Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
KUNJUNGAN Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama ke Jakarta, 9-10 November 2010 lalu masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Pasalnya, istana dengan begitu serius melakukan prosesi penyambutan hingga menimbulkan beragam silang pendapat, kontroversi, hingga aksi protes dari beberapa elemen tertentu.
KUNJUNGAN Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama ke Jakarta, 9-10 November 2010 lalu masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Pasalnya, istana dengan begitu serius melakukan prosesi penyambutan hingga menimbulkan beragam silang pendapat, kontroversi, hingga aksi protes dari beberapa elemen tertentu.
Publik bertanya-tanya, mengapa pemerintah begitu serius –dengan pengalihan lalu lintas, penyambutan penuh, hingga keamanan berlapis— ketika menghadirkan “anak menteng” yang kini menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam tersebut? Apakah karena hubungan emosional yang cukup dekat antara Obama dan Indonesia?
Tentu saja, kedatangan Obama kali ini bukan “pulang kampung”. Berat untuk menganggap kedatangan Obama ini sebagai kunjungan biasa, sebab sebuah lawatan diplomatik tidak pernah dilakukan hanya sebagai “liburan”. Tentu saja, ada kepentingan yang menyertai sang Presiden ketika berkunjung ke suatu negara.
Dalam kacamata Hubungan Internasional, kepentingan-kepentingan tersebut dapat dibaca dari tiga tingkat analisis: Individu (rational actor), negara, regional, dan sistem internasional. Analisis tersebut dibaca melalui pendekatan dua negara: Indonesia dan Amerika Serikat.
Kepentingan Indonesia
Kita akan membaca dari sudut pandang Indonesia terlebih dulu. Pertama, pada tingkat analisis individu, pembacaan mengarah pada visi Presiden SBY. Ketika dilantik sebagai sebagai Presiden RI, beliau telah mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki “zero enemy and million friends”. Maksudnya, kerjasama dibuka untuk semua negara, apapun latar belakang politiknya.
Pandangan tersebut dapat ditafsirkan positif dan negatif. Tafsir baiknya, SBY ingin mendekonstruksi terminolog “lawan” dan diganti dengan “kawan” bagi semua negara, sehingga Indonesia dapat terlibat lebih aktif dalam perdamaian dunia –sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Akan tetapi, pandangan tersebut membuat Indonesia cenderung bingung menempatkan kepentingan strategisnya, dan, dalam beberapa kasus, terkesan inkonsisten. Contoh, penentuan sikap dalam hubungan China-Taiwan dan Iran-AS.
Dalam konteks Obama, pandangan Presiden SBY tersebut menemukan momentumnya. SBY memiliki kepentingan dalam rangka menjalin hubungan yang lebih baik dengan AS sembari memperkuat legitimasi politik di dalam negeri. Oleh karena itu, diagendakanlah negosiasi comprehensive partnership., Jika berhasil, tentu citra dan kepuasan publik terhadap SBY di dalam negeri akan meningkat,
Kedua, pada level negara, Indonesia memiliki kepentingan untuk memperbaiki hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat. Catatan masa lalu hubungan Indonesia-AS memang diwarnai oleh disharmoni, terutama pasca-1998. Isu HAM menjadi persoalan utama. Dengan kemenangan Obama yang dikenal punya hubungan emosional dengan Indonesia, peluang reharmonisasi tersebut kian mencuat.
Apalagi, untuk menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas, Indonesia perlu sumber daya yang kompetitif. Oleh karena itulah hubungan baik dengan AS, terutama dalam bidang pendidikan, signifikan untuk segera direalisasi oleh Indonesia.
Ketiga, pada level sistem internasional, dunia tengah diwarnai oleh persaingan antara dua raksasa ekonomi dunia: Cina dan Amerika Serikat. Indonesia dituntut untuk memainkan posisi. Doktrin Menlu Natalegawa yang membaca realitas politik Internasional dalam kerangka “keseimbangan dinamis” dan “perdamaian dingin” mengimplikasikan adanya kelincahan dalam bermain di level diplomatik.
Sehingga, kedatangan Obama di Indonesia diharapkan dapat membuat Indonesia –paling tidak— dapat memetakan posisinya dalam kancah global. Ini penting sebagai basis kepentingan strategis Indonesia.
Kepentingan Amerika Serikat
Di lain pihak, Amerika Serikat pun memiliki kepentingan serius. Pertama, dari segi individu, Obama memiliki visi untuk membangun multilateralisme dalam isu-isu politik luar negeri AS, terutama dengan negara-negara muslim.
Sejak terpilih, Obama mencoba umengharmonisasi kembali hubungannya dengan beberapa negara muslim moderat, salah satunya Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Ini dilakukan, selain untuk memperbaiki citra AS, juga sebagai bukti dari janji-janji kampanye yang ia lakukan ketika Pemilu dulu.
Kedua, dari tingkat negara, AS memiliki kepentingan untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan beberapa negara berkembang. Indonesia adalah sasaran strategis, karena selain pertumbuhan ekonominya cenderung menguat, juga karena Indonesia secara geoekonomi juga berada dalam ranah jangkau pasar Cina, kompetitor ekonomi terkuat AS.
Selain itu, dengan potensi pasar yang sangat besar dari Indonesia dan besarnya kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang pendidikan (scholarship atau exchange) AS memiliki peluang untuk menandingi Cina di wilayah pasarnya. Ini tentu sangat terkait dengan kepentingan strategis AS di Asia Tenggara.
Ketiga, dari tingkat analisis sistem internasional, AS perlu melakukan langkah-langkah agar eksistensinya sebagai kekuatan unipolar tidak tergantikan oleh kekuatan lain. Di bidang ekonomi, Cina sedang bangkit. Oleh karena itu, AS perlu mereposisi hubungan baiknya dengan negara-negara yang dekat dengan Cina untuk mengembalikan daulatnya. Indonesia satu di antara negara-negara tersebut.
Dengan demikian, kedatangan Obama dapat kita baca sebagai sebuah kunjungan sarat kepentingan. Tentu hal tersebut sangat biasa dan wajar dalam hubungan internasional. Namun, menjadi tidak wajar jika kemudian lawatan Obama tersebut diromantisasi menjadi “pulang kampung”, “makan bakso”, dan lain sebagainya sehingga harus disambut berlebihan. Tempatkan saja dalam kerangka proporsi dan kepentingan nasional.
Pro dan kontra dalam soal kedatangan Obama tentu bisa dimaklumi. Di sini penulis tidak berada dalam posisi ingin men-judge apakah kedatangan Obama tersebut baik atau tidak. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin penulis sampaikan: mari mengkritisi kebijakan luar negeri kita sendiri. Bukankah diplomasi total Indonesia perlu partisipasi kita semua?
*) Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Staf Editor pada Jurnal Multiversa, Institute of International Studies UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar