rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Kita sedang berada di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh "interconnectedness" –kata Martin Wolf— atau "distanciation" –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.
Kondisi seperti ini terjadi di negeri-negeri Muslim. Serbuan-serbuan kultural, yang dipotret oleh Rasyid Ridha sebagai westernisasi, tak ayal masuk ke generasi muda muslim. Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutama di kalangan generasi muda.
Fragmentasi dan Hegemoni
Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.
Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial.
Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, globalisasi membuat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh umat Islam. Adanya kemajuan teknologi dan mudahnya akses komunikasi-informasi telah memberikan sebuah optimisme bagi umat: kemajuan peradaban Islam sebenarnya dapat kita songsong melalui globaliasi.
Di sisi lain, kita dihadapkan oleh fakta bahwa umat Islam telah mengalami proses fragmentasi kultural dalam jangka waktu yang sangat lama. Adanya pemilahan berupa nation-state serta adanya rentang pemahaman yang sangat luas di kalangan umat Islam telah melahirkan fragmentasi dan ego golongan yang begitu tinggi.
Umat Islam tidak hanya terfragmentasi secara “bangsa”, tetapi juga secara “kelompok”. Konflik sektarian di beberapa negara Timur Tengah telah menjadi potret betapa fragmentasi kultural yang merupakan ekses dari pemilahan “negara-bangsa” tersebut menimbulkan problem yang cukup akut. Belum lagi jika kita berbicara mengenai konflik antar-jamaah dan organisasi, baik ormas ataupun partai politik yang kian menjadikan Islam begitu komunal dan fragmentaris.
Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem dalam umat Islam –dalam bentuk radikalisme agama dan liberalisme pemikiran keamaan— juga membuat adanya konflik yang sama di tempat yang berbeda.
Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini.
Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural berpotensi menggerus lokalitas dan tatanan baku yang ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan.
Pendek kata, globalisasi memiliki dampak negatif dan positif. Cara menghadapi dampak negatif, menurut penulis, adalah dengan membangun kembali modal sosial agar kerekatan umat terjaga dan tidak terjadi konflik-konflik baru yang sifatnya lebih fragmentaris. Modal sosial kita maknai sebagai jaring-jaring sosial, kepercayaan,dan sifat saling menolong antar-umat Islam.
Maka, ada langkah yang perlu dipikirkan. Bagaimana membangun modal sosial umat Islam agar globalisasi tidak berdampak negatif terhadap “solidaritas” keumatan yang ada pada ummat Islam?
Membangun Modal Sosial
dasarnya, pandangan yang hiperglobalis di atas dapat kita atasi dengan membangun modal sosial. Untuk itu, penulis menawarkan beberapa jalan.
Pertama, modal sosial sebagai bagian dari solidaritas harus diejawantahkan melalui pembentukan identitas sosial baru yang lebih luas daripada sekadar identitas golongan. Konteksnya adalah bagaimana menumbuhkan solidaritas sebagai perekat jaring-jaring sosial antarumat Islam.
Identitas sosial yang selama ini kadung melekat di kalangan ummat Islam adalah identitas yang sangat dikotomis dengan basis golongan-golongan. Tantangan tersebut mengantarkan penulis pada kesimpulan: perlu adanya identitas sosial baru yang meng-cover semua identitas golongan yang ada. Itulah identitas sosial “ummat” Islam.
Kedua, perlunya ruang-ruang publik untuk merekatkan kepentingan ummat Islam yang terserak. Islam sejak dulu telah memperkenalkan “Masjid” sebagai wadah perekat ummat. Masjid meluruhkan status-status sosial konstruksi manusia, karena semua memiliki status yang sama ketika melakukan ibadah kepada Allah.
Kata kuncinya adalah bahwa masjid harus menjadi medan komunikatif bagi setiap muslim, apapun afiliasi sosial dan politiknya, sehingga kebutuhannya akan aktivitas keagamaan (hablun minallah) dapat terpenuhi di ruang-ruang masjid. Sehingga, masjid dapat menjadi alat filtrasi dampak negatif dari proses globalisasi.
Ketiga, membangun konsensus. Kita tak dapat menafikan adanya keragaman dalam cara pandang masing-masing kelompok mengenai Islam. Maka, cara terbaik mempertemukan kepentingan yang ada adalah membangun konsensus antara kelompok-kelompok Islam yang ada.
Konsensus ini perlu dibangun agar tidak ada “klaim” migrasi jamaah/kader, “perebutan lahan dakwah”, atau “mesjid yang direbut oleh kelompok tertentu. Dengan komunikasi yang ada, serta ruang publik yang terejawantahkan dalam bentuk mesjid, dampak globalisasi yang fragmentaris dapat kita cegah masuk ke dalam umat Islam.
Tantangan Ummat
Oleh karena itu, globalisasi sebagai sebuah realitas sosial perlu direspons dengan pendekatan-pendekatan yang lebih tepat. Konsepsi Ibnu Khaldun mengenai “solidaritas sosial” perlu direvitalisasi dalam konteks pembentukan modal sosial yang kuat agar dampak negatif globalisasi dapat difilter.
Kini, kita tinggal berharap pada tokoh-tokoh umat: mampukah mereka merancang dan merintis bangunan modal sosial tersebut secara konsoasional? Wallahu a’lam bish shawwab.
*) Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM
Kita sedang berada di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh "interconnectedness" –kata Martin Wolf— atau "distanciation" –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.
Kondisi seperti ini terjadi di negeri-negeri Muslim. Serbuan-serbuan kultural, yang dipotret oleh Rasyid Ridha sebagai westernisasi, tak ayal masuk ke generasi muda muslim. Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutama di kalangan generasi muda.
Fragmentasi dan Hegemoni
Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.
Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial.
Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, globalisasi membuat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh umat Islam. Adanya kemajuan teknologi dan mudahnya akses komunikasi-informasi telah memberikan sebuah optimisme bagi umat: kemajuan peradaban Islam sebenarnya dapat kita songsong melalui globaliasi.
Di sisi lain, kita dihadapkan oleh fakta bahwa umat Islam telah mengalami proses fragmentasi kultural dalam jangka waktu yang sangat lama. Adanya pemilahan berupa nation-state serta adanya rentang pemahaman yang sangat luas di kalangan umat Islam telah melahirkan fragmentasi dan ego golongan yang begitu tinggi.
Umat Islam tidak hanya terfragmentasi secara “bangsa”, tetapi juga secara “kelompok”. Konflik sektarian di beberapa negara Timur Tengah telah menjadi potret betapa fragmentasi kultural yang merupakan ekses dari pemilahan “negara-bangsa” tersebut menimbulkan problem yang cukup akut. Belum lagi jika kita berbicara mengenai konflik antar-jamaah dan organisasi, baik ormas ataupun partai politik yang kian menjadikan Islam begitu komunal dan fragmentaris.
Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem dalam umat Islam –dalam bentuk radikalisme agama dan liberalisme pemikiran keamaan— juga membuat adanya konflik yang sama di tempat yang berbeda.
Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini.
Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural berpotensi menggerus lokalitas dan tatanan baku yang ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan.
Pendek kata, globalisasi memiliki dampak negatif dan positif. Cara menghadapi dampak negatif, menurut penulis, adalah dengan membangun kembali modal sosial agar kerekatan umat terjaga dan tidak terjadi konflik-konflik baru yang sifatnya lebih fragmentaris. Modal sosial kita maknai sebagai jaring-jaring sosial, kepercayaan,dan sifat saling menolong antar-umat Islam.
Maka, ada langkah yang perlu dipikirkan. Bagaimana membangun modal sosial umat Islam agar globalisasi tidak berdampak negatif terhadap “solidaritas” keumatan yang ada pada ummat Islam?
Membangun Modal Sosial
dasarnya, pandangan yang hiperglobalis di atas dapat kita atasi dengan membangun modal sosial. Untuk itu, penulis menawarkan beberapa jalan.
Pertama, modal sosial sebagai bagian dari solidaritas harus diejawantahkan melalui pembentukan identitas sosial baru yang lebih luas daripada sekadar identitas golongan. Konteksnya adalah bagaimana menumbuhkan solidaritas sebagai perekat jaring-jaring sosial antarumat Islam.
Identitas sosial yang selama ini kadung melekat di kalangan ummat Islam adalah identitas yang sangat dikotomis dengan basis golongan-golongan. Tantangan tersebut mengantarkan penulis pada kesimpulan: perlu adanya identitas sosial baru yang meng-cover semua identitas golongan yang ada. Itulah identitas sosial “ummat” Islam.
Kedua, perlunya ruang-ruang publik untuk merekatkan kepentingan ummat Islam yang terserak. Islam sejak dulu telah memperkenalkan “Masjid” sebagai wadah perekat ummat. Masjid meluruhkan status-status sosial konstruksi manusia, karena semua memiliki status yang sama ketika melakukan ibadah kepada Allah.
Kata kuncinya adalah bahwa masjid harus menjadi medan komunikatif bagi setiap muslim, apapun afiliasi sosial dan politiknya, sehingga kebutuhannya akan aktivitas keagamaan (hablun minallah) dapat terpenuhi di ruang-ruang masjid. Sehingga, masjid dapat menjadi alat filtrasi dampak negatif dari proses globalisasi.
Ketiga, membangun konsensus. Kita tak dapat menafikan adanya keragaman dalam cara pandang masing-masing kelompok mengenai Islam. Maka, cara terbaik mempertemukan kepentingan yang ada adalah membangun konsensus antara kelompok-kelompok Islam yang ada.
Konsensus ini perlu dibangun agar tidak ada “klaim” migrasi jamaah/kader, “perebutan lahan dakwah”, atau “mesjid yang direbut oleh kelompok tertentu. Dengan komunikasi yang ada, serta ruang publik yang terejawantahkan dalam bentuk mesjid, dampak globalisasi yang fragmentaris dapat kita cegah masuk ke dalam umat Islam.
Tantangan Ummat
Oleh karena itu, globalisasi sebagai sebuah realitas sosial perlu direspons dengan pendekatan-pendekatan yang lebih tepat. Konsepsi Ibnu Khaldun mengenai “solidaritas sosial” perlu direvitalisasi dalam konteks pembentukan modal sosial yang kuat agar dampak negatif globalisasi dapat difilter.
Kini, kita tinggal berharap pada tokoh-tokoh umat: mampukah mereka merancang dan merintis bangunan modal sosial tersebut secara konsoasional? Wallahu a’lam bish shawwab.
*) Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM
1 komentar:
Artikel nya bagus banget,, kita skrg ini mmg sedang krisis sosial Mas, hendak kita sama2 membangun kembali empati sosial yang ada dlm diri kita masing2 mulai dari keluarga, linkungan tempat tinggal maupun tempat kerja, mudah2an kita semua terhindar dari sikap negatif dari globalisasi sosial,,salam Travel Haji Umroh
Posting Komentar