Rabu, 05 Januari 2011

Dari Filsafat Jerman ke Revolusi Proletariat: "The German Ideology"

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar


Communism differs from all previous movements in that it overturns the basis of all earlier relations of production and intercourse, and for the first time consciously treats all natural premises as the creatures of hitherto existing men, strips them of their natural character and subjugates them to the power of the united individuals.” (Karl Marx)

A. Pendahuluan

PERGULATAN intelektual seorang Karl Marx, ideolog sosialisme paling masyhur yang hidup pada abad ke-19, memang memiliki daya tarik tersendiri. Sebab, selain berada di antara dua tarikan aliran filsafat besar abad itu –materialisme dan idealisme— ia juga telah memiliki basis rasional terhadap apa yang selama ini dianggap sebagai utopia dalam memandang sosialisme, baik dari era Babeuf sampai Hegel. Hal-hal tersebut dapat dibaca dari analisis Marx muda yang tercantum dalam bukunya, “The German ideology”.

Buku The German Ideology merupakan kritik atas ideologi yang sangat khas Hegelian. Pengaruh-pengaruh filsafat Hegelian yang menjadi dasar ideology dari kehidupan di Jerman pada waktu itu. Filsafat Hegelian sangat bertipe idealistik; ia bertumpu pada kesadaran manusia dan dialektika di alam-fikir, jauh dari realitas. Dalam bahasa Marx, filsafat model ini “descends from heaven to earth” (h. 47). Karena abai dengan realitas, Marx berpaling pada tesis lain yang menurutnya sangat relevan sebagai alat untuk membongkar realitas: Materialisme.

Di sisi lain,pada waktu itu hidup seorang filsuf bernama Ludwig Feuerbach, yang menawarkan tesis-tesis lain soal ideologi. Ia merupakan antithesis dari idealism Hegel. Filsafat a la Feuerbach disebut oleh Marx sebagai proses yang, “descends from earth to heaven”. Artinya, ia bertitik pijak pada realitas material, dan bukan pada pergulatan alam pikir. Oleh karenanya, Ia menyajikan alam dan kehidupan nyata yang menjadi pendekatan utama dalam memandang realitas.

Artikel ini akan mengulas analisis Marx mengenai tesis-tesis Feuerbach, yang mengantarkan Marx pada analisis mengenai ideology, negara hingga . Ini mengawali pergulatan intelektual Marx yang akan menjadi titik tumpu utama di masanya ke depan.


B. Tentang Proses-Proses Material

Marx membukanya dengan analisis mengenai proposisi materialis. Sejarah, menurut Marx, pada hakikatnya adalah cerita mengenai eksistensi individu manusia (h. 42). Sementara itu, eksistensi individu manusia, adalah bagaimana manusia melakukan proses-proses produksi, sebagai alat untuk bertahan hidup. Produksi sendiri, dalam maknanya yang paling sederhana, adalah proses menghasilkan sesuatu dan mengolahnya untuk kepentingan sendiri secara otonom. Produksi kemudian menjadi titik tolak dari argumen Marx tentang realitas. Produksi mendeterminasi intercourse –hubungan dua pihak— yang mewarnai masyarakat, strata sosial, atau kelas. Ia juga mendeterminasi pekerjaan manusia hingga melahirkan konsep mengenai keterasingan (alienasi). Proses produksi diiringi oleh sebuah konsep lain dari manusia, yaitu intercourse atau hubungan sosial. Artinya, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dan dengan demikian berproduksi secara kolektif pula.

Oleh karena itu, sejarah bukan dibentuk oleh proses dialektika yang bertumpu pada gagasan di alam pikir –sebagaimana kata Hegel— tetapi justru dibentuk oleh proses produksi manusia di alam nyata. Produksi kemudian berimplikasi munculnya pembagian kerja (division of labour), serta pada perkembangannya menyebabkan munculnya hak-milik (ownership). Sebagai sebuah proses sejarah, hak-milik dibagi oleh Marx ke dalam tiga bagian.

Pertama, hak milik kesukuan (tribal ownership), yaitu tahap manusia berburu dan memancing, dengan karakter khas patriarkhi dan kekerabatan yang sangat kuat. Kedua, hak milik komunal (masyarakat) dan negara. Basisnya adalah persekutuan suku, dan diikuti oleh perbudakan. Bentuk hak milik ini melahirkan antagonism. Ketiga, hak milik feudal. Antagonisme berkembang tidak hanya pada konteks budak dan tuan, tetapi juga pada bentuk buruh-majikan dan penguasa-rakyat. Feodalisme yang bertitik sentral pada “penguasaan tanah” menjadikan kelas itu dideterminasi oleh siapa pemilik sumber daya. Pada perkembangannya, sumber daya tidak hanya tanah, tetapi juga mesin-mesin. Itulah yang dinamakan dengan faktor produksi sebagai determinan adanya kelas-kelas di masyarakat.

Dengan premis-premis tentang sejarah sebagai proses material tersebut, kita kemudian sampai pada makna kehidupan dan kesadaran. Pertanyaan yang muncul, apakah hidup mendeterminasi kesadaran, atau justru sebaliknya? Dengan basis materalis yang diurai oleh Marx, kesimpulan yang didapat adalah hidup mendeterminasi kesadaran. Sebab, kehidupan adalah sebsuatu yang nyata, sementara kesadaran merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas yang dilakukan manusia untuk mempertahankan hidup. Sehingga, dari sini kesadaran ditentukan oleh bagaimana manusia memahami posisinya sebagai makhluk yang senantiasa berproduksi. Kesadaran bukan berarti memahami apa yang dipikirkan oleh manusia, tetapi pada bagaimana ia melihat realitas dan pekerjaannya untuk proses-proses produksi.

Ketika kesadaran itu ditentukan oleh basis material (produksi), maka hal-hal yang diimplikasikan oleh sebuah proses menuju kesadaran (dalam kacamata Hegelian) tidak ditentukan oleh pemikiran individu an sich, tetapi oleh hubungan sosial. Karena manusia adalah makhluk yang senantiasa berproduksi, ia kemudian akan melakukan hubungan dengan manusia lain, atau intercourse. Hubungan sosial tentu dideterminasi oleh proses produksi. Pada titik ini, pembagian kerja juga akan bersifat kolektif, terutama ketika proses produksi masuk pada tahap industrial. Kerjasama dan hubungan sosial dalam berproduksi secara kolektif tersebut terjadi secara alamiah,

Oleh karena itu, pembagian kerja mengimplikasikan adanya kelas. Ini yang kemudian menjadi bahan kritik Marx. Ketika manusia berproduksi tidak atas kehendak dirinya sendiri, atau dengan kata lain terjadi “perbudakan”, terjadilah keterasingan. Manusia terasing karena hakikat dirinya yang paling utama, yaitu kemampuan berproduksi, dikendalikan oleh manusia lain. Hubungan sosial menjadi subordinatif, dan ini dianggap oleh Marx tidak alamiah. Ia menyebutnya “opposes the nature”.

Mengapa manusia terasing? Sebab, hakikat eksistensi manusia adalah sifat untuk berproduksi. Berproduksi adalah sifat yang otonom dan digunakan untuk menghidupi dirinya sendiri. Ketika proses berproduksi ditujukan untuk orang lain, ia kehilangan makna eksistensinya. Jadilah ia terasing dari kehidupan karena sifat berproduksinya tidak ada lagi. Hubungan antara ia dengan orang lain yang mempekerjakannya menjadi tidak lagi produksionis, tetapi dilihat dari sejauh mana kemampuan produksi yang dapat ia lakukan. Kemampuan berproduksinya tersubstitusi oleh hubungan-hubungan keuntungan.

Hal itulah yang di kemudian hari dikenal dengan exploitation d’lhomme par l’homme. Manusia kemudian terasing dari manusia lainnya. Untuk menghindari keterasingan, posisi manusia dengan manusia lain harus sederajat. Untuk itu, diperlukan sebuah gerakan yang menuju pada persamaan “kelas” dan egalitarianisme tersebut. Oleh karena itu, diperkenalkanlah istilah komunisme sebagai antithesis dari kepemilikan pribadi, komunisme menjadi jawaban atas keterasingan manusia, dengan menyamaderajatkan proses produksi antara semua manusia dan sumber daya dikelola bersama-sama, tanpa adanya hubungan buruh-majikan atau sejenisnya. Dengan demikian, tidak ada hak-milik yang mengimplikasikan perbudakan atau keterasingan. Semua setara.

Komunisme sendiri bukan sebuah konstruk yang diejawantahkan dalam bentuk negara. Komunisme adalah gerakan yang ditujukan untuk mewujudkan komunalisme. Ia menghilangkan bentuk-bentuk penindasan kelas di masyarakat, dan mengembalikan hakikat manusia sebagai makhluk yang berproduksi dan bekerja secara otonom. Komunisme tidak bersifat lokal, sempit dalam batas-batas wilayah. Ia bersifat universal. Pada titik itulah pandangan mengenai masyarakat sipil dan sejarah kembali diperhitungkan.


C. Tentang Sejarah

Marx kemudian mengarahkan analisisnya pada perspektif mengenai sejarah. Di atas bangunan apa sebuah proses sejarah berlangsung? Menurut Marx, sejarah adalah suksesi dari generasi terpisa yang mengeksploitasi materi, kekuatan produktif yang menurunkannya ke generasi sesudahnya, hingga meneruskan aktivitas yang mengubah proses secara produktif. Artinya, sejarah dalam konteks material tersebut berada dalam sebuah panggung masyarakat yang dinamis. Proses produksi tidak statis, hanya dalam struktur yang tradisional saja, tetapi juga berubah sesuai sumber daya dan pemanfaatan instrument yang ada. Oleh karena itu, sejarah berhubungan dengan struktur masyarakat.

Dalam konteks ini, Marx menyebut struktur masyarakat yang dinamis dan produktif itu sebagai “masyarakat sipil”. Berbeda dalam konteks masyarakat sipil yang borjuistik, hanya menjadi “alat” untuk melegitimasi kekuatan kelompok borjuis, konsep masyarakat sipil Marx sangat erat kaitannya dengan bagaimana masyarakat itu berhubungan dalam bekerja; Sebuah kesatuan masyarakat yang berproduksi dan berhubungan bersama itulah yang kemudian menjadi proses sejarah secara progresif.

Konteks materialisme Marx, yang diambil dari Feuerbach, sebenarnya sudah sangat jelas: Eksistensi manusia dideterminasi oleh kemampuannya berproduksi. Akan tetapi, ia menolak konsepsi yang menyatakan bahwa sejarah itu bersifat siklikal. Sejarah, menurut Marx, berkembang secara dinamis sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Kondisi masyarakat sipil tersebut yang mempersatukan masyarakat dalam kerangka komunal.

Karena masyarakat sipil adalah “panggung” terjadinya sejarah, maka aktivitas produksi, hubungan sosial, dan pembagian kerja juga terjadi dalam konteks itu. Karena adanya aktivitas-aktivitas tersebut di masyarakat, terciptalah “mode of production” sebagai basis dari sejarah. Dalam artian, sejarah menjadi benar-benar dipahami sebagai medan dari proses produksi, hubungan sosial, dan hal-hal lain yang sifatnya nyata di masyarakat. Sejarah tidak lantas menjadi “konstruksi dari gagasan-gagasan perseorangan” atau “Theses”, melainkan “proses nyata dari kehidupan”. Hal-hal yang sifatnya gagasan adalah pengaruh dari bagaimana realitas tersebut dipahami. Sejarah tidak lagi menjadi “self-consciousness as spirit of the spirit” tetapi justru hasil-hasil interaksi dan produksi manusia.

Dengan demikian, proposisi selanjutnya juga menjadi jelas: produksi mendeterminasi agama, ideologi, filsafat, dan hal-hal lain yang sifatnya teoretis. Inilah yang disebut sebagai “basis” dan “superstructure”. Adanya determinasi ini kemudian menghasilkan konsep mengenai kelas –bahwa ada yang disebut sebagai “ruling class” dalam setiap peristiwa sejarah. Kelas dideterminasi oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh manusia. Adanya ruling class berarti ada kelas yang menguasai faktor-faktor produksi tersebut. Adanya kepentingan yang berbenturan dalam proses-proses sejarah pada hakikatnya adalah benturan antara tenaga-tenaga produksi serta hubungan-hubungan sosial antarkelas, dan ruling class mengambil posisi di salah satunya.

Lantas, di mana posisi “ruling ideas”? Gagasan mengenai kelas yang berkuasa –yang dideterminasi oleh faktor produksi— mengimplikasikan adanya gagasan yang berkuasa pula. Menurut Marx, “ruling ideas” adalah gagasan dari kelas berkuasa. Ketika sebuah kelas menjadi “ruling class”, gagasan yang terbentuk darinya akan mengomposisi diri menjadi gagasan untuk mempertahankan kekuasaanya. Gagasan tersebut muncul sebagai implikasi –bukan sebagai determinan— dari adanya penguasaan faktor produksi. Faktor produksi adalah “basis”, sementara gagasan adalah “superstruktur”.

Implikasi adanya “ruling class” dan “ruling ideas” tersebut adalah adanya kelas lain yang beroposisi. Determinannya masih sama, faktor produksi. Kelas tersebut kemudian melakukan proses revolusi untuk menumbangkan kelas berkuasa. Dalam pandangan Marx, gagasan mengenai perubahan sosial pasti diusung oleh gagasan yang revolusioner. Catatannya, gagasan tersebut dibawa oleh kelas yang beroposisi dan secara vis-à-vis mengonfrontasi kelas berkuasa yang ada. Pada titik inilah kita mengenal istilah “perjuangan kelas” yang kemudian dijabarkan secara lebih konkret dalam “manifesto”.


D. Tentang Negara dan Pembagian Kerja

Bahwa kelas adalah manifestasi dari materialisme sejarah telah dibuktikan oleh Marx dalam analisisnya tentang proses-proses material dan sejarah. Akan tetapi, bagaimana sebuah kelas terbentuk? Apa saja penopangnya? Marx menemukan kata kunci untuk membahas hal ini: division of labour atau pembagian kerja.

Pembagian kerja yang sangat besar dapat dilihat dari antagonism Kota-Desa. Kota dan Desa memiliki perbedaan yang cukup fundamental dalam soal pembagian kerja, tetapi pada dasarnya memiliki basis yang sama dalam memandang kerja: sebagai kepemilikan pribadi. Dengan basis pandang ini, struktur yang akan terbentuk tidak akan jauh berbeda dengan apa yang sudah ditulis Marx sebelumnya, bahwa akan ada ruling class yang menguasai faktor produksi, entah dalam bentuk alam (tanah, air, dll.) atau mesin-mesin produksi.

Struktur pedesaan dibentuk oleh tanah dan sumber daya alam sebagai determinan utama. Di sisi lain, Struktur perkotaan sangat kompleks. Dalam sejarah Eropa, Kota dibentuk oleh para serf yang merdeka dan membawa kapital yang ia miliki untuk membangun kotanya. Serf tersebut kemudian bersaing dan memiliki keharusan untuk membangun kotanya. Gilda-gilda menjadi institusi sosial-ekonomi paling utama, yang menentukan proses berproduksi manusia. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya kelas pedagang. Pada titik ini, mulailah muncul kaum borjuasi yang terpecah dalam kelas-kelas tertentu, tetapi menyerap keuntungannya dari orang yang bekerja untuk mereka. Mulailah fase industrial, yang disebut oleh Marx sebagai fase Manufaktur.

Karena kota tidak memiliki faktor produksi yang berasal dari alam, tetapi ditentukan oleh bagaimana keterampilan manusia dalam mengolah mesin-mesin. Karakter yang khas adalah karakter industrial. Dengan demikian, kota akan melahirkan kepemilikan pribadi dan tenaga kerja. Struktur ini mengimplikasikan dua kelas besar: buruh dan majikan. Pada titik inilah hubungan antara mereka bersifat mekanistik dan penuh hitungan untung-rugi. Teori keterasingan –di mana manusia bekerja tetapi kehilangan jati diri eksistensinya karena bukan untuk mereka— menjadi relevan untuk menjelaskan hal ini. Marx kemudian memperkenalkan istilah baru: proletarians sebagai representasi mereka yang tidak memiliki hak-milik (private property) dan terasing karena pembagian kerja kaum borjuis.

Kemudian, bagaimana posisi negara dalam struktur masyarakat yang seperti ini? Menurut Marx, negara adalah tempat bersemayamnya kepentingan-kepentingan produksionis kaum borjuasi. Hal ini terjadi karena borjuasi-lah yang menentukan jatuh dan bangunnya ekonomi sebuah negara. Pada konteks ini, negara akan bertumpu keuangannya pada pajak, utang, dan kepemilikan yang semuanya diberikan oleh para borjuis. Oleh karena negara adalah perwujudan kepentingan kaum borjuis, masyarakat sipil –tempat berlangsungnya aktivitas sejarah yang material— juga otonom terhadap negara.

Para borjuis memiliki kepentingan terhadap negara karena institusi inilah yang memiliki kekuasaan untuk memperkokoh hegemoni dan produksi yang mereka jalankan dengan menggunakan tenaga kerja. Dengan kekuasaan negara, keuntungan perdagangan dan modal bisa dilipatgandakan. Di sisi lain, keuangan negara juga bertumpu pada mereka. Sehingga, menurut Marx, negara tak lebih dari jelmaan kepentingan kaum borjuis dalam melipatgandakan modal. Bahkan, negara-lah yang menjaga agar hak milik yang dimiliki oleh borjuis tetap eksis.

Bahkan, dalam konteks yang lebih jauh, alat-alat negara direduksi. Hukum sebagai alat negara untuk menciptakan keadilan, direduksi oleh aturan-aturan yang memperkokoh adanya hak milik. Keadilan yang substantif tidak dibawa oleh negara. Tercipta ilusi politik, karena negara menjadi arena perebutan kekuasaan kelas-kelas yang memiliki faktor produksi. Implikasinya yang cukup mengerikan, hukum menjadi refleksi dari kehendak orang-seorang, bukan lagi kehendak bebas manusia sesuai dengan basis material-historis: untuk berproduksi secara otonom. Hukum dan yurisdiksi direduksi hanya ke perangkat-perangkat aturan yang melindungi hak-milik pribadi. Padahal, adanya mereka yang tak punya hak-milik dan terasing juga memerlukan sentuhan hukum. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai “juridicial illusion”.


E. Tentang Komunisme

Bagian keempat dari German Ideology Bagian Pertama –yang mengulas dan mengelaborasi pemikiran Ludwig Feuerbach sebagai basis materialisme sejarah membahas kaum proletariat dan gerakan komunisme. Komunisme memiliki akar kuat pada kelas proletariat, atau yang disebut sebagai “the propertyless”. Keberadaan kaum proletar ditentukan kuat oleh ketiadaan hak-milik yang telah didominasi oleh kaum borjuasi. Sebagaimana telah dijelaskan, sebuah ruling class akan mendapatkan respons berupa Ketika borjuasi sebagai ruling class yang hegemonik –karena mendompleng kekuasaan negara dan menguasai faktor-faktor produksi— akan muncul kelas tandingan yang terdiri dari mereka yang termarjinalkan. Adanya kesamaan posisi sebagai orang-orang yang tak berpunya menyebabkan terbentuknya kesadaran pada orang-orang tersebut untuk membentuk kelas. Kelas itulah yang kemudian menjadi kaum “proletariat”.

Kelas sendiri terbentuk dari individu-individu yang memiliki kesadaran. Dalam bahasa filsafat materialisme, kelas-kelas terbentuk dari sebuah proses yang evolusioner. Disebut evolusioner karena terbentuknya kelas memerlukan determinasi dari proses produksi dan memiliki transformasi-transformasi pada tahapannya. Proses terbentuknya kelas, di antaranya merupakan hasil transformasi dari kekuasaan personal menjadi kekuasaan material, dan mengimplikasikan adanya basis komunitas yang diwujudkan dalam kehendak bebas manusia untuk berhubungan sosial dan berproduksi.

Tentu saja, yang paling penting dari proses terbentuknya kelas, selain transformasi tersebut, adalah adanya kesadaran kelas. Kaum proletariat membasiskan kesadaran mereka pada kenyataan bahwa eksistensi masyarakat yang mereka diami tidak lagi bisa memberikan mereka kontrol –bahkan terhadap kondisi mereka sendiri.

Masyarakat tentu menjadi basis paling utama dari proses itu. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang berproduksi dan berhubungan sosial. Adanya hubungan sosial menjadikan aktivitas produksi manusia terbentuk sebagai aktivitas kolektif. Adanya hak-milik menjadikan aktivitas tersebut bukan kolektif, tetapi individual. Implikasi dari aktivitas individual adalah keharusan untuk mempekerjakan orang lain, karena seiring dengan bertambahnya hak-milik pribadi, kapital akan bertambah pula. Kondisi seperti ini akan menggiring manusia ke dalam alienasi –seperti dijelaskan di bagian sebelumnya— dari manusia lainnya. Maka, hak-milik pribadi harus diubah menjadi hak-milik sosial. Untuk menghilangkannya, manusia harus bermasyarakat dan membentuk komunitas. Pada titik itulah kolektivisme dan egalitarianisme terjadi.

Bentuk-bentuk gerakan untuk menuju ke arah masyarakat egaliter –dengan basis kaum proletariat— itulah yang melahirkan gerakan komunisme. Berawal dari individu yang membentuk masyarakat, komunisme mengembalikan basis relasi produksi dan hubungan sosial ke dalam basis-basis relasi yang alamiah. Dalam artian, hubungan manusia dengan manusia lain bukan hubungan yang penuh hitung-hitungan untung-rugi, tetapi dengan menempatkan manusia sebagai “jati dirinya” yang utuh. Tidak ada lagi exploitation d’lhomme par l’homme. Semua setara. Pada konteks yang lebih jauh, Marx mencoba menempatkan manusia dalam kerangkanya yang sangat humanis. Manusia bekerja sesuai kemampuannya dan mendapatkan hasil untuk dirinya sendiri. Hubungan antarmanusia tidak mekanistik, melainkan kooperatif untuk mendapatkan hasil bersama, yang dikonsumsi secara bersama pula. Hal ini disebut sebagai “self-activity”, aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri secara otonom.

Lantas, bagaimana cara mewujudkan perubahan dari struktur masyarakat yang industrialistik-borjuistik menjadi struktur yang komunalistik? Kita akan sedikit kembali pada struktur industri. Aktivitas “self-activity” atau yang menjadi tujuan dari komunisme dan basis dari peri kehidupan manusia, hanya bisa dijalankan oleh kaum proletariat. Mengapa? Karena dengan ketidakbermilikan mereka, serta adanya struktur industri besar yang bersifat subordinatif dan menindas, posisi mereka pada konteks ini adalah tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu, secara posisi mereka akan vis-à-vis berhadapan dengan borjuasi. Dengan posisi yang vis-à-vis tersebut, gagasan revolusioner untuk menjungkirkan struktur yang ada menjadi begitu kuat.

Satu hal yang perlu dicatat, perubahan sosial yang diinginkan oleh Marx –dengan basis proletariatnya— adalah perubahan yang revolusioner. Walaupun struktur borjuasi terbentuk secara evolusioner, tetapi proses untuk memindahkan hak-milik pribadi ke dalam konstruk hak-milik kolektif yang berbasis pada masyarakat harus dilakukan dengan cepat dan mengakar. Selain itu, basis perilaku borjuistik yang sangat individual sehingga menafikan keadilan harus direspons dengan kontrol sosial dari manusia lainnya. Untuk itu, perlu kontrol sosial bersama.

Begitu pula dengan faktor produksi. Adanya hak-milik pribadi menjadikan faktor produksi dikuasai oleh segelintir orang dan menjadikan ada yang tidak punya hak-milik. Padahal, hakikat diri manusia adalah aktivitas berproduksi dan berhubungan sosial. Oleh karena itu, faktor produksi harus dipindahkan basis dan lokusnya dari individual-oligarkis menjadi kolektif. Langkahnya adalah pemindahan secara revolusioner: cepat, mengakar, dan keseluruhan. Komunisme yang dipandu oleh revolusi proletariat akan menjamin dikembalikannya manusia ke hakikat hidupnya yang paling utama menurut Marx: berproduksi dan berhubungan sosial.


F. Kesimpulan

Buku “German Ideology” menawarkan basis filsafat yang unik dari seorang Karl Marx. Di sini, terukir jelas kecenderungan materialisme Marx yang ia ambil dari pengaruh Ludwig Feuerbach. Bahwa manusia adalah makhluk yang berproduksi dan berhubungan sosial, bahwa sejarah adalah sebuah proses manusia berproduksi untuk mempertahankan hidup, dan bahwa realitas yang nampak itu sebenarnya adalah realitas yang terlihat, bukan konstruksi gagasan yang diejawantahkan dari alam pikir manusia ke kehidupan sehari-hari.

Marx mengawalinya dengan kritik tajam terhadap tradisi filsafat Jerman Hegelian yang dinilainya mengalir dari surga ke bumi. Akibatnya, pergulatan hanya terjadi pada alam pikir dan melupakan basis realitas. Feuerbach dan filsafat materialime justru sebaliknya, bertitik pijak dari realitas sosial. Akan tetapi, dalam pembahasannya mengenai sejarah, konsepsi dialektika yang menjamin progresifitas aksi dielaborasi dengan produksi dan hubungan sosial yang materialistik. Ini yang mengerangkai konsepsi berpikir Marx tentang dunia.

Basis material itu yang mendeterminasi adanya hal-hal lain yang sifatnya bergugus dari alam pikir, seperti ideologi, agama, politik, budaya, atau yang lain. Hubungan antara produksi dengan hal-hal tersebut digambarkan dalam hubungan yang deterministik, antara basic dengan superstructure. Dalam struktur masyarakat industrial, problem terjadi pada struktur yang borjuistik. Struktur tersebut dinilai oleh Marx sebagai struktur yang alienatif, atau berdiri di atas penindasan manusia atas manusia yang lain. Kuncinya terdapat pada hak-milik pribadi. Adanya hak-milik kemudian menjadikan manusia yang menguasai faktor produksi –sebagai ruling class— mempekerjakan manusia yang lain dalam spectrum hubungan yang mekanistik. Akibatnya, manusia menjadi terasing dari manusia lain karena kehilangan kesempatan untuk berproduksi secara otonom. Keterasingan (alienasi) inilah yang kemudian melahirkan kaum proletariat –mereka yang tidak memiliki hak-milik dan tertindask oleh struktur yang alienatif tadi.

Ironisnya, negara dan hukum, yang idealnya menjadi alat untuk mengejawantahkan fungsi keadilan— justru didomplengi oleh kepentingan kaum borjuis, karena struktur negara tidak berpihak pada kaum proletar. Hukum dan politik menjadi ilusionis, karena mereka hanya melayani kepentingan kaum borjuis yang menentukan keuangan negara. Semua hal tersebut berakar dari pembagian kerja yang sangat bertumpu pada hak-milik pribadi. Selama hak-milik pribadi tetap mendeterminasi pembagian kerja, hegemoni borjuis akan tetap eksis. Konsekuensinya., kaum proletariat tetap menjadi kelompok tak berpunya.

Oleh karena itu, Marx memperkenalkan komunisme sebagai jalan untuk mengembalikan basis produksi dan hubungan sosial yang humanis sebagai nature manusia. Keterasingan harus dihilangkan karena menyalahi nature. Jalannya, di tengah masyarakat yang borjuistik, adalah revolusi proletariat. Kaum proletar menjadi tumpuan utama karena kondisi yang antagonis dengan majikan-majikan mereka, sehingga dapat meraih kesadaran yang luas untuk perjuangan kelas. Basis kelas sebagai titik tolak revolusi kemudian ditujukan untuk meraih tujuan komunisme, yaitu mengembalikan hakikat manusia yang dirampas oleh proses borjuistik.

Pada buku ini, Marx menggeser basis filsafat Idealisme a la Hegel yang sangat idealistik ke arah realitas sosial. Hal yang menarik, pergeseran ini menyebabkan filsafat Marx tidak dipenuhi oleh abstraksi yang penuh penalaran, tetapi justru pada analisisnya yang kuat pada realitas. Sangat identik Feuerbach. Ini mempengaruhi analisis-analisis Marx pada tulisan-tulisan selanjutnya. Sehingga, Marx menutup dengan sebuah pesan sederhana: hanya revolusi dan perubahan sosial yang mengakar-lah yang akan memandu kita, menemukan masyarakat yang baru [*]



****

AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, staf Editor di Jurnal Multiversa, Divisi Publikasi Institute of International Studies, UGM. Bisa dihubungi di rizky_mardhatillah@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar: