khaliq. Tauhid kepada Allah diejawantahkan dengan berperilaku etis terhadap sesama manusia. Untuk itulah tauhid dalam konteks berperilaku sesame manusia, diderivasikan dalam bentuk akhlaq. Secara lebih jauh, ada terminologi “tauhid sosial” yang pada intinya juga menerapkan akhlak Islami kepada semua manusia.

Rasulullah menyatakan, “innamal bu’itstu liyutammima makaarimal akhlaq”. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Maka, peran profetis pengikut Rasulullah sendiri sangat kental dengan etika dan moral, bukan lantas merelatifkannya pada unit analisis yang individualistis.

Dengan kata lain, Islam mengintegrasikan etika dalam kehidupan serta menguniversalkan moralitas dengan basis Qur’ani. Era pascamodern tidak lantas membuat umat harus mengabsurdkan diri dalam realitas atau justru mencari pegangan-pegangan baru, tetapi justru berpegang pada basis moralitas yang universal tersebut.


F. KAMMI dan Tauhid Sosial

Paradigma gerakan KAMMI yang pertama adalah gerakan dakwah tauhid. Dalam konteks realitas pascamodern, apa konstruksi utama dari gerakan dakwah ini ketika dimunculkan ke masyarakat? Tafsir pertama memberikan jawaban: pembebasan manusia atas penghambaan kepada selain Allah dan mengembalikannya kepada Allah. Dengan demikian, spirit yang dibawa oleh KAMMI adalah spirit dekonstruksi dengan tools tauhid.

Secara operasional, hal ini mengisyaratkan KAMMI untuk menjadi gerakan yang berpikir mengakar dan mampu melakukan pembongkaran atas realitas yang dinilai menabrak pilar tauhid, termasuk juga membongkar fenomena-fenomena sosial kontemporer yang meniadakan unsur etika dan akhlaq Islami di dalamnya. Seluruh realitas harus dipandang dalam kacamata keberpihakan dan etis, bukan justru menganggap realitas sosial sebagai objek. KAMMI adalah bagian dari realitas dan mesti menentukan keberpihakan secara tegas, kepada kelas sosial mana ia berpihak.

Maka, dalam konstruk realitas pascamodern dewasa ini, bagaimana KAMMI menghadapi persoalan aqidah?

Era pascamodern adalah era degradasi etika, moral dan spiritual. Akal dipertuhankan. Dunia menjadi begitu materialistik.Unsur ketuhanan dan kemanusiaan dipisahkan (disekulerkan). Maka, tugas KAMMI yang terpenting adalah mengembalikan etika dan nilai ketuhanan tersebut.

Dalam basis epistemologi, dakwah KAMMI -apapun bentuknya- adalah dakwah yang mengarahkan manusia untuk kembali pada hakikat eksistensinya, yaitu "Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un". Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali pulang kepada Allah.

Artinya, KAMMI mesti mendasarkan seluruh program dan aktivitasnya atas dasar tauhjid. Oleh karena itu, paradigma pertama, yaitu dakwah tauhid ini menjadi determinan dari ketiga paradigma lain. Sebagai intelektual profetik, aktivis sosial, maupun gerakan politik, gerakan KAMMI akan dideterminasi oleh variabel "tauhid" ini. Maka, wajar jika peran kader KAMMI dalam apapun wajah dakwahnya, adalah gerakan untuk mengintegrasikan nalar wahyu (Allah) dan nalar akal (manusia).

Hal yang patut kita baca dari paradigma gerakan KAMMI adalah munculnya tafsir kedua dan ketiga sebagai implikasi tafsir pertama, yaitu integrasi tauhid dalam tata peradaban manusia yang universal serta menyebarkan nilai kebaikan yang universal tersebut ke masyarakat (amar ma’ruf nahi munkar).

Dengan demikian, tafsir kedua ini mengisyaratkan adanya universalisme moral Islam –dengan landasan tauhid— dalam perilaku sosial, atau menurunkan dimensi tauhid ke dalam perilaku bersosial dengan manusia. Tauhid tidak sekadar mengucap dua kalimat syahadat an sich, tetapi juga harus diaplikasikan dalam lakon-lakon perilaku sosial.

Prof. Amien Rais ketika masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat.

Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah. Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar.

Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Inilah dimensi sosial dari tauhid yang disebut amal shalih.

Artinya pula, tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. Karena KAMMI sedikit banyak berkecimpung dalam politik kampus atau pemerintahan mahasiswa –sebagaimana disebutkan oleh Amin Sudarsono— hal ini juga akan sangat terkait dengan pengelolaan kekuasaan yang dimiliki ketika berada di ruang publik.

Konkretnya, kader-kader KAMMI yang hadir dan duduk sebagai punggawa publik –pengurus lembaga kemahasiswaan— juga mesti etis dalam bersikap. Sikap politik KAMMI dengan demikian bukan untuk meneguhkan kekuasaan dan tidak sama sekali berorientasi pada upaya mempertahankan kekuasaan dalam jangka waktu yang terlampau lama hingga menjadi rezim “batu” yang menjadikan KAMMI seperti musuh bersama” bagi gerakan mahasiswa lain hanya karena monopoli kekuasaan publik terlampau lama.

Jika tauhid sudah menjadi etika dan mengejawantah ke persepsi kader KAMMI mengenai realitas, maka yang mesti dilakukan kader KAMMI di lembaga publik adalah menjadikan lembaga tersebut rumah yang nyaman bagi semua entitas gerakan. Persoalan bukan “bagaimana menguasai”, tapi bagaimana “menguniversalkan visi”. Catatan ini penting karena selama ini banyak kader KAMMI yang terpilih sebagai punggawa publik tetapi akhirnya kehabisan energi hanya untuk mempertahankan kedudukannya itu. Refleksi tentu perlu dilakukan.

Selain itu pula, konsensus dan deliberasi harus dibuka dengan organisasi lain. Ukhuwah harakiyyah –lintas gerakan— sebagaimana pernah digagas oleh Amin Sudarsono juga harus dikampanyekan. Pada titik publik, upaya rekonsiliasi dan “gagas bersama” antargerakan mahasiswa Islam adalah hal yang sangat patut diupayakan.


G. Kesimpulan: Menuju “Manusia-Tauhid”?

Dengan demikian, pemutus kebijakan dan para politisi pun patut waspada terhadap gejala syirik politik ini. Menurut Masyhadi (2005), seorang pemimpin sejatinya memiliki minimal dua sikap, yaitu amanah (kredibel, mampu dipercaya) dan profesional. Dua sikap ini mengacu pada hadis nabi, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Di sinilah pentingnya memilih para politisi yang benar-benar memiliki kompetensi dan kredibilitas. Karena, syirik politik akan muncul ketika dua hal ini tidak dimiliki oleh para politisi dan pemutus kebijakan. Dengan adanya sikap dan orientasi yang bersandar pada tawhid (mengesakan Allah), patologi-patologi politik akan dapat direduksi.

Maka, tauhid menjadi penting untuk diintegrasikan ke dalam segenap aktivitas politik. Hal ini tentu saja memerlukan kerja yang panjang, terarah, serta ikhlas dalam tahun-tahun ke depan. Pembangunan karakter memiliki porsi yang begitu signifikan. Pembangunan sistem politik yang mapan juga penting. Untuk itulah, pendidikan tauhid yang transformatif kepada umat Islam menjadi penting. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, mari membangun perilaku politik yang sejalan dengan Islam.


Bahan Bacaan

Al-Qur’an Al-Karim.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).

Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

_________. Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir (Bandung: Mujahid Press, 2004).

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali pada Syariah (Jakarta: Usamah Press, 2001).

Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Imam Nawawi. Arba’in An-Nawawiyah.

Mukti Ali. “Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah Lama Terjual” dalam Nasir Tamara., Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari (eds.) Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)

Anang Rizka Masyhadi. Hadist-Hadist Politik: Aktualisasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial dan Politik (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003).

Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 1992).

Syamsul Anwar, “Makna dan Konsep Islam secara Etimologis dan Terminologis”, dalam Dien Syamsuddin, et. al. Pemikiran Muhammadiyah: Respons terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005).

Osman Ralliby. Ibn Chaldun tentang Masjarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1963).

Amin Sudarsono. Ijtihad Membangun Basis Gerakan (Jakarta: Muda Cendekia, 2010).


*Penulis adalah Mahasiswa Fisipol UGM, asal Banjarmasin

Tidak ada komentar: