Kamis, 06 Januari 2011

Telaah Struktur Kekuasaan PBB: Quo-Vadis "World Government"?

Prawacana

Pada tahun 1945, pascakekalahan Jerman yang menandai berakhirnya Perang Dunia II, empat negara pemenang perang berkumpul untuk membicarakan perlunya sebuah aliansi untuk membangun perdamaian dan tata dunia baru. Pertemuan yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Perancis tersebut menghasilkan sebuah deklarasi pembentukan organisasi yang kini dikenal sebagai United Nations: Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menarik untuk diulas, bagaimana struktur kekuasaan yang membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa berjalan hingga saat ini?

Paper ini memiliki dua argumen. Pertama , Perserikatan Bangsa ditopang oleh struktur kekuasaan (power) yang kuat dari negara-negara penyokongnya, sehingga secara tidak langsung juga memiliki power kepada negara-negara anggotanya. Kedua , Struktur organisasi yang kuat dan hierarkis, atau dalam bahasa Morgenthau (1948), sebagai “world government”, dilahirkan sebagai konsekuensi dari sistem politik yang anarkis, sehingga memiliki komitmen dan kontrol dari negara-negara utama yang mengendalikanya. Dua penyebab ini menjadikan eksistensi PBB cukup kuat, tetapi juga problematis secara struktural.

Paper ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan mengurai beberapa variabel, antara lain sejarah PBB, struktur kekuasaan PBB, dan dinamika faktual yang dialami oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Sejarah PBB: Fondasi Struktur Kekuasaan

Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut oleh Hans J. Morgenthau dalam literatur klasiknya, Politics Among Nations (1948) sebagai international government atau pemerintahan dunia. Analisis Morgenthau didasarkan atas sebuah asumsi, bahwa penanggulangan atas sistem internasional yang anarki hanya akan dapat efektif jika ada tata-aturan internasional yang terlembaga dalam wujud international government, atau sebuah organisasi yang memayungi negara-negara di dunia (Morgenthau, 1948).

Mengapa PBB menjadi sebuah alternatif? Untuk menjawab hal ini, kita perlu berangkat dari analisis mengenai sejarah PBB. Berdasarkan situs resmi PBB, detil mengenai sejarah PBB dilukiskan secara lebih gamblang. Nama PBB atau United Nations sendiri pertama kali diusulkan oleh Presiden AS Franklin Delano Roosevelt pada tahun 1952. Pada waktu itu, Roosevelt tengah menggalang dukungan internasional untuk melawan negara-negara axis yang menjalin aliansi militer strategis: Jerman, Jepang, dan Italia.

Nama Perserikatan Bangsa-Bangsa ini mengingatkan masyarakat internasional pada Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) dan Aliansi Suci (Holy Alliance) yang merupakan aliansi untuk menjaga perdamaian dunia. Liga Bangsa-Bangsa sendiri memiliki anggota tidak tetap dan anggota tetap. Morgenthau memotret konflik dan problematika LBB dalam sebuah konflik antagonistik antara negara-negara status quo: Inggris Raya dan Perancis (Morgenthau, 1948). Liga Bangsa-Bangsa dilahirkan oleh Perjanjian Versailles tahiun 1919 (United Nations, 2000).

Tujuan dibentuknya LBB sendiri, mengutip United Nations (2000), adalah “to promote international cooperation and to achieve peace and security”. Dari sini, dapat kita lihat bahwa Liga Bangsa-Bangsa sendiri sangat menekankan komitmen dari anggotaya untuk membina kerjasama. Secara teoritik, sistem internasional yang anarki, yang dihasilkan oleh Perang Dunia I, memang akan menghasilkan order. Hal ini yang coba diadopsi oleh LBB untuk menanggulangi probkem keamanan internasional.

Oleh karena seting politik internasional yang konfliktual tersebut, ditambah lemahnya komitmen dan menguatnya kembali kekuatan Jerman sebagai salah satu kekuatan utama dunia, LBB tak dapat bertahan dalam waktu lama. Penyebabnya adalah hilangnya komitmen atas perjanjian LBB yang menyebabkan beberapa negara keluar. Padahal, LBB pada awalnya dibuat untuk menahan perang antarnegara. Serangan Jerman atas Polandia pada tahun 1939 praktis memicu respons negara-negara sekutu untuk menggalang kembali kekuatan melawan Jerman. LBB bubar, dan perang muncul kembali.

Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, perwakilan 50 negara bertemu di San Fransisco untuk membahas nasib dunia pasca-Perang Dingin. Beberapa delegasi negara menawarkan proposal untuk membentuk sebuah organisasi internasional yang sebelumnya telah dibahas pada pertemuan di Dumbarton Oaks tahun 1944. Pertemuan ini menghasilkan sebuah deklarasi yang kini kita kenal dengan deklarasi PBB, yang disahkan pada tanggal 26 Juni 1945. Sebagai anggota ke-51, masuk Polandia yang tidak mengirimkan perwakilan pada pertemuan tersebut.

Akan tetapi, legalitas dari PBB sendiri baru muncul setelah 24 Oktober 1945, setelah 5 negara utama meratifikasi UN Charter. Hal ini menjadi sebuah batu loncatan untuk menuju apa yang disebut oleh Morgenthau (1948) sebagai “world government dengan struktur kekuasaan yang bertumpu pada Dewan Keamanan (lima anggota tetap).

Dari fakta sejarah tersebut, ada tiga fenomena yang dapat dianalisis terkait seting politik internasional pada era tersebut.

Pertama , PBB dilahirkan dari respons atas sebuah sistem internasional yang anarkis. Artinya, PBB sendiri merupakan sebuah kompromi internasional untuk menahan perang. Wajar jika kita sulit menemukan perbedaan struktur antara LBB dan PBB secara organisasional. Sehingga, kita akan sampai kepada sebuah kesimpulan: PBB akan sangat bergantung pada komitmen anggota-anggotanya untuk menaati kesepakatan yang ada.

Kedua , PBB dibuat oleh kelompok yang menang perang. Secara sadar atau tidak, meminjam kamus wacana Gramscian, kelompok yang memenangi peperangan akan menjadi hegemoni dalam tata organisasi selanjutnya (Simon, 1999; Sugiono, 1999). Hal ini kemudian termanifestasi dalam struktur organisasi PBB yang menempatkan lima negara besar (great powers) sebagai anggota Dewan Keamanan yang memiliki hak veto dalam resolusi-resolusi PBB.

Ketiga , karena dibuat oleh negara-negara besar (great powers) dan sangat menekankan pada komitmen pada negara-negara anggotanya, PBB akan sangat bergantung pada struktur kekuasaan yang membentuknya. Dalam konteks ini, PBB akan mampu menjalankan perannya secara positif jika kekuatan-kekuatan besar yang menyokong PBB, dalam hal ini lima negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan, mendukungnya. Adanya pemberian hak veto pada lima negara DK PBB menjadikan strukturnya sangat bertumpu pada powers, sehingga kita akan kembali pada logika realisme untuk mencermati persoalan PBB.



Dilema-Dilema Struktural

Jika merujuk pada teori Morgenthau bahwa pengaturan keamanan dan perdamaian akan terwujud melalui sebuah lembaga atau pemerintahan dunia (world government), maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa peran utama PBB adalah mendukung perdamaian dan keamanan dunia melalui sebuah instrumen politik yang mengakomodasi kepentingan kekuatan-kekuatan besar (great powers). Hal ini kemudian menjadikan PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki otoritas untuk menjaga perdamaian dunia. Sekarang, setelah era perang dingin berakhir, PBB mengalami berbagai dilema struktural. Perubahan politik internasional pasca-perang dingin serta mulai masuknya aktor non-negara sebagai pemain dalam hubungan internasional setidaknya telah menjadi masukan bagi PBB untuk merevitalisasi perannya yang begitu sentral dalam politik internasional.

Sehingga, kita akan masuk pada sebuah pertanyaan: posisi struktural apa yang perlu direvitalisasi dari PBB? Untuk menjawabnya, kita akan masuk pada uraian mengenai struktur organisasi PBB dan analisis mengenai struktur tersebut. Dalam konteks kontemporer, PBB setidaknya memiliki beberapa permasalahan persoalan struktural. Ada tiga persoalan yang muncul: persoalan hak veto dalam Dewan Keamanan, lemahnya peran PBB dalam menghadapi disparitas ekonomi, serta hegemoni yang masih kuat dalam politik internasional yang masuk di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pertama , hak veto. Definisi hak veto adalah hak untuk tidak menyetujui rancangan resolusi Dewan Keamanan yang diusulkan. Secara garis besar, hak veto dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Cina, dan Rusia. Pada awalnya, hak veto ini merupakan konsensus yang ingin menjaga agar tidak ada kekuatan lain yang muncul pasca-Perang Dunia II.

Sehingga, keberadaan hak veto merupakan konsensus dari lima negara pemenang perang dunia II untuk memegang kontrol atas dunia. Adanya hak veto tidak didasarkan atas pertimbangan keadilan, tetapi lebih kepada balance of power yang merupakan ciri khas realisme politik. Perimbangan kekuasaan ini kemudian memberi hak bagi The Big Five untuk memainkan peran politik dalam pembuatan resolusi PBB.

Jika kita analisis, penggunaan hak veto ini memiliki dua dimensi yang problematis. Problem pertama adalah soal power yang tidak terbatas. karena hak veto memberi porsi begitu besar pada power, penggunaan power oleh negara-negara besar kerap terabaikan dari sanksi. Smith (2005) menggambarkan struktur yang AS-minded mengakibatkan adanya justifikasi-justifikasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam foreign policy-nya. Hal ini dipotret sebagai sebuah “hegemoni” dalam politik internasional, yang dalam konteks perang dingin ditandingin oleh “counter-hegemony”, yaitu Uni Sovyet. Terciptalah bipolaritas kekuatan dalam politik internasional (Kegley, 2006).

Problem kedua adalah soal keadilan. hak veto mengabaikan dimensi keadilan dan demokrasi. Padahal, secara struktural. asas keadilan merupakan aspek terpenting dalam decision-making pada diplomasi multilateral (Berridge, 2002). Banyak kasus yang menunjukkan bahwa hak veto sering disalahgunakan oleh negara pemiliknya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam kasus agresi militer Israel ke Jalur Gaza, misalnya, adanya veto atas rancangan resolusi yang memberi sanksi atas Israel mengakibatkan adanya korban jiwa begitu besar. Padahal, serangan tersebut bertentangan dengan Konvensi Jenewa IV (1949).

Dengan demikian, pembagian kekuasaan ini cenderung oligarkis. dan melupakan prinsip pertama realisme politik: Political realism believes that politics, like society in general, is governed by objective laws that have their roots in human nature (Morgenthau, 1948). Dengan adanya hak veto yang berbasis power pada negara-negara besar akan sangat problematis karena adanya subordinasi terhadap hukum internasional. Kacamata realisme memandang hukum internasional sangat penting dalam menegakkan perdamaian dan keamanan (Sprout, 1963). Ketika politik dibasiskan hanya pada power dan meniadakan hukum internasional, hak veto menjadi problematis secara konseptual.

Sehingga, eksistensi PBB dalam kacamata struktural akan tergantung pada nasib dari hak veto ini. Negara-negara besar akan menghadapi tantangan untuk menerapakan asas keadilan, sehingga hegemoni yang menjadi sebuah kekuatan unipolar pasca-perang dingin dapat dikurangi, Penghapusan hak veto serta persamaan hak dan kedudukan negara di PBB akan memungkinkan kontrol atas negara-negara besar yang tidak berkomitmen terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

Kedua , Kegagalan PBB dalam mengatasi kesenjangan antara negara core dan periphery. Deadlock yang seringkali terjadi dalam sidang-sidang WTO harus dibaca sebagai sinyal ketidaksetujuan negara-negara periphery atas klausul free trade regime yang justru akan menjadi penyebab pemiskinan struktural di negara-negara miskin (Kegley, 2006). Negara-negara maju tidak memperhatikan kondisi perekonomian negara-negara miskin yang terpuruk akibat utang luar negeri yang begitu akut, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi. Meminjam bahasa Hadiz (1999), negara-negara miskin mengalami penyerapan surplus ekonomi oleh negara-negara besar karena adanya akumulasi kapital serta pertukaran tak seimbang. Hal ini yang dikenal dalam teori ekonomi politik internasional sebagai “teori dependensia”

Dengan tata ekonomi dunia yang semakin berbasis pasar serta masuknya multinational corporations (MNC) yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara global south (meminjam istilah Charles Kegley), struktur ekonomi dunia akan menjadi semakin timpang. Hal ini juga menjadi tanggung jawab PBB melalui dua lembaga donornya : IMF serta World Bank. Permasalahan yang muncul, IMF serta World Bank tidak menjadi “penolong” negara-negara yang terpuruk tersebut. Lembaga yang kemudian dikenal dengan nama “Washington Consensus” tersebut menawarkan resep ekonomi yang meniadakan peran negara dalam mengatur perekonomian. Akibatnya, banyak negara-negara yang memaksakan konsep ini tanpa pertimbangan rasional sehingga pertumbuhan ekonomi melambat dan utang luar negeri justru bertambah. Fenomena ini dikritik oleh beberapa ekonom seperti Jeffrey Sachs, Vedi R Hadiz atau Joseph Stiglitz.

Penulis seperti Hadiz (1999), misalnya, mengkritik teori negara pasca-kolonial yang sangat bertumpu pada logika di atas. Negara pasca-kolonial seakan-akan diposisikan sebagai sebuah negara yang siap untuk menerima pengaruh eksternal apapun, padahal yang akan muncul sebenarnya hanya penindasan kelas marjinal oleh kelas pemodal. Alih teknologi yang dilakukan tergesa-gesa hanya menumbuhkan dependensi antara negara core dan peripheral.

Hal ini yang menjadi aras problematis dari peran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tujuan awal PBB yang ingin mendudukkan perdamaian dan keamanan sebagai basis akan sangat problematis dalam era yang lebih kontemporer, karena keamanan yang sekarang kita definisikan bukan lagi keamanan yang menyangkut soal-soal militer atau persenjataan, tetapi lebih mengacu pada human security seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Secara struktural, hal ini akan sangat problematis.

Ketiga , hegemoni kekuatan besar dunia. Bukti kegagalan PBB dalam menjaga perdamaian dunia terlihat dari intervensi dan invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat. John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men secara jelas menjelaskan bahwa AS melakukan serangkaian intervensi politik ke negara-negara lain, seperti Panama (Manuel Norriega), Chile (Salvador Allende), atau Guatemala (Jacobo Arbenz). Bahkan pada tahun 2001 dan 2003, Amerika Serikat melakukan show of force dengan melakukan invasi ke Afghanistan serta Irak.

Hegemoni ini mungkin dibatasi melalui PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki power. Namun, PBB yang memiliki otoritas untuk melakukan hal ini justru tidak mampu berbuat banyak, karena secara struktural hegemoni Amerika Serikat masih memiliki dominasi yang kuat. Adanya hak veto dan basis historis sebagai pemenang perang Dunia II menjadi Meski demikian, PBB memiliki yang kemudian tidak kompatibel dengan sistem politik internasional (Sprout, 1963). Sistem politik internasional, sebagaimana dijelaskan oleh Dean Minix dalam bukunya, Global Politics, memang telah mengarah pada unipolaritas pasca-perang Dingin (1990).



Kesimpulan dan Proyeksi

Sehingga, jika mengacu pada analisis di atas, struktur kekuasaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki problem-problem internal. Sebagai sebuah organisasi internasional, PBB akan sangat bertumpu pada great powers yang menjadi patron dari PBB tersebut. Hal tersebut tidak hanya akan sangat oligarkis dan membuat faktor-faktor lain seperti hukum internasional akan terabaikan, tetapi membuat PBB tidak lagi menjadi entitas yang menaungi seluruh kekuatan.

Dalam seting politik yang unipolar seperti sekarang, PBB memang tidak akan menjadi alat bagi hegemoni untuk mensubordinasi kekuatan lain. Akan tetapi, PBB akan diam ketika negara yang mensubordinasi negara lain tersebut adalah sentral dari hegemoni, seperti dalam perang Irak (Setiawati, 2003). Sehingga, untuk menjawab pertanyaan di awal paper, kita dapat menyebutkan bahwa struktur kekuasaan PBB dibentuk di atas basis power lima negara yang menjadi anggota tetap dewan keamanan, sehingga basis struktur tersebut sangat rawan pada kembalinya sistem internasional yang konfliktual. Ada dua argumen: pertama. komitmen terhadap perdamaian sudah tidak lagi dipegang oleh great powers; kedua, munculnya kekuatan penanding dari negara besar sehingga struktur kekuasaan akan menjadi bipolar dan rawan perang, seperti terjadi pada saat perang dingin.

Dengan demikian, struktur kekuasaan yang rapuh tersebut akan memiliki implikasi jika tidak ada konsensus ulang atas fungsi PBB di masa yang akan datang. Hal ini akan mempertajam kebenaran peribahasa lama: si vis pacem para bellum, jika mau perdamaian, bersiaplah untuk perang. Revitalisasi struktur dan peran PBB akan sangat diperlukan untuk menanggulangi permasalah ini.


Daftar Pustaka

Berridge, G.R., Diplomacy: Theory and Practice (New York: Palgrave MacMillan, 2005).

Hadi, Shaummil. 2008. Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra.

Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial. Yogyakarta: Insist Press.

Kegley, Charles W. and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson-Wadsworth, 2006).

Minix, Dean and Sandra Hawley. 1998.Global Politics. New York: Wadsworth.

Morgenthau, Hans J. 1956. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York, N.Y: Alfred A. Knopf, second edition, revised.

Nye Jr, Joseph S. "The Paradox of American Power". Speech presented in Robertson Hall, Princeton University, May 8, 2002.

Perkins, John. 2004. The Confession of an Economic Hit Men, Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (pent: Herman Tirtaatmadja dan Dwi Karyani). Jakarta : Abdi Tandur.

Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci pent. Kamdani dan Imam Baehaqi (Yogyakarta: Insist, 1998).

Sierra, Narcis, Shari Spiegel, dan Joseph E. Stiglitz. “Introduction: From the Washington Consensus Towards a New Global Governance” dalam Narcis Serra dan Joseph Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a New Global Governance? (Oxford: Oxford University Press, 2007).

Smith, Steve and Patricia Owens. “Alternative Approaches in International Theory” in John Baylis and Steve Smith. The Globalization of World Politics: An Introduction of International Theory, Ed. 3, 2005. Retrieved from http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199271184/ch12.pdf

Stigltiz, Joseph. 2002. Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran (Pent.: Darmawan Triwibowo). Jakarta: INFID.

Starke, J.G., 1989. Introduction to International Law (penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH.) Edisis Kesepuluh. Jakata: Sinar Grafika.

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

United Nations Official Website. 2000. “History of United Nations”. Retrieved from http://www.un.org/



***Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah Editor di Jurnal Multiversa, Institute of International Studies, HI UGM

Tidak ada komentar: