Senin, 10 Januari 2011

Menggugat Demokrasi Kompetisi Elite

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar


MENGAPA demokrasi selalu diidentikkan dengan pemilihan umum? Jawabnya sederhana, karena proses pemilihan umum melambangkan suara rakyat. Proses pemilihan umum menghasilkan proses transfer legitimasi dari rakyat kepada “wakil” yang dipilih secara demokratis.

Pertanyaannya, apakah demokrasi hanya dibatasi pada level pemilihan umum (elektoral) belaka? Pada titik ini terjadi perdebatan. Dua pendapat yang menjawab pertanyaan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua: “Kompetisi Elit” dan “Demokrasi Deliberatif


Kompetisi Elit

Logika pertama mengenai demokrasi, mengutip David Held (1996), dikenal dengan logika “kompetisi elit”. Pendapat ini dapat dilacak pada pemikiran Joseph Schumpeter. Gagasan ini menganggap bahwa efisiensi demokrasi dapat dilakukan dengan menyerahkan kekuasaan pada elit yang memiliki kompetensi dan legitimasi untuk mengatur publik.

Demokrasi pada hakikatnya adalah pengaturan kelembagaan. Oleh karena itu, proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana suara didapatkan”. Schumpeter sendiri menyatakan, “democracy is the rule of politician”. Oleh karenanya, demokrasi adalah persoalan bagaimana elit politik berinteraksi untuk menjalankan pemerintahan dengan basis legitimasi konstituennya.

Schumpeter sendiri secara tegas menyatakan bahwa demokrasi dilakukan untuk mengefisienkan pasar. Dengan adanya elit politik yang legitimate, stabilitas pasar akan terjaga sehingga perekonomian juga stabil. Maka, menurut pendekatan ini, demokrasi akan sesuai jika dipadupadankan dengan sistem ekonomi pasar atau kapitalisme.

Logika berpikir Schumpeter tersebut, jika ditarik lebih jauh, akan sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi cukup berada di bidang politik, alias hanya dalam bentuk Pemilihan Umum. Di bidang-bidang non-politik, demokrasi beralih dalam bentuk elit-elit yang telah mendapatkan legitimasinya dari publik. Bahasa ekonomi menyebutnya sebagai “mekanisme pasar”.


Kritik Konseptual

Persoalannya, apakah benar bahwa demokrasi hanya perlu berada pada level pemilu? Kritik mendasarnya adalah minimnya keterlibatan rakyat dalam proses-proses demokrasi. Ekstremnya, kondisi seperti ini akan menghasilkan fenomena yang disebut oleh Robert Michels sebagai “oligarki”.

Konsekuensi sistem politik yang terlampau elitis adalah munculnya kecenderungan untuk tidak lagi membasiskan sikap dan kebijakan pada kepentingan rakyat. Arend Lijphart menyebutnya sebagai “kartel”. Proses politik dalam bentuk seperti ini akan membuat elit politik meninggalkan konstituen dan larut pada euforia proses politik yang ada. Artinya, politik akan jauh dari kepentingan rakyat kelas bawah.

Apa yang terjadi ketika proses politik begitu jauh dari kepentingan rakyat? Implikasi logisnya, seperti telah penulis uraikan di atas, adalah munculnya oligarki atau kekuasaan politik oleh segelintir elit. Robert Michels (1911) telah mewanti-wanti bahwa struktur politik yang tidak terkelola oleh sistem yang baik akan rawan mengarah pada munculnya kekuasaan yang oligarkis.

Hal ini akan sangat rawan berimplikasi munculnya rejim otoriter, karena kekuasaan secara otomatis akan terpusat di satu kelompok saja. Kekuasaan menjadi monolitik dan melupakan rakyat. Tentu saja, hal ini sangat berlawanan dengan prinsip demokrasi.

Pengalaman Orde Baru yang begitu korporatis dan elitis membuktikan bahwa jauhnya kekuasaan dari kepentingan rakyat akan membuat kekuasaan jatuh pada otoritarianisme. Artinya, demokrasi jenis kompetisi elit jika dibiarkan tanpa proses deliberasi berpotensi membuat demokrasi kehilangan substansinya.


Demokrasi Deliberatif

Sejatinya, demokrasi tidak dibangun hanya di ruang-ruang struktur. Ia juga berada di ruang-ruang publik yang terpinggirkan dan tak terjamah oleh elit. Demokrasi –jika mengacu pada hakikat dasarnya sebagai “suara rakyat”— harus diterjemahkan dengan melibatkan rakyat pada proses demokrasi tersebut.

Sehingga, demokrasi tidak lagi hanya dipandang pada dimensi eleckoral an sich. Demokrasi juga berada pada level sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan budaya. Logikanya, tempat berdemokrasi juga harus didesentralisas ke elemen-elemen tersebut.

Persoalannya, bagaimana mendesentralisasi lokus demokrasi tersebut? Jurgen Habermas mengajukan tawaran: demokrasi melalui tindakan komunikatif. Menurut Habermas, proses transfer legitimasi kepada rakyat –sebagai artikulasi demokrasi— dilakukan melalui diskursus komunikatif antarwarga dengan medium “ruang publik”.

Basis-basis komunikasi publik di level terkecil masyarakat mesti diaktifkan. Demokrasi dipandang dalam bentuknya sebagai “deliberasi”, yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai “musyawarah”.

Oleh karena itulah, dengan menggunakan model demokrasi ini, logika pengambilan keputusan dibalik dari top-down menjadi bottom-up. Dengan logika tersebut, peran negara didistribusikan kepada komunitas-komunitas yang ada di masyarakat. Demokrasi adalah alat masyarakat untuk mengaspirasikan kepentingannya sehingga dapat menjadi referensi perumusan kebijakan publik. 

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, makna demokrasi perlu direformulasi. Pemilu atau Parlemen kini bukan lagi lokus tunggal dari demokrasi. Ada lokus-lokus lain yang disebut oleh Habermas sebagai “ruang publik”.

Dalam konteks Indonesia, ruang publik sangat beragam. Dalam konteks masyarakat desa, kita mengenal istilah “musyawarah desa”, “modal sosial”, “slametan”, atau istilah lain yang mengisyaratkan interaksi warga. Basisnya menjadi komunitas dan informal.

Model demokrasi ini perlu dikembangkan melalui kajian dan eksperimentasi kebijakan agar lebih konkret. Spiritnya jelas: demokrasi harus dapat dinikmati oleh semua kalangan, dari elit politik maupun petani di desa-desa. Dengan format demokrasi yang membumi, semoga demokrasi menjadi benar-benar melambangkan kepentingan rakyat [*]


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Alumnus SMAN 1 Banjarmasin tahun 2008, aktif sebagai Pemimpin Redaksi Buletin Airport, Korps Mahasiswa Hubungan Internasonal UGM.

Tidak ada komentar: