Minggu, 30 Oktober 2011

"Agama Progresif"

Agama bukan sekadar ritual. Di baliknya, tersimpan makna untuk pembebasan, kemerdekaan, revolusi, perjuangan. tanpa kelas. tanpa penindasan.

ISLAM
Islam tak tepat jika disinonimkan hanya sekadar sebagai "agama". Pranatanya jelas lebih luas, melampaui sekadar agama. Islam sekadar agama berarti hanya mendefinisikan Islam dalam skema ritual yang sifatnya individual. Hanya sekadar aturan-aturan yang membebankan individu. Padahal Al-Qur'an juga bicara sistem. Islam adalah sejarah. Praksis historis Islam terbentang dari padang-padang stepa di Mongolia, pesisir laut nusantara, sabana Afrika, gurun pasir Arabia, hingga dataran bersalju di Eropa dan Rusia. Ia adalah juga peradaban, sebuah sistem kemanusiaan yang memandu perjalanan hidup manusia. Ia adalah semangat perubahan sosial, yang menggabungkan praksis material, historis, dan metafisis sekaligus. Bersumber pada tauhid, yang menjadi kerangka berpijak, sandaran transendental manusia kepada "yang di luar", yang punya kekuasaan tunggal. Dan berpraksis pada kemanusiaan dan keadilan, menentang kezaliman, penindasan, melawan kebatilan. Islam adalah sejarah, ideologi, ontologi, agama, ritual, dan tentu saja praktik. Ia melingkupi manusia dalam perjalanan hidupnya. 

SYAHADATAIN
Deklarasi, penegasan bahwa yang bisa disebut sebagai "Tuhan" itu hanya satu: Allah; yang berkuasa itu hanya satu; Allah; dan yang bisa mengatur hidup manusia itu hanya satu; Allah. Dan konsekuensi logisnya, memercayai manusia yang Allah pilih, sebagai pembawa berita, yaitu Rasulullah, Muhammad. Sosok pembebas manusia dari kebatilan, dari ketidakadilan, dari zaman kegelapan. Yang bisa menindas itu hanya satu, yaitu Allah. Berarti, yang mau menindas orang lain, yang ingin menjadi tiran, yang ingin merendahkan orang lain  berarti ingin menggantikan Allah sebagai tuhan. Padahal tiada tuhan selain Allah. Dan manusia itu bersaudara, sama derajat, siapapun orangnya, asal bisa menerima sesamanya, sebagai saudara. 

JILBAB
Bentuk perlindungan diri terhadap eksploitasi; terhadap penindasan manusia atas manusia lain. Penegasan bahwa manusia itu egaliter, punya hak dan kedudukan sama, haram ditindas oleh manusia lainnya. Jilbab adalah hijab, pelindung dari ketidakadilan, pelindung dari penindasan. Wanita yang berjilbab mengharamkan dirinya ditindas oleh laki-laki, tidak ada superioritas gender. Jilbab adalah pelindung wanita dari eksploitasi kapitalisme, bukan justru komoditas yang mendukung kapitalisme. Jilbab adalah kehormatan, perlindungan terhadap wanita dari nafsu menindas manusia lainnya. Jilbab bukan sekadar aksesori; Ia adalah wahana perlindungan atas kapitalisme yang tak paham kemanusiaan.

SHALAT
Manifestasi ketundukan hanya pada satu kuasa yang tunggal; persatuan umat di bawah satu ketaatan. Tidak ada ketaatan pada selain Allah. Tidak ada penyembahan pada selain Allah. Shalat adalah penyemangat gerak, pengharaman diri dari kezaliman dan angkara. Pengharaman diri dari segala bentuk penindasan, sok berkuasa, atas manusia lain. Shalat melepas baju-baju selubung diri, kesombongan yang terlihat, di hadapan Allah. Kekhusyukan adalah kesungguhan perjuangan di hadapan Allah. Dimulai dengan Allahu Akbar; mengakui kebesaran Allah, menafikan kebesaran selain-Allah, menafikan kebesaran-diri. Diakhiri dengan salam, sebagai bentuk penghormatan atas egaliterisme, sikap menghargai kemanusiaan. Penegasan atas ke-mahabesar-an Allah, harus dimanifestasikan dalam bentuk penghargaan atas kemanusiaan. Dan implikasi sosialnya, menegasikan fahsya' dan munkar. Kejahatan, kezaliman, penindasan, kekerasan.

AL-QUR'AN
Pedoman hidup manusia. Al-Qur'an mengajarkan kita bahwa revolusi, perjuangan, perubahan sosial, dan semacamnya itu perlu sentuhan intelektualitas. Perlu pedoman. Perlu basis intelektual. Oleh sebab itu, Al-Qur'an menyuruh kita membaca. Sebab membaca adalah kunci. Pembuka. Pembebasan itu perlu pembacaan, perangkat analisis, strategi dan taktik (stratak). Perlu tahu objeknya. Tidak sekadar mengikut orang lain. Itulah sebabnya ada Al-Qur'an untuk memandu jalan kita. Al-Qur'an mengajarkan, mereka yang menolak menerima bantuan, berselingkuh dengan kekuasaan, adalah pendusta agama. Mereka yang bermewah-mewahan bisa celaka. Dan lain sebagainya. Al-Qur'an adalah petunjuk, obat, penuntun manusia ke jalan lurus.

ZAKAT
Proposisi perlawanan terhadap kapitalisme. Bahwa hidup itu bukan untuk mencari uang, tetapi membagikan uang untuk rakyat miskin yang tertindas. Bahwa bekerja adalah simbol pengabdian pada Allah. Dan hasil dari bekerja bukan untuk diri sendiri. Ketika mendapatkan uang, kita memupus kesempatan orang lain untuk mendapatkan uang. Konsekuensi logisnya, zakat adalah tanggung jawab sosial. Kemiskinan adalah sumbangsih orang yang punya uang. Mereka harus diberikan haknya yang ada pada kita. Zakat menegasikan individualisme yang dibawa kapitalisme. Uang adalah entitas kolektif, yang dipunya oleh semua orang. Ketidakadilan ekonomi harus dilawan. Zakat adalah simbolnya. 

PUASA
Bentuk perlawanan terhadap hawa-nafsu. Perlawanan terhadap nafsu untuk berkuasa, kehendak menindas orang lain. Berpuasa berarti menahan hasrat untuk "makan". Menahan hasrat biologis, kebutuhan hidup. Makan adalah sumber nafsu. Mengendalikan waktu makan, berarti belajar mengendalikan nafsu. Kejahatan dimulai dari nafsu. Kekerasan juga sumbernya nafsu. Mengendalikan semua hasrat itu, berarti belajar mengendalikan diri dalam interaksi sosial. Belajar bahwa tidak hanya kita yang hidup di dunia. Bahwa masih ada yang kelaparan, terpinggirkan, tertindas, tak dapat akses untuk makan, di saat kita sendiri tengah makan. Dan artinya, belajar sederhana.

HAJI
Momentum persatuan umat Islam. Sebuah pernyataan sikap akbar umat Islam untuk melawan kezaliman, melawan penindasan, melawan kebatilan. Manusia melepas selubung kebesarannya, Menelanjangi dirinya, melawan kehendak berkuasanya, dengan irham. Melandaskan niatnya pada ketulusan dan kesungguhan perjuangan, melalui miqat. Lalu berjalan menuju persatuan, kesadaran kolektif, revolusi terbuka dalam perjuangan kelas bersama, melalui wuquf di Arafah. Arafah menjadi saksi lautan manusia yang berkumpul untuk menegakkan kalimat tuhan, melawan penindasan iblis di muka bumi. Lalu berjalan mengumpulkan perbekalan, batu-batu tajam di Masy'aril Haram, Mudzalifah. Berbekal berarti merumuskan strategi dan taktik perjuangan, agar perlawanan siaga, tidak salah arah. Dan mengistirahatkan diri sebelum medan pertempuran. Besoknya, sampai di Mina, dengan bekal batu-batu tajam itu, melempar jumrah. Melawan penindasan, simbolisasi Iblis, dengan nyata. Selama tiga hari, berjuang bersama dalam sekup perlawanan. Lalu bertolak ke Makkah, selepas perlawanan, untuk meraih kemenangan, melakukan tawaf. Dan menggapai kemuliaan di sa'i, menyelesaikannya atas nama Allah dengan tahallul. Memotong rambut sebagai rasa syukur, sekaligus penanda bahwa perjuangan ini adalah perjuangan bersama. Atas nama Allah. Haji adalah simbol kekuatan umat Islam, yang dibangun di atas fondasi persaudaraan, di atas kerangka tauhid sebagai dasar perjuangan.

I'TIKAF
Simbol pengasingan diri menuju kemerdekaan berpikir. Bahwa hidup ini untuk ibadah pada Allah. Meluruskan niat. Menuju Rumah Allah untuk mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia, pragmatisme, kehendak berkuasa. Semuanya harus dilawan. Manusia adalah makhluk bebas, merdeka, hanya tunduk pada Allah. Tak ada yang lain yang bisa menggantikan Allah. Oleh sebab itu, ia harus kembali pada hakikatnya, sebagai makhluk Allah. Dan untuk itulah i'tikaf dilakukan. Untuk mengisi perbekalan sebelum menginisiasi perubahan.

QURBAN
Kesyukuran atas pembebasan manusia dari hawa nafsu, yang diperankan Ibrahim. Memberikan harta untuk dimakan orang lain. Simbol solidaritas, kolektivisme. Bahwa manusia harus bersyukur dengan kelebihan yang ia miliki. Qurban adalah keikhlasan mengorbankan harta-benda untuk perjuangan. Refleksi kesadaran. Simbol atas kepasrahan pada Allah bahwa perjuangan itu adalah manifestasi pelaksanaan kalimat Allah di muka bumi. Revolusi. Pembebasan.

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

Barang siapa yang ingin merendahkan orang lain
berarti ia ingin menjadi tuhan
barang siapa ingin menjadi tiran
berarti ia ingin menjadi tuhan
barng siapa ingin menang sendiri
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada Tuhan selain Allah!

Seorang penguasa yang menindas rakyatnya
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada tuhan selain Allah!
Kita Menerima siapapun orangnya dan
Dari manapun asalnya
Asalkan bisa menjadi saudara bagi
Sesamanya

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

SYAHADAT PEMBEBASAN

Sabtu, 29 Oktober 2011

"Andi Munajat" (Refleksi Hari Sumpah Pemuda)


DARAH JUANG

Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Negeri kami subur tuhan

Di Negeri Permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda Desa tak kerja

*****

Pada tanggal 27 Maret 2009, dua tahun silam, Harian Banjarmasin Post melansir sebuah berita kecelakaan. Beritanya tak dianggap hangat, "hanya" berada di halaman "Banjarmasin". Waktu itu, saya sudah kuliah di Yogyakarta, di semester kedua.Saya pun baru melihat beritanya beberapa bulan kemudian, ketika saya dengan iseng mencari-cari nama beberapa penggerak gerakan mahasiswa tahun 90-an.

Berita itu bagi sebagian orang -apalagi orang Banjar- mungkin tak akan dianggap terlalu penting, sebab ia menceritakan sebuah peristiwa kecelakaan biasa: seorang aktivis LSM dan puteranya yang baru berusia 6 tahun meninggal dunia karena kecelakaan di Jalan Trans-Kalimantan, antara Pelaihari dan Batulicin. Korbannya bernama Andi Munajat (42), seorang aktivis LSM di daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu. Menurut catatan berita, ia aktif di LSM Sampan, sebuah LSM Lokal dan beberapa organisasi sosial.

Bagi para pembaca Banjarmasin Post, mungkin berita itu tak ada yang istimewa. Andi Munajat seakan-akan tidak begitu dikenal, bahkan oleh koran terbesar di Kalimantan Selatan itu. Akan tetapi, ketika berita kecelakaan itu tersebar, para mantan aktivis di Yogyakarta langsung dibuat kaget. Sebuah buku diluncurkan, "Menyulut Api Kering Perlawanan" khusus untuk memberi penghormatan atas kematiannya. Media massa, seperti vhrmedia, mengulas sosoknya dalam satu berita penuh. Berjuta ucapan belasungkawa dihaturkan. Sebuah aksi solidaritas dilangsungkan untuk mengenangnya.

Lantas,  siapakah ia sebenarnya?

****

Andi Munajat boleh jadi tak dikenal di Kalimantan Selatan. Ia mungkin hanya disebut oleh Banjarmasin Post sebagai "aktivis LSM Lokal". Tapi bagi gerakan reformasi, yang memberi perubahan besar bagi struktur politik Indonesia di penghujung abad ke-20, namanya menjulang tinggi. Sanad aktivis kiri Yogya, boleh dikatakan, berujung pada dirinya. Sebuah catatan yang ditulis khusus untuk mengenang Almarhum -ditulis oleh Yul Amrozi- menyebutnya sebagai "Socrates" di zaman pergerakan mahasiswa saat itu.

Saya mencoba mengumpulkan beberapa catatan mengenai Andi Munajat dari dokumentasi media. Beliau adalah mahasiswa Filsafat UGM, angkatan 1986. Ketika beliau meninggal, di milis mahasiswa filsafat ramai membincang belasungkawa. Ia sezaman dengan beberapa aktivis kiri zaman itu, macam Ngarto Februana (sekarang wartawan Tempo), Dadang Juliantara (Mantan Direktur Walhi Yogyakarta), atau Budiman Sujatmiko (Ketua Repdem PDIP).

VHRMedia menyebut Andi sebagai "seorang tokoh muda tak dikenal yang sebenarnya berjasa besar membangun gerakan demokrasi di kalangan mahasiswa dan generasi muda". Ialah yang disebut-sebut berada di balik pendirian SMID, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, sebuah organ mahasiswa yang menjadi cikal-bakal munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Dari catatan Eka Kurniawan, saya mengetahui bahwa Andi Munajat dikenal sebagai salah satu tokoh PIJAR, majalah mahasiswa Filsafat UGM yang pada era itu menjadi corong kritisisme pers mahasiswa. Gambaran Eka Kurniawan, "Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung tidur di pojok.”

Sejarah PIJAR yang ditulis oleh penggiat pers mahasiswa Filsafat ini juga mencatat bahwa Andi Munajat tercatat sebagai pendiri BPM Pijar, bersama Hari Subagyo -yang kemudian banyak terlibat dalam advokasi petani-, Agus Wahyudi (Dosen Filsafat), Yayan Sopyan (mantan Pemimpin Umum), dan lain sebagainya.

Catatan lain diperlihatkan VHRMedia, melalui catatan wawancaranya dengan seorang kawan dekat Andi Munajat. “Dia satu-satunya orang yang mau memberikan perspektif untuk melawan rezim yang ingin menghancurkan rakyat", kata Wilson, rekan Andi Munajat tersebut. Khas gerakan mahasiswa 1990-an.

Dan tentu saja karya seni monumentalnya, yang hampir menjadi "menu wajib" lagu-lagu demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta, baik dari kalangan Islam maupun kiri. "Darah Juang", yang ditulisnya bersama Johnsony Tobing (sekarang di PRD) adalah satu dari sekian buah karyanya. "Darah Juang" menjadi cerminan ketidakadilan pemerintah dalam karya sastra, dinyanyikan ketika demonstrasi, memberi semangat perjuangan yang kental.

SMID, yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Rakyat Demokratik, juga merupakan buah gagasannya. SMID segera menjadi organ gerakan kiri dengan aksi-aksinya yang radikal, berpusat di Yogyakarta, dan kemudian dengan cepat menyebar ke daerah-daerah lain, utamanya Jakarta.

Syahdan, Andi Munajat-lah yang mengoperatori pendirian SMID melalui muhibah ke beberapa kota, begitu catatan Yul Amrozi, seorang mantan aktivis SMID Yogya. Seorang kawan, tokoh Liga Mahasiswa Nasionalis untuk Demokrasi, bercerita bahwa Andi Munajat-lah yang sesungguhnya menjadi Ketua Ilegal LMND. Wallahu a'lam.

Namun, versi lain menyebutkan, namanya tak lagi muncul dalam pentas SMID pada tahun 1994. Memang, dalam sejarah SMID, yang kemudian terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal SMID adalah Munif Laredo dan Fernando Manullang. Lalu kemudian muncul PRD yang dikomandoi oleh Budiman Sujatmiko, mahasiswa FE UGM. Nama Andi Munajat kemudian tak lagi disebut-sebut. Ada yang mengatakan ia disingkirkan dengan alasan yang tidak terlalu jelas.

Sejak saat itu, nama Andi Munajat hilang dari blantika gerakan mahasiswa. Ia kemudian pergi ke Kalimantan -kemudian saya ketahui Banjarmasin- dan mengorganisir basis di sana. Jelas, ia tak bersentuhan dengan ketenaran dan popularitas. Sehingga, bagi seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa Islam seperti saya, jika tak iseng mencari-cari, mungkin tak kenal siapa orangnya.

Pendek kata, nama Andi Munajat menjadi salah satu kreator dari pergerakan pro-demokrasi di penghujung 1990-an. Gerakan prodemokrasi lahir dari tangannya. Namun demikian, ia tak tampil membela panji demokrasi ketika revolusi sosial merembes ke Jakarta, menumbangkan state capitalism Orde Baru, memberi warna reformasi tahun 1998. Namanya seakan-akan hilang ditelan zaman.

Ketika rekan-rekannya dulu, seperti Andi Arief (Mahasiswa FISIPOL), Velix Wanggai (mantan Ketua Jamaah Mushola Fisipol), atau Budiman Sujatmiko (Ketua PRD) tampil dalam panggung politik di medio 2000-an, tidak ada yang mengenal Andi Munajat di koran-koran nasional. Padahal, namanya sangat patut diperhitungkan sebagai ideolog gerakan kiri Yogya 1990-an.

Di akhir hayatnya, Andi Munajat lebih memilih "mengasing" di sebuah desa kecil bernama Sungai Danau, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Ia memilih mengorganisir massa di wilayah itu. Sebagai Urang Banjar, saya tahu persis betapa wilayah di Kabupaten itu kaya tambang, tapi tak jelas pengelolaannya. Hutan-hutannya digundul atas dalih HPH. Almarhum kabarnya sempat terlibat pemogokan kayu di sana.

Namun, siapa yang tak terkejut ketika mendengar kabar bahwa Andi Munajat meninggal di tahun 2009, dengan tak disangka-sangka. Berita yang memuat kematiannya hanya ditempatkan di bagian dalam, bukan headline. Media pun tak kenal jasa-jasanya semenjak menjadi mahasiswa dulu. Ia mati layaknya Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang zuhud itu, tak dikenal, sendirian.

Untuk mengenang namanya, beberapa aktivis gerakan 98 kemudian meluncurkan sebuah buku: "Menyulut Lahan Kering Perlawanan, Gerakan Mahasiswa 1990-an: Tribute to Andi Munajat". Tercatat beberapa nama seperti Nezar Patria (Koordinator AJI), FX Rudy Gunawan, dan lain sebagainya. Buku itu diluncurkan di Goethe Institute, September 2009.

****


Itulah Andi Munajat. Namanya mungkin melekat di hati aktivis gerakan kiri, terutama gerakan kiri Yogyakarta, tapi mungkin tidak dikenal di masyarakat banyak. Namanya kalah bersinar dibanding Fahri Hamzah, senior saya yang sering mencuatkan kontroversi tak jelas untuk melindungi kepentingan proyek partainya. Mungkin, namanya tidak banyak bersanding dengan Andi Arief yang kini masuk dalam lingkar kekuasaan SBY. Dan lain-lain.

Saya memang bukan seorang aktivis gerakan kiri, walau dalam beberapa kesempatan sering terlibat aksi bersama mereka. Usia akademik saya amat jauh terpaut dengan beliau. Namun, bagi seorang aktivis "kacangan" seperti saya, yang tak punya apa-apa selain tulisan-tulisan jelek ini, beliau menjadi inspirator perjuangan yang kuat.

Rekam jejak kepahlawanan Andi Munajat -jika boleh saya menggunakan istilah "pahlawan" sebagaimana sering digunakan Anis Matta- bukan terletak pada hebatnya aktivitas pengorganisiran yang mampu menggerakkan mahasiswa tingkat nasional di masa lampau. Kepahlawanan Andi Munajat -bagi saya- terletak pada kesungguhan (mujahadah) untuk mengorganisir, dari level bawah (akar rumput) hingga mahasiswa.

Di saat godaan kekuasaan menerpa alumnus gerakan mahasiswa 90an (Fayyadl menyebutnya sebagai "migrasi para aktivis"), Andi Munajat tetap tak dikenal dengan advokasinya di masyarakat Satui yang kaya tambang namun tak banyak kenal pendidikan. Entah karena penyingkiran atau pelarian, tak ada yang tahu mengapa Andi Munajat enggan tampil ke pentas politik nasional. Padahal, saya yakin godaan itu begitu kuat melanda.

Migrasi aktivis mahasiswa ke lajur politik tak dapat disangkal. Fenomena ini terjadi di KAMMI, organisasi yang saya pilih untuk digeluti di masa kuliah. Ada yang dengan cepat menjadi elite di PKS -yang didirikan oleh alumninya- dan menjadi anggota DPR, alias pemain dalam perburuan rente di parlemen. Ada yang kurang sigap, lantas hanya menjadi staf ahli. Ada pula yang memanfaatkan jaringan untuk mem-broker-i proyek anggaran. Sebagian lagi, yang soleh-soleh itu, menjadi ustadz di partai, dengan segenap kompartemennya.

Kendati demikian, ada yang berprofesi berbeda. Menjadi wartawan, aktivis LSM, atau menggeluti dunia usaha "murni", bukan membroker. Ada yang tampil di pentas birokrasi, menjadi penegak hukum, dan lain sebagainya. Namun kekuatan mereka tak sekuat mereka yang di partai politik -dengan segala perangkat sumber dayanya.

Andi Munajat mengajarkan sesuatu hal pada kita: keikhlasan dalam bergerak. Ia "melawan" logika uang dan kekuasaan yang kini meliputi mainset kawan-kawan gerakan mahasiswa. Organisasi intrakampus mungkin merapat ke rektorat, lantas bermain dengan anggaran dan proyek-proyek gerakan dari "alumni" atau broker gerakannya. Yang ekstrakampus tak kalah genitnya, mencari proyek atas nama jalinan kuasa tertentu. Dan lain sebagainya.

Keikhlasan dalam bergerak bukan sekadar "apa yang bisa diberikan untuk gerakan", tetapi juga "seberapa besar pengorbanan untuk gerakan". Keikhlasan berarti siap berpeluh-darah mengorganisir di tempat yang tak enak, menggerakkan yang sulit. Bukan sekadar mencari uang. Tapi, tentu saja, hal yang tak enak itu tetap dijalani dengan lapang dada.

Dalam euforia sumpah pemuda, semangat Almarhum Andi Munajat memberi kita inspirasi: Seorang penggerak tak harus melambungkan dirinya untuk kepentingan pribadi. Seorang penggerak bisa jadi berjalan di tempat yang sunyi, dalam keheningan, bekerja dalam diam, namun memberikan kebesaran pada masyarakatnya. Ia tak perlu ketenaran, sebab ketenaran hanya melumpuhkan sumpah. Seorang pemuda mesti menitahkan sumpahnya: bergerak dalam keikhlasan!

Dan sebab itu, dengan Sumpah Pemuda, yang mendeklarasikan beberapa hal, perlu ada perluasan-perluasan. Sumpah Mahasiswa Indonesia tahun 1998 sudah menegaskan hal ini: Kami, Mahasiswa Indonesia, Mengaku berbangsa satu: Bangsa yang Gandrung Keadilan, berbahasa satu: Bahasa Kebenaran, dan bertanah air satu: Tanah Air Tanpa Penindasan.

Dalam semangat Sumpah Pemuda, Andi Munajat mengajarkan pada kita: perubahan itu tidak bermula dari Jakarta. Ia bermula dari desa-desa kecil, jalan-jalan sempit, pedalaman yang tak terjamah. Dan itu artinya, tidak berkelindan dengan kekuasaan. Juga tidak bercengkerama dengan uang yang terlampau banyak

Sebagai aktivis, saya harus malu jika tak punya kehendak untuk hidup bermasyarakat selepas lulus kuliah. Saya harus malu jika hanya berorientasi "mencari uang" ketika lulus kuliah. Dan saya harus malu jika kemudian berselingkuh dengan kekuasaan setelah menyelesaikan studi.

Dan Andi Munajat (almarhum) memesankan satu hal lain yang tak kalah penting: idealisme.

****

Dalam syairnya, "Darah Juang", Andi Munajat (Alm) berpesan: "Bunda Relakan Darah Juang Kami, Tuk Membebaskan Rakyat". Pembebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan adalah agenda kolektif gerakan, dari Islam ataupun gerakan kiri. Rakyat sudah terlampau lama dijajah oleh hegemoni modal, oleh tangan-tangan gaib yang menjamah pertambangan kita. Perlu ada semangat pembebasan itu. Dan itu yang mesti kita pupuk selama ini.

Andi Munajat boleh tak dikenal di daerahnya. Tapi namanya tetap abadi dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab sejarah tak berdusta. Ia tahu persis, mana kaum oportunis, dan mana yang bergerak atas dasar keikhlasan.

Dan saya akhiri tulisan ini, sebagai peringatan sumpah pemuda, dengan kata-kata sederhana: Selamat Jalan! Semoga dari rahim sejarah yang baru lahir tunas-tunas penggerak dan pemikir yang baru pula!

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat

DARAH JUANG

Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun. Billahi fii sabilil haq.

*Penulis adalah Aktivis KAMMI UGM

Rabu, 26 Oktober 2011

"Nahdhiyyin dan Muhammadiyyin"

AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR

Saya baru saja membaca tulisannya Pak Heru Prasetia soal Muhammadiyah di blog beliau. Judulnya "Saya dan Muhammadiyah". Tulisannya agak lama. Ditulis kira-kira setahun silam, ketika Jogja sedang menggelar hajatan Muktamar Seabad yang melibatkan pengurus dan penggembira dari seantero penjuru Indonesia.

Yang menarik, tulisan itu mengupas Muhammadiyah dari perspektif Nahdhatul Ulama, yang selama ini sering dianggap vis-a-vis dengan modernisme Muhammadiyah. Sehingga, lahir sebuah perspektif yang sangat berbeda dari tulisan-tulisan lain tentang Muhammadiyah. Saya mengenal penulisnya, sebagai seorang aktivis PMII tahun 1990an, dan sekarang mengelola sebuah lembaga masyarakat sipil bernama Lafadl Initiatives di Yogyakarta.

Saya pun menjadi tertarik untuk membahas masalah ini dari sudut pandang sebaliknya. Tentu saja, dengan perspektif yang sangat subjektif. Saya lebih memilih menceritakan lewat jalur pengalaman, siapa tahu ada rekan-rekan yang mungkin pengalamannya mirip. Bagi yang merasa bosan, dipersilakan mengabaikan.

****

Berbeda dengan mas Heru Prasetia, dalam sejarah hidup saya, justru NU yang sering dipersepsikan dalam makna yang peyoratif. Saya lahir di sebuah lingkungan Muhammadiyah yang kental di Kalimantan Selatan -sebuah daerah basis Nahdhatul Ulama di Kalimantan. Sebagai keluarga "Muhammadiyah", tentu saja lingkungan keluarga saya sangat menolak tradisi-tradisi yang "tidak diajarkan dalam Qur'an dan Sunnah", yang artinya jatuh pada TBC -Takhayul, Bid'ah, Churafat.

Dengan konstruksi dan didikan keluarga yang bersemangat keagamaan modernis tersebut, wajar jika kemudian saya tumbuh besar sebagai seorang yang memperjuangkan visi modernisme dalam keagamaan, yaitu bersikap kritis terhadap realitas umat.

Saya masih ingat betul, tulisan pertama yang saya tulis dan dipublikasikan (walau hanya untuk level majalah dinding sekolah)  berjudul singkat: Bid'ah; tulisan tersebut mengupas perilaku yang mengada-ada dalam agama.

Ini adalah keresahan pertama saya terhadap realitas keagamaan yang dipengaruhi oleh pelbagai tradisi keagamaan yang saya persepsikan tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunah, yang, tentu saja, sangat dipengaruhi oleh doktrin anti-TBC dari Muhammadiyah. Ketika itu, saya masih bersekolah di SD Muhammadiyah di daerah.

Lambat laun, saya masih memegang teguh pemikiran keagamaan modernis tersebut, walau saya kemudian pindah ke Sekolah Menengah Pertama. Di sana, semua guru agama berpaham keagamaan tradisionalis, atau sering disebut NU, yang dulu banyak saya kritik ketika SD. Tentu saja saya kemudian menjadi siswa yang cerewet, banyak tanya, baik ketika mata pelajaran Agama Islam atau pengajian agama yang dilakukan oleh sekolah tiap Jumat pagi.

Waktu itu, issue-issue keagamaan di masyarakat memang cukup kental mengupas fenomena-fenomena sepele dalam tajuk ibadah mahdhah. Masalah seperti Qunut, Tahlilan, Yasinan, Tarawih 23 raka'at, dan lain sebagainya sering berserimpung dengan aktivitas ibadah di masyarakat.

Perbincangan biasanya akan semakin "panas" jika bicara soal hari raya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa metode hisab dan rukyat yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU akan berbenturan ketika Idul Fitri atau Idul Adha. Pasalnya, yang menggunakan metode hisab pasti akan berhari raya terlebih dulu, asalkan hilal sudah lewat 0 derajat melalui hisab. Sementara NU mensyaratkan harus terlihat mata. Ini juga sering menjadi masalah yang agak pelik di masyarakat.

Perdebatan di tengah masyarakat yang muncul sederhana: kalangan NU mengatakan bahwa "ini amalan yang sudah dikerjakan oleh orang-orang tua dulu", sementara Muhammadiyah berkata "amalannya tidak ada dalilnya di Qur'an dan Sunnah". Jangan salah. Hal-hal seperti ini justru seringkali membawa riak-riak di tengah masyarakat antara kubu NU dan Muhammadiyah.

Di penghujung akhir SMP, saya mulai aktif di pengajian-pengajian Muhammadiyah meski belum terlalu sering, karena kesibukan ujian akhir nasional. Muhammadiyah di Banjarmasin identik dengan pengajian; tiap-tiap mesjid mesti punya agenda pengajian, dan itu dikoordinasikan di tingkatan daerah. Jadi, tiap mesjid punya agenda pengajian di hari yang berbeda. Saya mula-mula aktif di Mesjid Hasanuddin Majedie (yang punya pemahaman keagamaan segaris dengan Muhammadiyah) lalu ke Mesjid Al-Jihad, yang memang merupakan mesjid Muhammadiyah tulen.

Pada forum-forum pengajian itu, saya justru mendapatkan penguatan "ideologi" anti-TBC yang selama ini saya pegang teguh. Akan tetapi, pada forum pengajian itu, pembahasan mengenai hal-hal keagamaan dilakukan secara ilmiah, dengan mengupas dasar dan dalil yang ada, disertai argumentasi rasional. Hal ini membuka pintu masuk bagi saya untuk mengkaji masalah-masalah yang dulu saya kritik, secara lebih terbuka, dan membuka pikiran.

Pun ketika di masa SMA, saya masih aktif di forum-forum pengajian itu. Tapi seiring keaktifan, persepsi saya mengenai aktivitas keagamaan kaum "nahdhiyyin" mulai berubah menjadi lebih "ilmiah", alih-alih fanatik. Apalagi, di masa SMA ini saya juga bersentuhan dengan aktivitas kaum "harakah", dari Hizbut Tahrir, kemudian ke Tarbiyah yang sampai sekarang masih saya "sentuh". Dan tentu saja dengan beberapa kawan dan "guru" yang berlatar NU.

Kebetulan salah seorang kawan dekat saya adalah seorang nahdhiyyin tulen, pernah nyantri di pondok pesantren NU terkenal di Jawa Timur ketika SMP. Dengannya, saya banyak terlibat perdebatan, yang kadang-kadang juga geje; seputar masalah-masalah keagamaan. Dan ini menarik; dua perspektif yang cukup "fanatik" pada waktu itu bertemu, tapi secara fair terdiskusikan dalam beberapa kesempatan.

Meski demikian, perhatian saya ketika SMA ini lebih terfokus pada masalah-masalah organisasi. Saya waktu itu menjadi Ketua MPK di sekolah, yang sedikit-banyaknya tidak lagi berhadapan dengan problem-problem keagamaan, tetapi sosial. Misalnya, anggaran sekolah yang tidak transparan, dugaan korupsi, sampai pungutan yang tidak jelas -komersialisasi- atas nama biaya pendidikan. Jadi, tidak banyak lagi mengurusi problem di atas.

Di masyarakat saya juga memilih aktif di Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, sebuah organisasi remaja mesjid yang cukup dikenal di level Kota Banjarmasin. Keaktifan tersebut dilanjutkan bahkan ketika Pemuda Muhammadiyah Cabang diaktifkan kembali pada tahun 2007, menjelang Musyawarah Daerah yang juga saya ikuti ketika itu. Jadi, ketika SMA saya sudah menentukan pilihan keagamaan, walau juga di sisi lain aktif di kegiatan-kegiatan "harakah" yang waktu itu mendominasi SMA.

Di sini, gaya pandang saya soal "nahdhiyyin" menjadi lebih berbeda lagi; masalah-masalah paham keagamaan tetap menjadi isu yang krusial, tetapi aktivitas lebih sering sosial. Di masyarakat, NU dan Muhammadiyah berada di aras yang sama. Walau berbeda paham keagamaan, tapi aktivitas sosial menjadi tidak lagi berbeda. Hanya basis komunal yang membedakan.

Dan pemahaman soal nahdhiyyin sedikit demi sedikit berkembang ketika saya menjalankan ibadah 'umrah di penghujung masa SMA. Umrah memberi saya insight baru soal agama, yang lebih terbuka, sebab di sana aktivitas keagamaan sangat beragam. Orang India melakukan shalat dengan gaya mazhab Hanafi mereka, orang-orang Syiah dengan ritual mereka yang khas ketika sa'i, dan lain sebagainya. Ketika umrah, saya seakan-akan dituntut untuk menerima pluralitas paham keagamaan, asal atas nama Islam.

Selepas SMA, saya melanjutkan studi di sebuah universitas yang cukup terkenal di Yogyakarta. Di sini, saya menemukan fenomena lain lagi. Di Yogyakarta, rupanya, semua mesjid dalam tatacara shalatnya lebih dekat ke Muhammadiyah. Saya sempat salah mendefinisikan mesjid dekat kontrakan sebagai mesjid Muhammadiyah, ternyata bukan. Jama'ahnya berlatar belakang afiliasi yang beragama. Tapi, tatacara shalatnya tidak berbeda.

Belakangan, saya semakin memahami bahwa persoalan Muhammadiyah-NU tidak menjadi masalah yang terlampau besar di sini. Relasi Muhammadiyah-NU begitu cair; tidak diiringi oleh nuansa-nuansa konflik, apalagi kekuasaan, seperti di Kalimantan Selatan. Justru, yang membuat saya agak terkejut, konflik yang terjadi adalah antara Muhammadiyah dan Tarbiyah, dua komunitas yang sebetulnya menjadi tempat persinggahan organisasional saya ketika SMA.

Ketika kuliah, pikiran saya soal Muhammadiyah-NU lambat laun terabaikan, melihat kondisi. Ketika kuliah, saya memang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, terutama di kampus. Walaupun masih rajin mengikuti pengajian di beberapa tempat. Keaktifan saya justru lebih banyak di komunitas tarbiyah, walau di sana juga tidak jadi siapa-siapa, hanya sekadar menuntut ilmu. Apalagi, ketika kuliah saya semakin banyak "melahap" teks-teks keilmuan, baik dalam ilmu politik hingga filsafat. Ini semakin mempengaruhi mainset saya soal nahdhiyyin dan muhammadiyin.

Namun, dengan keterlibatan di "tempat lain" tersebut, saya justru menemukan banyak hikmah. Pemikiran yang semakin plural, tidak lagi memonopoli kebenaran hanya pada entitas tertentu, menjadi semakin kuat saya rasakan. Islam tidak lagi ditafsiri hanya dalam perspektif yang "tunggal", tetapi bisa jadi dipersilangkan hingga muncul pertemuan-pertemuan. Islam tidak lagi dibingkai hanya dalam kerangka ideologis, tetapi juga ontologis, yang mensyaratkan kita untuk berpikir.

Kendati demikian, pergolakan  pemikiran dan paham keagamaan kerap melahirkan "kegalauan" tersendiri. Menyikapi konflik antara Tarbiyah dan Muhammadiyah, yang dua-duanya adalah komunitas yang saya ikuti sejak duduk di bangku SMA, kerap membuat galau. Sebab, ada beberapa doktrin Tarbiyah yang secara naluriah saya pertanyakan, bahkan tertolak oleh nalar "Muhammadiyah" yang saya pegang erat-erat.

Namun, harus diakui, kegalauan dan keterlibatan di banyak "tempat" itu kemudian menggeser cara pandang saya terhadap kaum Nahdhiyyin, yang dulu saya kritik banyak ketika sekolah. Pikiran saya semakin terbuka dengan pemikiran kawan-kawan yang berlatar Nahdhiyyin dan tampil sebagai intelektual kampus terkemuka. Apalagi saya berkenalan dengan post-tradisionalisme yang dipopulerkan oleh kawan-kawan PMII. Dari mereka saya belajar pemikiran kritis, yang mungkin hanya dapat saya temukan padanannya ketika kuliah.

Dan artinya, persepsi saya tentang Nahdhiyyin menjadi berubah secara drastis. Sikap oposisif dalam pemikiran menjadi mencair dalam beberapa hal tertentu. Ini membuktikan sebuah tesis yang sering saya pakai, sebetulnya: segala hal akan mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri.

****

Dalam interaksi saya dengan kalangan Nahdhiyyin, sebetulnya ada beberapa figur yang saya anggap sebagai "guru" -dalam makna informal- yang berlatar belakang Nahdhiyyin yang kental. Mereka tak hanya berperan membentuk karakter saya, kadang-kadang juga menjadi teman diskusi dan tempat berguru dalam beberapa hal hidup.

Sosok "guru" pertama adalah seorang guru agama di SMA saya. Beliau adalah seorang penganut NU yang kental, lulusan sebuah pesantren salafiyah NU yang cukup terkenal di daerah Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut. Tentu saja juga lulusan IAIN. Pernah menjadi fungsionaris di HMI Cabang Banjarmasin. Dari beliaulah saya pertama kali berkenalan dengan organisasi, dan tentu saja pergerakan (saya waktu itu sudah menggandrungi politik).

Ketika duduk di kelas 1 SMA, atas arahan beliau dan melibatkan beberapa rekan Tarbiyah , saya sempat mengorganisir kegiatan di malam tahun baru bagi siswa muslim. Dibuka oleh Asisten Pemerintahan di Pemprov Kalsel. Acara itu sempat membuat beberapa senior yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir agak sentimen. Sebab, sekolah saya adalah basis perkaderan Hizbut Tahrir yang sedang berkembang. Sehingga, aksi saya membuka pintu bagi kelompok lain untuk masuk ke sekolah.

Dari beliaulah saya mengenal kritisisme. Saya sering mendiskusikan beberapa hal terkait transparansi anggaran sekolah dengan beliau, yang dengan senang hati menjawab keresahan saya soal itu. Ketika saya bermasalah dengan Wakasek Kesiswaan soal tulisan saya yang cukup "keras" mengkritik kebijakan sekolah di Opini sebuah harian lokal di Kota Banjarmasin, beliau-lah salah satu guru yang bersikap objektif pada posisi saya dan memberi beberapa insight soal apa yang saya lakukan. Dari beliau, saya belajar banyak soal kritisisme.

Dan ada satu cerita lucu berkait dengan identitas Nahdhiyyin beliau. Suatu ketika, saya datang ke beliau membawa sebuah buku kecil berjudul mujarrobat. Bagi kalangan NU, tentu kenal dengan buku ini. Dengan logika Muhammadiyah yang saya bawa (anti-TBC), saya mempertanyakan isi buku itu kepada beliau. Tapi, di luar perkiraan saya, beliau justru mengulasnya dari sudut pandang Tasawuf, yang berlawanan dengan logika Muhammadiyah yang saya bawa tadi. Untung saja, tidak dituding Wahabi, he he.

Belakangan, saya mendengar bahwa beliau terlibat polemik dengan Kepala Sekolah -yang juga sering sekali saya kritik di media massa ketika SMA- dan akhirnya dengan seorang pejabat di Kota Banjarmasin. Konsekuensinya, beliau akhirnya pindah, tidak lagi mengajar di SMAN 1 Banjarmasin, tetapi kembali ke habitus beliau dengan mengajar di sebuah pesantren NU.

Sosok guru kedua, adalah seorang aktivis tarbiyah yang lama kuliah di Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Berbeda dengan kebanyakan aktivis Tarbiyah yang saya kenal (dengan identitas yang homogen), identitas beliau lebih kuat Nahdhiyyin. Perkenalan saya pertama kali dengan beliau adalah ketika saya sedang mencari dana di DPRD Kalsel untuk keberangkatan ke Jakarta. Dari sana, saya semakin sering diskusi dengan beliau di banyak kesempatan.

Di Banjarmasin, beliau lebih memilih profesi sebagai wartawan di sebuah harian terbesar di Kalimantan Selatan. Karena saya sering menulis di harian itu, saya justru lebih sering bertemu beliau di kantor redaksi. Keperluan saya adalah mengambil honor tulisan, sementara keperluan beliau adalah ngantor. Kadang-kadang beliau yang menginformasikan kalau tulisan saya dimuat. Pernah pula meminta saya memberi opini di koran tersebut.

Dari beliaulah saya pertama kali mengenal KAMMI, organisasi yang kemudian saya ikuti ketika kuliah. Beliau dulu pernah aktif sebagai pengurus di KAMMI Daerah Yogyakarta dan cukup tajam dalam kapasitas tulisan. Jadi, saya banyak berguru dengan beliau soal kepenulisan. Tentu saja dalam diskusi-diskusi yang sifatnya informal. Belakangan saya ketahui bahwa beliau adalah aktivis yang cukup disegani oleh aktivis-aktivis KAMMI Yogya. Setidaknya oleh beberapa senior ketika saya masih awal-awal kuliah.

Dan beliau pula yang secara terbuka menyampaikan identitas Nadhiyyin beliau. Berbeda dengan kawan-kawan Tarbiyah yang lain yang memilih mengabaikan hal itu. Beliau sempat bergabung dengan PMII di UIN Sunan Kalijaga, yang terkenal sebagai basis PMII di Yogyakarta. Sehingga, ketika berada di Tarbiyah, saya merasa tidak perlu untuk menutupi identitas Muhammadiyah yang memang sudah membentuk saya sejak kecil. Dari sana saya belajar keterbukaan.

Dari beliau, saya belajar mengenai keterbukaan. Beliau yang pernah aktif di PMII UIN Sunan Kalijaga, secara terbuka menyatakan diri sebagai warga Nadhiyyin kepada publik. Dan tidak ada yang keberatan dengan deklarasi itu. Berbeda halnya dengan kawan-kawan Tarbiyah lain yang saya kenal, yang mungkin lebih memilih menyembunyikan -atau mungkin menghilangkan- habitus awalnya ketika bergabung dengan Tarbiyah.

Dari beliau, kemudian saya mencoba untuk memahami Tarbiyah secara kritis. Bahwa Tarbiyah bukan sekadar ketaatan pada Murabbi, atau ketaatan terhadap jamaah, tapi lebih luas: kesadaran kritis. Tarbiyah tidak menghilangkan kritisisme dalam berpikir, yang mungkin sudah jadi karakter bentukan Muhammadiyah yang saya ikuti. Belakangan, saya bahkan memahami bahwaTarbiyah juga tidak menutup kemungkinan bersilangan dengan habitus lain, terutama NU dan Muhammadiyah. (Baca notes saya tentang "tarbiyah persilangan").

Sekarang, beliau lebih memilih untuk aktif di sebuah NGO terkenal di Jakarta, alih-alih masuk jadi pengurus partai. Tentu saja dengan identitas tarbiyah yang kental, tapi bersilangan dengan identitas NU. Dari beliau, saya berkenalan dengan beberapa aktivis KAMMI Yogyakarta -dan KAMMI UGM- yang kini tersebar dengan berbagai profesi di Jakarta.

Sosok ketiga yang saya pandang sebagai "guru" adalah seorang aktivis PMII -gerakan mahasiswa yang berlatar ideologi NU dan Aswaja. Saya baru bertemu beliau sekali, ketika beliau menjadi pemateri Daurah Siyasi beberapa waktu lalu. Beliau terkenal sebagai aktivis muda NU, pernah menjadi Ketua PMII UGM, PMII Sleman, dan Ketua Bidang Kaderisasi PB PMII. Sekarang justru kembali ke habitus beliau, mengelola pesantren.

Dari beliau, saya belajar mengenai kerangka berpikir kritis dan radikal. Wacana yang saya kembangkan akhir-akhir ini, mengenai Islam Transformatif, sebetulnya banyak saya pelajari dari beliau. Pertemuan dengan beliau yang hanya sekali itu banyak membuka cakrawala berpikir saya mengenai pemikiran keagamaan. Walau baru sekali, saya merasa "berguru" dengan beliau, terutama untuk hal ketajaman intelektual dan kesederhanaan hidup.

Tulisan-tulisan beliau yang tajam kerap menjadi referensi saya, terutama ketika saya membuat rangkaian tulisan mengenai Islam, Kekuasaan, dan Postmodernisme yang akhirnya jadi naskah buku. Sayang belum ada kepastian apakah naskah buku itu layak terbit atau tidak.

Sosok keempat malah lebih misterius lagi: tidak pernah saya temui orangnya, tidak pernah berinteraksi langsung, namun hadir mengubah cakrawala dan cara berpikir saya. Sosok ini baru saja hadir dalam hidup saya, menghantui dengan tulisan-tulisannya yang tajam namun dengan abstraksi bahasa sederhana. Sebagai seorang yang ingin menempuh jalan hidup intelektual, saya merasa inferior, belum menjadi apa-apa dibanding beliau.

Beliau adalah aktivis NU tulen, lulusan pesantren NU di Jawa Timur, dan meneruskan kuliah di filsafat UIN Sunan Kalijaga. Di semester kedua dan ketiga, jika saya tak salah dalam membaca lintas perjalanan intelektual beliau, tulisannya sudah akrab dengan koran-koran nasional. Di semester keenam, beliau menerbitkan sebuah buku tentang Jacques Derrida, yang sempat saya salahpahami sebagai skripsi atau disertasi, tapi ternyata tulisan biasa. Buku yang bahkan hingga saat ini masih saya baca karena ketajaman isi dan analisisnya, plus bahasa yang tak susah dimengerti.

Dari beliau, saya banyak belajar soal filsafat. Ketertarikan saya dengan filsafat memang sudah lama, tapi tidak seintens sekarang. Dan beliau memberi saya banyak insight soal ini. Di salah satu tulisannya, beliau mengupas tajam relasi antara "santri" dan "marxisme" yang kita kenal kini sebagai "post-tradisionalisme". Tulisan yang tajam, apik, dan mampu membedah persilangan tradisi pesantren dan Marxisme, sehingga tidak harus dipertentangkan.

Di Muhammadiyah, ada beberapa aktivis yang mirip beliau, tapi dari segi kepenulisan, saya masih belum menemukan figur intelektual muda yang setara pemikirannya dengan beliau. Apalagi di KAMMI, yang tidak banyak bergulat dalam intelektualitas dan pemikiran, hanya satu-dua orang yang mungkin bisa saya sandingkan namanya dengan beliau.

Belakangan, saya ketahui beliau akan melanjutkan studi Master di Paris, tentu di bidang filsafat. Beliau salah satu Nahdhiyyin yang pemikirannya saya jadikan "guru", walau tak pernah bersua sekali jua pun, dalam forum-forum ataupun perjumpaan langsung.

*****

Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi, Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab "tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan seterusnya.

Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran itu menjadi terasa. Pengalaman saya menyatakan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas; bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.

Bagi saya, Nahdhiyyin tetap menjadi sesuatu "yang lain". Tapi bukan berarti tak bisa disentuh. Nahdhiyyin mengajarkan pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme, perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.

NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas. Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Mungkin itu terjadi pada saya. Ketika bersentuhan dengan harakah, seperti Tarbiyah, misalnya, ikatan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammadiyah dalam kerangka berpikirnya yang saya terima menyebabkan kebudayaan tersebut terbawa ketika bersentuhan dengan mereka.

Dan dari seorang warga nahdhiyyin saya belajar untuk tidak menenggelamkan habitus kebudayaan itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat. Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai konsekuensi logisnya, saya harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari keberbudayaan saya.

Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin mencair, terutama di Yogyakarta dan kota-kota besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah, masih ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan ujung-ujungnya ketegangan.

Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu juga dengan aktivis-aktivis harakah itu. Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran yang sebenarnya tak perlu.

"Al-Islam mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana: agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin, sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai konsekuensi keberagaman.

****

Membaca NU dari perspektif Muhammadiyah memang terasa sangat subjektif. Apalagi jika hanya berkaca dari pengalaman saya. Tulisan ini tidak bertendensi untuk mengupas pemikiran orang lain, tetapi hanya menjadi refleksi diri dari pengalaman hidup yang saya temui selama ini. Anda mungkin tidak setuju, saya persilakan saja.

Dan karena ini tentang nahdhiyyin dan muhammadiyyin, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan penutup yang sering sekali digunakan di dua ormas ini:

Wallahu Muwaffiq ila aqwamith thariq.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.

Jumat, 21 Oktober 2011

"Kepentingan"

"Kau mau ulangi tjerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Hadji Bakri
lupa para petani bagi2 tanah
di Wonogiri dan Bojolali"

-Tembok Granit: "Sajak Pembebasan kepada Partai"

20 Oktober, sepertinya Jakarta kembali akan dipanaskan oleh aksi demonstrasi. Mahasiswa sudah bergolak. Beberapa kalangan aktivis mahasiswa Gadjah Mada sudah bersiap hadir ke Jakarta, dengan isu yang sama digelontorkan: "penggulingan SBY". Di Jakarta lebih lagi. Rasionalisasi sudah dibuat, untuk memberi dalih bagi aksi yang bakal dilakukan. Entah artifisial atau tidak. Tapi yang jelas, ribuan massa kabarnya mau dihadirkan, untuk sebuah gerakan massa.

Terhampir sebuah tanya: atas kepentingan siapa?

****

Seringkali, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dilanda sebuah dilema yang tak usai-usainya melanda, sejak zaman Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib dulu, hingga saat ini: kepentingan. Aksi mahasiswa boleh berawal dari keresahan, apapun dalihnya, berawal dari niat yang suci murni (jika itu masih ada), tapi ketika ia tampil ke panggung politik, ia tak bebas-kepentingan.

Selalu ada relasi-kuasa yang menggeretnya ke tengah-tengah, untuk melayani kuasa-kuasa tertentu yang tak terlihat dari balik jendela, tapi ada memainkan pion-pion untuk mengegolkan "kepentingan" mereka.

Melepaskan diri dari relasi-kuasa itu, dalam konteks strategi-taktik gerakan yang memerlukan analisis cepat dan siap-sedia, menjadi sesuatu yang nyaris mustahil. Gerakan-gerakan yang sudah dirancang mesti bertemu dengan relasi-kuasa itu. Jika tidak, ia akan menjadi nyaris avonturir, tak tentu tujuan, dan akan terbentur dengan kepentingan tertentu yang juga sama. Bergerak atau tidak, mahasiswa pasti bertemu dengan relasi-kuasa itu.

Bergerak di 20 Oktober, akan bertemu dengan mereka yang berkepentingan atas reshuffle kabinet. Kepentingan itu hadir, tidak menampakkan dirinya secara langsung, tapi bertemu ketika kita turun ke jalan. Bergerak di hari tani, bakal bertemu dengan kepentingan untuk menggeser menteri. Dan lain sebagainya,

Tapi jelas tak mungkin jua tak bergerak. Sebab, mereka yang terancam oleh gerakan massa musti akan bertepuk tangan. Dilemanya di sini. Bergerak dianggap maju ke satu kepentingan, tak bergerak, diam saja, juga akan disambut sorak sorai kepentingan yang lain. Lantas, mesti apa kita?

Kepentingan itu selalu hadir, membayangi seluruh agenda mahasiswa. Oleh sebab itulah, mahasiswa -dan mungkin elemen gerakan sosial lain- musti menajamkan pemihakan kelasnya. Ini yang dikritik oleh Ernest Mandel. Gerakan mahasiswa musti menajamkan akar keberpihakan pada kelas yang dibela. Ia tak musti beraliansi, jika mungkin itu tak bisa dilakukan, tapi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah gerakan kelas; ia memihak kelas tertentu.

****

Lantas, bagaimana berhadapan dengan kepentingan itu?

Meminjam Fayyadl ("Bunuh Diri Kelas"), mahasiswa perlu menganalisis dua relasi yang kompleks di sekelilingnya. Pertama, relasi kuasa; kedua. relasi struktural.

Jika bergantung pada premis bahwa tidak mungkin berlepas diri dari relasi kuasa yang kompleks di sekelilingnya, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa relasi kuasa itu harus dipetakan, agar pemihakan yang dilakukan tepat; tidak menghamba pada kekuatan politik, tidak menghiba pada partai-partai politik, dan dengan demikian, punya relasi yang dialektis.

Boleh saja ia tak disebut independen, tapi dependensinya kritis dan etis. Mahasiswa punya harga diri; tidak dijual oleh kepentingan manapun. Ia bergerak atas kehendak diri, tidak atas instruksi, "taklimat" dari pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan. Tapi kesucian niat itu saja tidak cukup. Perlu ada analisis, telaahan, kritik mengenai siapa sesungguhnya yang tertawa dan bertarung darin aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Terkadang, analisis itu yang kerap diabaikan. Kita kerap menganalisis isu, dengan kritis memperdebatkannya di forum-forum mahasiswa, tapi tak memperhatikan siapa yang berkepentingan dengan isu itu. Dengan demikian, memetakan relasi-kuasa berarti memetakan kepentingan, siapa yang tertawa, siapa yang terancam, siapa yang sesungguhnya sedang marah -sehingga mahasiswa berdemonstrasi.

Kepentingan-kepentingan itu tak hadir dengan sendirinya. Ia dihadirkan. Tentu saja tak terlihat, sebab jika terlihat, mahasiswa mungkin akan merasa jijik melihatnya. Tapi kepentingan politik itu secara eksistensial ada, tak terbantah.

Tiap-tiap momentum pergerakan mahasiswa pasca-kemerdekaan, baik itu '66, '78, atau '98, saya yakin, tak bebas dari kepentingan. Ada yang cermat membaca itu, ada pula yang terlena, lantas masuk pada kekuasaan. Kita ingat betul, sehabis mahasiswa berdemonstrasi besar-besaran tahun 98, dianggap heroik, sebagai pahlawan reformasi, setelahnya kita menemui fakta bahwa terjadi migrasi besar-besaran aktivis mahasiswa ke partai politik.

Mereka yang berdemonstrasi hari ini, seakan-akan adalah politisi yang berkepentingan di masa depan. Siklusnya bisa jadi seperti itu terus adanya. Mahasiswa hari ini berdemonstrasi, besoknya giliran ia yang didemo karena terjerembab pada jurang korupsi dan nikmatnya kekuasaan.

Akan tetapi sebetulnya bukan hanya mahasiswa yang berdemonstrasi yang berpotensi seperti itu. Mereka yang duduk manis belajar dalam kelas, sesungguhnya juga terjebak pada relasi-kuasa yang kompleks, dengan wajah bernama depolitisasi mahasiswa, padahal ia disiapkan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan modal di masa yang akan datang, atau justru berpotensi besar menghamba pada kekuasaan.

Oleh sebab itu, kepentingan menjadi tak terhindarkan. Dan oleh sebab itu pula, kita harus memetakannya. Kepentingan yang melembagakan dirinya, menjadi struktur-struktur tertentu. Ia kemudian memainkan isu yang ada untuk kepentingan dirinya. Dan sebab itulah, perlu ada pemetaan atas relasi-struktural di hadapan mahasiswa.

Saat ini, kita berada dalam rengkuhan kolaborasi elite media, partai politik, kepentingan modal, dan lain sebagainya. Celakanya, elite-elite itu kerap didominasi oleh orang-orang lama, yang dengan cerdik menghadirkan diri kembali setelah Soeharto jatuh. Vedi Hadiz dan Richard Robison menyebutnya sebagai "oligarki". Jalinan kuasa yang oligarkis itu hadir kembali, mereorganisasi diri, tampil membajak kekuasaan pasca-reformasi.

Partai politik kini adalah partai politik citra, berorientasi kekuasaan, tak lagi merepresentasikan aspirasi ideologi tertentu. Mungkin ini menjadi pembuktian tesis Daniel Bell, bahwa ideologi itu telah mati. Tapi yang jelas, ia memainkan relasi-struktural yang cermat dengan kekuatan lain yang juga haus-kuasa; mengatur jalannya hidup berbangsa dan bernegara.

Dan mahasiswa segera masuk pada rengkuhan hegemoni partai-pasar-pewarta media itu. Secara tak sadar, mahasiswa digeret oleh media untuk masuk menyikapi isu tertentu, tapi sebenarnya ia masuk pada jaringan kuasa yang hendak dibentuk oleh relasi struktural itu. Yang bertepuk tangan adalah partai, karena mereka jadi punya alat untuk mengganggu pemerintah. 

Pasca-reformasi, jaringan kuasa itu semakin kompleks, tak terhindarkan bagi mahasiswa, mau ia bergerak atau tidak.

Lagi-lagi, jawabnya sederhana: kita perlu memetakan relasi-relasi struktural itu, suka atau tidak suka. Jika tak mampu menghindarkan diri, minimal mahasiswa mampu menjawab siapa yang sebenarnya tengah mengombang-ambingkan gerakan mahasiswa, struktur apa yang saat ini menjadi goliath yang mengatur hidup kita.

*****

Dengan jalan apa mahasiswa memetakan relasi kuasa dan relasi struktural di sekelilingnya itu?

Dalam terminologi Marxis, ada sebuah istilah yang cukup populer: kesadaran kelas (class consciousness). Istilah ini diperkenalkan oleh Georg Lukacs, salah seorang pemikir pasca-Marx yang mencoba mengelaborasi konsepsi dasar Materialisme Sejarah dalam konteks faktor-faktor penggerak proletariat dalam perjuangan revolusionernya.

Pada intinya, kesadaran kelas meniscayakan setidaknya dua hal; pertama, ketertindasan; kedua, kesadaran akan posisinya yang tertindas, sehingga menyulut api pergerakan. Dalam moda produksi kapitalisme, hubungan antar-manusia tereduksi karena relasi produksional. Ini disebut oleh Lukacs sebagai reifikasi, dan menjadi penopang kuat dari kesadaran itu.

Saya tidak akan memperpanjang diskusi soal kesadaran kelas Lukacs. Dalam konteks gerakan mahasiswa, poin pertama yang paling penting untuk memetakan relasi kuasa dan relasi struktural adalah kesadaran; pada posisi mana mahasiswa berpihak, pada kelas mana mahasiswa berposisi.

Kesadaran mahasiswa bukan karena posisi mereka yang elit, yang sering didoktrinkan sebagai agent-of-change; iron-stock. dan lain sebagainya yang cenderung idealistis dan melangit itu. Kesadaran mahasiswa adalah kesadaran bahwa ia adalah representasi dari kelas sosial tertentu yang tidak lepas dari akarnya. Jika pergerakan mahasiswa konsisten pada upaya memperjuangkan masyarakat, mahasiswa mesti mengakarkan diri, kembali ke masyarakat.

Perakaran gerakan mahasiswa ini setidaknya harus ditopang oleh kesadaran; Mahasiswa sadar untuk memainkan posisinya dengan berakar pada kelas-kelas sosial yang termarjinalkan oleh struktur sosial-politik. Fayyadl membahasakannya dengan "bunuh diri kelas". Hambatan-hambatan elitis perlu segera dipotong, jika memang gerakan mahasiswa masih konsisten dengan garis kerakyatan yang ia tempuh.

Tetapi, kesadaran saja tidak cukup; ia harus pula ditopang oleh basis intelektual, analisis atas kondisi real masyarakat. Tentu saja, ini mengimplikasikan konteks kedua, yaitu kesadaran untuk berpikir. Artinya, siapa yang memainkan pion-pion di luar sana, relasi kuasa apa yang sedang menggeret mahasiswa ke ranah politik, dan relasi struktural apa yang bergelayutan di luar sana, jangan sampai abai dari perhatian mahasiswa.

 Oleh sebab itu, mahasiswa harus merumuskan basis intelektualnya secara khas. Mahasiswa, tak dipungkiri lagi, adalah the lucky few yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kesadaran sosial dan kemampuan intelektual, tak bisa tidak, mesti bersatu dalam paduan rapi gerakan mahasiswa. Suka atau tidak suka, posisi sosial dan intelektual mahasiswa menjalin sebuah relasi yang kuat dalam menghadapi relasi-relasi kuasa dan struktural di sekelilingnya.

Mahasiswa boleh pintar, mendapatkan nilai yang baik dalam setiap ujian yang diberikan dosennya, dan memperoleh IP yang tinggi di setiap semesternya. Tetapi, jika ia tak mengerti kondisi masyarakat sejak dini, ilmunya takkan menghasilkan apa-apa. Ilmu dan prestasi menjadi kebanggaan semu, yang mungkin menolong mahasiswa dalam mendapatkan pekerjaan, tapi tak berarti apa-apa dalam wawasannya bermasyarakat. Padahal, adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk hidup bermasyarakat.

Sebaliknya, mahasiswa yang terlampau sering turun ke jalan, tapi tak pandai membaca dan menganalisis siapa yang sebenarnya sedang memainkan proyek politik untuk kepentingannya pribadi, sebenarnya juga digeret pada jebakan kepentingan broker-broker gerakan itu. Dan artinya, perjuangannya menjadi tidak jelas; fragmen perlawanannya tidak utuh. Akhirnya, gerakan mahasiswa hanya alat untuk kepentingan tertentu, lepas dari akar sosial yang diperjuangkan.

Tentu dua kondisi di atas tak mau kita hadirkan dalam realitas gerakan kita. Hari ini, menjelang aksi massa 20 Oktober yang kabarnya sudah mau digelar oleh kawan-kawan gerakan mahasiswa, baik BEM maupun gerakan ekstrakampus, ada sebuah tanya yang patut direfleksikan: untuk kepentingan siapa gerakan ini dihadirkan? Apakah memang untuk kepentingan "rakyat", seperti sering digaungkan dalam orasi-orasi kita, ataukah hanya untuk melayani "kepentingan" kuasa tertentu, secara sadar ataupun tidak sadar?

Dan jawaban dari pertanyaan itu mesti dikembalikan pada agen-agen aktivis mahasiswa, yang hingga saat ini masih memainkan perannya dalam percaturan politik Indonesia. Sudahkah analisis-analisis itu kita hadirkan, untuk membongkar relasi kuasa di sekeliling kita, untuk melawan relasi struktural yang menghegemoni budaya bangsa ini?

****

Adalah sebuah keniscayaan jika gerakan mahasiswa akan sangat bersentuhan dengan politik jalanan, gerakan-gerakan protes. Di Seoul, penolakan terhadap komersialisasi pendidikan telah membuat mahasiswa berhadapan vis-a-vis dengan kampus, mendorong mereka menguasai areal kampus sebagai simbol penolakan terhadap kapitalisme pendidikan itu. Di London, mahasiswa terdorong untuk turun ke jalan, juga dengan isu yang hampir sama: melawan kapitalisme.

Tetapi, tentu saja, ketidakpuasan ini masih ada. Bukan soal gerakan yang mengharu-biru turun ke jalan, tapi soal kepentingan apa yang sedang dimainkan. Apakah ini demi kepentingan broker gerakan yang mencari makan di partai politik dengan menggerakkan demonstrasi mahasiswa, ataukah murni demi kepentingan rakyat.

Anda boleh saja mengucap pada kita: ini adalah gerakan moral, gerakan yang lahir dari idealisme mahasiswa. Tapi anda tak bisa mengelabui sejarah: bahwa relasi-relasi kuasa itu, jika benar ada, telah menggeret gerakan anda ke jalan yang rawan kecelakaan.

Semoga kita berada di jalan yang lurus.  


"aku ingat sepatumu
yang usang capalan
namun matamu tak terbenam
ke sepatu usang yang capalan
tapi menelaah buku-buku
yang kemudian mengorbankan dirimu
karena buku-buku itu
menyuburkan cintamu
kepada rakyat pekerja
dan itu sepatu usang capalan
jadi rangkumanmu dalam sajak
itu huruf-huruf jadi palu dan bajak
menghayati kebangkitan
rakyat pekerja"
-Agam Wispi: "Sekuntum Bunga untuk DNA yang Dibunuh"

"Subversi"

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

Barang siapa yang ingin merendahkan orang lain
berarti ia ingin menjadi tuhan
barang siapa ingin menjadi tiran
berarti ia ingin menjadi tuhan
barng siapa ingin menang sendiri
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada Tuhan selain Allah!

-Syahadat Pembebasan-

***

Ketika seseorang -atau sekelompok orang- mengancam kemapanan, keamanan negara, ia bisa saja dituduh subversi, dijerat oleh UU anti-subversi berdalih keamanan negara, dan ditangkap, dipenjara, bahkan ada yang dihukum mati. Semua karena satu hal: subversi.

Subversi adalah perlawanan terbuka terhadap kemapanan. Ia biasa dinisbatkan pada perilaku teror, negativisme. Subversi melawan keamanan yang melindungi kemapanan. Ia membongkar sesuatu yang sudah dianggap "final", tak butuh pembaruan, dan perubahan dianggap sebagai ancaman. Subversi mencoba membongkar finalitas; mendobrak kemapanan kuasa.

Nietzsche memperkenalkan subversi dengan premise-nya yang terkenal: "Tuhan sudah mati! Tuhan sudah mati! Kitalah yang membunuhnya". Bagi teolog fanatik  kata-kata Nietzsche bisa dianggap subversi terhadap kemapanan agama. Sebab, jika ditafsirkan sebagai letterlijk -tanpa representasi- ia akan memperlihatkan semangat ateisme. Dan implikasinya, ia harus dieksklusi dari agama.

Ibrahim memperlihatkan subversi juga dengan langkah yang sama dengan Nietzsche: membunuh tuhan-tuhan. Agama dilindungi oleh kuasa yang kuat oleh Raja Namrudz -dalam sejarah. Patung-patung itu menjadi "tuhan" karena ia dilindungi oleh kuasa yang kompleks oleh petinggi kerajaan serta kekuatan ekonomi yang bergantung pada tuhan-tuhan itu (pembuat patung; Azar, ayahnya Ibrahim).

Dan Ibrahim melakukan subversi: ia memenggal kepala-kepala "tuhan" itu, membunuhnya, dan menggantinya dengan Tuhan yang sebenarnya, yang punya kekuasaan mutlak, absolut, yang melindungi Ibrahim dari panasnya api pembakaran. Ibrahim melakukan subversi: membunuh tuhan-tuhan, menegakkan agama Tauhid di antara perpaduan rapi spiritualitas dan rasionalitas, melawan kuasa-kuasa yang korup.

Musa melakukan subversi melawan oligarki antara pemodal, penguasa, dan teknokrat: trilogi Fir'aun-Qarun-Haman. Ia men-subversi kekuasaan absolut Fir'aun, yang dipersonifikasi sebagai Tuhan oleh kaumnya, dan membunuhnya. Musa membunuh "Tuhan", membebaskan rakyatnya dari belenggu ketuhanan semu.

Muhammad melakukan subversi atas tuhan-tuhan kaum Quraisy: Latta, Uzza, Mannan, dan lain sebagainya. Ia men-subversi kekuasaan Quraisy, yang ditopang oleh "agama" sebagai alat politik, untuk menegaskan kekuasaannya atas Kota Mekkah. Muhammad, yang terkenal sebagai figur yang adil, pernah menjadi penengah konflik elite politik Kota Mekkah dalam kasus pemindahan Hajar Aswad, memperkenalkan Tauhid.

Dan Muhammad, walau dikenal dengan gelarnya Al-Amin, tidak dapat mengelak dari tuduhan subversi. Tauhid yang diperkenalkannya, adalah subversi. Sebab ia mendobrak relasi kekuasaan yang kompleks, yang menaungi agama yang dianut. Kebenaran harus berhadapan dengan kekuasaan.

Para Nabi memperkenalkan subversi di tengah masyarakatnya -yang korup. Nabi-Nabi melawan kekuasaan yang korup, yang menindas, yang mengabsolutkan kekuasaannya dengan perlindungan agama. Islam adalah subversi: atas penindasan, kekuasaan yang korup. Tauhid adalah subversi, atas dijadikannya agama sebagai alat politik, sebagai bancakan para elite politik yang ingin menegaskan kekuasaannya.

Subversi adalah perlawanan terhadap kemapanan yang ditopang oleh kekuasaan. Kemapanan itu menghasilkan orang-orang pinggiran. Marjinalisasi; mereka yang terpinggirkan karena tidak sampai pada batas kemapanan. Mereka yang terpinggirkan, mungkin, karena menolak kemapanan. Dan oleh sebab itu, kemapanan yang ditopang oleh kekuasaan, bisa jadi sebuah penindasan.

Fir'aun menindas orang lain atas nama agama, karena ada subversif pada dirinya -yang ia nyatakan sendiri sebagai tuhan. Namrudz menindas orang lain karena men-subversi tuhan-tuhannya. Begitu pula pemuka Quraisy. Dan artinya, barangsiapa ingin menindas orang lain, berarti ia sedang mendeklarasikani tuhan-tuhan baru; bahkan mungkin lebih jauh: ia ingin menjadi tuhan-tuhan itu!

Dalam era yang lebih moderen, ternyata bentuk tuhan-tuhan "baru" itu masih tetap ada. Dan mewujud dalam sebuah relasi kekuasaan yang kompleks. Atas nama kekuasaan, Amerika Serikat menindas Iraq dan Afghanistan, dengan dalih demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Atas nama "agama", orang-orang Israel menindas Palestina, menjadikan negeri itu bagai kerkap hidup di batu, hidup segan tapi mati pun tak mau.

Atas nama agama, mereka melakukan berbagai teror, mengancam orang-orang tak bersalah. Atas nama kekuasaan, negara merepresi mereka yang melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, menuding mereka yang mogok makan sebagai solidaritas terhadap petani Kulon Progo sebagai subversi, menangkap mereka yang berdemonstrasi menentang rezim yang ada sekarang.

Atas nama agama, mereka membunuh orang-orang yang berkeyakinan berbeda. Maka benarlah peringatan Hassan Hanafi: Hubungan langsung antara Islam dan Kekuasaan harus dicegah, sebab agama hanya dijadikan dalih, instrumen, alat, untuk menegaskan kekuasaan yang korup!

Penindasan atas nama kekuasaan, agama, dakwah -seluruh bentuk sakralitas- adalah berbahaya. Dan alat perlawanan itu bernama subversi. Subversi pada aras pemikiran, berarti men-subversi seluruh doktrin yang mencampur-adukkan agama dan laku kekuasaan. Subversi atas doktrin yang tak perlu, yang memenjara kemerdekaan pikiran manusia di kerangkeng kekuasaan.

Subversi adalah bentuk perlawanan. Dan ia perlu diiringi oleh dekonstruksi, pembongkaran. Dekonstruksi bukan berarti masuk pada nihilisme, tetapi, meminjam Nietzsche, menjadi ubermansch; menjadi orang yang mampu mengatakan "ya" pada hidup, alih-alih bersikap pesimis pada nasib. Dekonstruksi adalah upaya pembukaan semua kemungkinan untuk mengatakan "ya", bahwa keragaman -selama berada pada koridor positif- adalah sesuatu yang harus diterima.

Dan artinya, subversi punya koridor. Etika-lah koridor itu. Dan subversi dalam pemaknaan sebagai seorang muslim, dalam perspektif Islamis, berarti meletakkan Islam sebagai etika sosial, alih-alih jadi alat kekuasaan. Islam melampaui doktrin, simbol, identitas, ia adalah etika sosial. Dan untuk itu, perlu transformasi dalam pengamalan, sebagaimana diajarkan oleh Kyai Dahlan dalam teologi Al-Ma'un-nya.

Subversi adalah pilihan ketika menemui kuasa yang korup, menindas. Jika anda menemui sesuatu semacam itu, pilihan untuk men-subversinya terbuka. Walau bukan tanpa risiko, mungkin saja berujung kematian dan kekerasan. Dan untuk itulah Islam dilahirkan: untuk men-subversi kekuasaan yang korup, menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dan akhirnya, subversi memang sebuah pilihan sah.

*****

seorang penguasa yang menindas rakyatnya
berarti ia ingin menjadi tuhan
padahal tiada tuhan selain Allah!
Kita Menerima siapapun orangnya dan
Dari manapun asalnya
Asalkan bisa menjadi saudara bagi
Sesamanya

Asyhadu an la ilaha illaha allallah
wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh.

-Syahadat Pembebasan-