Jumat, 26 Desember 2008

Diplomasi Multijalur : Review Buku "Multitrack Diplomacy"

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar


Istilah “Diplomasi Multijalur” didefinisikan oleh Diamond (1996) sebagai sebuah kerangka kerja konseptual yang didesain untuk merefleksikan variasi aktivitas yang berkontribusi dalam perdamaian dan kedamaian (peacemaking and peacebuilding) internasional. Pada dasarnya, aktor dalam diplomasi ada dua: pemerintah dan non-pemerintah. Istilah diplomasi multijalur merupakan pengembangan dari dua aktor yang mempengaruhi diplomasi pada beberapa dekade terakhir.


Diplomasi Multijalur memiliki sembilan track, yaitu: (1) Pemerintah; (2) Profesional nonpemerintah; (3) kelompok bisnis atau commerce; (4) masyarakat sipil atau citizen personal involvement; (5) pendidikan; (6) Advokasi dan kelompok aktivis; (7) kelompok agama; (8) filantrofi; dan (9) media massa atau media informasi. Sembilan track ini memiliki tujuan, perspektif, wacana, dan aktivitas tersendiri dengan tujuan utama peacemaking dan peacebuilding.


Sebagai sebuah kerangka kerja (framework), diplomasi multijalur tentu memiliki sebuah sistem yang menopang jalannya agenda kerja. Tujuan dari diplomasi multijalur, sebagai awal dari sistem, adalah untuk membantu dunia menjadi tempat yang lebih damai kendati hal ini bukan tujuan utama dari tiap-tiap komponen (track) diplomasi multijalur. Ada dua kata kunci yang dapat dijadikan petunjuk untuk memahami sistem diplomasi multijalur: peacemaking dan peacebuilding.


Faktor paling penting –disebut oleh Diamond sebagai “heart”—dalam diplomasi multijalur adalah hubungan (relationship). Keterhubungan (connectedness) dan interaksi menjadi elemen paling penting dalam peacemaking karena kesembilan track dalam diplomasi multijalur tersebut saling terkait satu sama lain. Kesembilan track tersebut memerlukan jaringan dari hubungan personal yang melewati batas waktu, tempat, usia, gender, dan negara.


Adapun proses dari diplomasi multijalur sangat bertumpu pada kesadaran diri (self-consciousness). Jika hubungan adalah kunci dari substansi diplomasi multijalur, menurut Diamond, kesadaran diri merupakan kunci dari prosesnya. Sistem analisis dari diplomasi multijalur berusaha untuk meningkatkan kepedulian diri (self-awareness) dari peacemaking system agar masing-masing track dapat memilih arah, kecenderungan perilaku, serta perspektif baru yang dapat membawa perubahan sebagai kekkuatan yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang damai.


Memang, terdapat perbedaan signifikan pada peran yang dimainkan oleh masing-masing track. Akan tetapi, perbedaan peran tersebut justru harus membuat keseluruhan sistem berjalan. Diplomasi multijalur akan memberikan hubungan intrasistem pada masing-masing track yang akan berkontribusi dalam peacebuilding dan peacemaking process.


Pertanyaan dan Jawaban


  1. Mengapa hubungan antartrack sangat penting dalam diplomasi multijalur?

Hubungan antartrack akan sangat banyak diperlukan karena setiap track memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan kerjasama antarelemen agar kesinambungan sistem diplomasi multijalur tetap terjaga. Hubungan yang baik juga akan lebih mengefektifkan proses diplomasi multijalur, sehingga Diamond menyebut hubungan sebagai key of substance dari diplomasi multijalur.


  1. Bagaimana prospek diplomasi multijalur dalam proses resolusi konflik di berbagai belahan dunia?

Dalam resolusi konflik, tak hanya satu pihak yang terlibat. Sebagai contoh, kasus Aceh, takkan menemukan proses penyelesaian jika tak ada NGO, kelompok agama, atau mediator yang memberi dukungan kepada pemerintah RI agar segera menyelesaikan masalah Aceh. Maka, dalam proses resolusi konflik etnis, harus ada pihak-pihak nonpemerintah yang terlibat sebagai pendukung, kendati pemerintahlah yang mengeksekusi proses negosiasi. Hal ini senada dengan salah satu prakondisi dari diplomasi multijalur, yaitu adanya hubungan dan koordinasi antartrack, di mana satu pihak menjadi pemimpin (leader) dan pihak lain sebagai inspirational agent.


  1. Bagaimana peran sentral aktivisme (track six) dalam menyuarakan perdamaian ketika berhadapan dengan pemerintah yang represif dan otoriter?

Aktivis adalah bagian dari middle-class society atau civil society yang memainkan peran kontrol sosial terhadap pemerintah dalam perspektif neoliberal. Advokasi atau aktivisme, menurut Diamond, juga memainkan peran penting sebagai salah satu track dari diplomasi multijalur. Dalam menghadapi pemerintah yang represif dan otoriter, kelompok ini jelas memegang peranan penting. Mereka akan sangat beperan dalam pewacanaan terhadap pemerintah yang demokratis, perjuangan terhadap penindasan, atau penyuaraan publik terhadap sebuah masalah yang sangat dirasakan oleh rakyat kecil. Advokasi akan membawa opini publik untuk dijadikan sebuah wacana perubahan. Akan ada beberapa implikasi ketika pemerintah yang represif tidak menyetujui wacana tersebut: revolusi melalui sebuah gerakan politik yang massif, perubahan bertahap dengan penggantian kepemimpinan, atau perubahan sikap politik dari penguasa yang represif tersebut menjadi lebih moderat.

Senin, 22 Desember 2008

Konstruksi Politik pada Era Dinasti Umayyah : Perspektif Sejarah


A. Pendekatan Sejarah dalam Studi Politik Islam : Sebuah Pendahuluan


Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.


Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior (Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis, sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang melatarbelakanginya.


Dalam konteks politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan sosial-politik pada era tersebut (Ralliby, 1960)2.


Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi kesinambungan antara sejarah dan masa depan.


Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak dalam peristiwa tersebut. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa tersebut, yaitu peristiwa tahkim3


Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah. Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa “history is story of great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang besar)4.


Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu sentralistik serta istana-sentris.


Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.


Dalam hal ini, kami akan memfokuskan diri untuk membahas kontruksi sosial-politik pada era Umayyah yang berlangsung dari tahun 661 M – 750 M.


B. Konstruksi Kekuasaan Dinasti Umayyah


Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.


Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.


Ada beberapa implikasiyang menyertai konstruksi monarki ini.


Pertama, berubahnya pola orientasi kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya. Hal ini berbeda dengan kondisi di era Khulafaur Rasyidin, ketika ternyata sanggahan seorang ibu kepada Khalifah Umar berkaitan dengan kebijakan dan anjuran untuk menurunkan mahar nikah dari para pemuda berhasil membuat Khalifah Umar merevisi kebijakannya. Ketika itu, Al-Qur’an dan perintah Rasulullah menjadi sumber kebijakan yang paling utama.


Kedua, sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan (Ralliby, 1963: 220)5. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.


Ketiga, berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.


Keempat, kekuasaan terpusat hanya pada sekeliling istana (istana-sentris). Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.


C. Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan


Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.


Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.


Gerakan pertama adalah gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.


Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.


Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.


Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.


Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.


Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena yang cukup menarik.


Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar.


Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.


D. Konstruksi Politik Luar Negeri dan Ekspansi Dakwah



Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani Umayyah.


Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran yang begitu kuat.


Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani Umayyah.


Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.


Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.


Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (Ridha, 2004: 85)6.


Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.


Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas).

Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (Bandung: Rosda, 2005, cetakan ketiga).

Ralliby, Osman. Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintag, 1963).

Carlyle, Thomas. On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, (London, Oxford University Press, 1963).

http://id.wikipedia.org/wiki/bani_umayyah

Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq: Buku Tertua tentang Sejarah Nabi Muhammad, pent. Dewi Candraningrum (Surakarta: Muhammadiyah University Press).

Manshur, Fadhil Munawwar. Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Jurnal Humaniora Vol. XV, No. 2/2003.

Basthoni, Hepi Andi. Belajar dari Dua Umar (Bogor: Al-Bustan, 2005)

Ridha, Abu. Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004).



Catatan Kaki


1 Miriam Budiardji, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas), pp. 17. lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (Bandung: Rosda, 2005, cetakan ketiga). pp. 209.

2 Osman Ralliby, Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintag, 1963). Ibnu Khaldun menekankan pentingnya historiografi sebagai instrument analisis politik pada sebuah studi sejarah, dalam hal ini era-era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah

3 Bersumpah dan berhukum kepada Allah untuk menghentikan peperangan. Cerita dijelaskan pada Bab II.

4 Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, 1963, dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, op. cit. pp. 167.

5 Osman Ralliby, op.cit. pp. 220. Istilah ini dikutip dari muqaddimah Ibnu Khaldun yang menganalisis pemusatan kekuasaan sebagai tren kekuasaan pada era Dinasti Umayyahdan dinasti Abbasiyah sebagai peneguhan ‘ashabiyah yang memang menjadi tumpuan kekuatan utama di dinasti tersebut.

6 Abu Ridha, Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004), pp. 85.

Sabtu, 20 Desember 2008

UU BHP dan ‘Krisis Keterbukaan’

Pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dilakukan tanpa sosialisasi, komunikasi, atau uji publik secara matang telah memicu polemik di kalangan mahasiswa dan pemerhati pendidikan. Hal ini wajar mengingat ada beberapa bagian dari UU ini yang semakin memperberat rakyat dalam menanggung biaya pendidikan serta mengurangi peran penting pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan

Satu hal yang harus diperhatikan dalam pengesahan UU BHP adalah soal kesiapan lembaga pendidikan dengan segenap elemen birokrasi dan kualitasnya dalam mengelola pendidikan secara mandiri. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan UU BHP dapat berpengaruh pada ketergesa-gesaan semua elemen pendidikan dalam beradaptasi dengan regulasi baru sehingga muncul kemungkinan terjadinya mismanagement dalam pendidikan jika fenomena ini terus berlangsung tanpa follow-up.

Fenomena ketergesa-gesaan ini mungkin dapat dipahami ketika pemerintah hanya memberlakukan BHP kepada perguruan tinggi negeri yang telah memiliki perangkat birokrasi tersendiri. Akan tetapi, bagaimana ketika pemerintah menggeneralisasi pemberlakukan BHP kepada semua perguruan tinggi swasta, bahkan sekolah menengah, yang tidak memiliki perangkat sama seperti perguruan tinggi negeri, disertai ancaman pembubaran lembaga jika tidak memenuhi syarat UU (Pasal 49)?

Faktanya, tidak semua perguruan tinggi dan sekolah memiliki akuntabilitas cukup dalam soal pendanaan. Banyak sekolah, bahkan perguruan tinggi, yang masih mewarisi ‘krisis keterbukaan’ dalam manajemen pendidikan. Hal ini tercermin dalam APBS (Bagi sekolah) yang hanya beredar terbatas di kalangan birokrat sekolah serta guru, atau RKAT (bagi perguruan tinggi) yang tidak dibuat secara transparan dan hanya beredar di kalangan tertentu. Siswa –atau orang tua siswa— dan mahasiswa hanya menerima hasil yang sudah jadi tanpa bisa mengkritisi isi anggaran. Begitu pula dengan laporan kegiatan.

Dalam konteks sekolah, masih belum meratanya prosedur birokrasi yang memuat prinsip good governance and clean government menjadi sebuah faktor krusial. Berbeda dengan perguruan tinggi yang memang melaksanakan pendidikan secara birokratis, aspek kultural dalam hubungan guru-murid tak boleh dilupakan. Jika logika UU BHP yang secara implisit mengakibatkan birokratisasi sekolah diteruskan, hubungan guru-murid akan menjadi lebih birokratis sehingga berpotensi menghilangkan kultur pendidikan yang sampai sekarang masih melekat pada figur sekolah.

Selain itu, sekolah juga sering mengalami krisis transparansi. Kenyataan yang penulis hadapi di sekolah dulu, APBS tak pernah dipublikasikan secara transparan kepada semua elemen, termasuk siswa. Hanya ada beberapa kelompok yang berada di inner circle birokrasi sekolah yang mengakses APBS. Hal ini jelas sangat rawan dengan praktik korupsi. Contoh kasus, seorang Kepala Dinas Pendidikan di sebuah Kota harus ditahan karena praktik-praktik korupsi sejenis.

Sehingga, penulis mengkhawatirkan UU BHP justru akan menjadi salah satu pembuka pintu gerbang korupsi dan komersialisasi pendidikan yang sangat rawan terjadi di era otonomi sekarang. Ketika pemerintah ingin memberi kebebasan penuh kepada semua lembaga pendidikan untuk mengatur rumah tangganya secara mandiri, pemerintah harus terlebih dulu mengatasi krisis keterbukaan yang sering terjadi. Akuntabilitas, transparansi, dan spirit antikorupsi menjadi variabel yang sangat penting dalam kebijakan pendidikan yang diputuskan oleh pemerintah.

Maka, sebelum UU BHP diteruskan menjadi sebuah payung hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, ada satu hal yang harus diperhatikan: krisis transparansi. Semangat penyelenggaraan pendidikan yang transparan, accountable, dan accessible akan menjadi salah satu parameter dalam keberhasilan pendidikan di Indonesia. Bukankah keterbukaan merupakan salah satu variabel moral yang penting dalam pelaksanaan pendidikan?

Selasa, 16 Desember 2008

Pemimpin dan Peran Kepahlawanannya


Banyak yang percaya, pergulatan revolusi 1945-1949 dan pergerakan reformasi tahun 1998 tak akan berjalan dengan sukses tanpa adanya peran kepahlawanan para aktornya. Sebut saja Bung Tomo, misalnya. Tanpa ada pidatonya yang menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo, peristiwa 10 november hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Juga jika para mahasiswa tidak turun ke jalan pada pertengahan Mei 1998, Soeharto pasti masih berkuasa Semarang. Singkatnya, perjalanan bangsa ini telah diwarnai oleh peran kepahlawanan dari aktivis yang berjiwa heroik.

Sekarang, 62 tahun sudah revolusi berakhir. Juga, hampir 10 tahun sudah reformasi berlalu Yang menjadi persoalan, bagaimanakah bangsa kita sekarang memandang para pahlawan yang telah gugur memertaruhkan jiwa untuk kemerdekaan. Jika kita realitas yang ada, terutama pada aspek moral, bangsa ini seakan-akan telah melupakan pahlawannya. Mengapa? Karena bangsa yang menghargai pahlawan akan terus meningkatkan taraf hidup masyarakatnya serta berupaya membangun seluruh aspek kehidupan bangsa ini.

Berbicara mengenai pahlawan dalam konteks global, kita dapati bahwa dunia telah memiliki banyak sekali tokoh yang diklaim –atau mengklaim diri—sebagai pahlawan. Tampaknya, urusan klaim-mengklaim gelar pahlawan ini terjadi karena adanya unsur golongan yang sangat kental. Bagi orang Kuba, Che Guevara dan Fidel Castro mungkin adalah figur yang paling menonjol sebagai aktor revolusioner melawan hegemoni Amerika dan pemerintahan status-quo.

Atau bagi orang Komunis Cina, Mao Zedong dan Deng Xiaoping juga dianggap sebagai pahlawan karena jasanya membangun perekonomian Cina menjadi negara yang disegani. Semuanya menunjukkan bahwa paradigma umum yang mengemuka di masyarakat meletakkan pahlawan pada golongan masing-masing. Tentunya sebagai umat Islam kita juga harus memiliki loyalitas dan figur pahlawan yang kita jadikan role model, yaitu Rasulullah.

Lantas, "jenis" pahlawan seperti apa yang kita harapkan dapat tampil membangun bangsa? Saya setuju dengan pendapat Anis Matta, “Seorang Pahlawan adalah orang yang mampu menggunakan setiap momentum untuk menujukkan sisi-sisi kepahlawanannya”. Artinya, tak ada timing bagi seseorang untuk menunjukkan kepada publik bahwa ia adalah pahlawan. Di sini, konsepsi pahlawan diperluas tidak hanya pada konteks perjuangan, tetapi pada sendi-sendi kehidupan yang lain.

Persoalannya adalah, adakah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan seperti itu di masa kini, terutama di Indonesia? Banyak sekali tokoh yang memiliki konsep mengenai pembangunan mendasar bangsa ini, tetapi kelihatannya konsep tersebut hanya diimplementasikan pada tataran makro, sementara belum ada kebijakan yang membawa perubahan signifikan dalam tataran mikro.

Contoh kasusnya ada pada penarikan subsidi BBM. Kita memaklumi bahwa harga minyak dunia naik dan berimplikasi pada naiknya harga minyak di Indonesia. Akan tetapi, penggantian subsidi BBM ini ternyata masih belum memenuhi kebutuhan yang ada. Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) masih terkesan apologetik dan formalistik. Buktinya, angka kemiskinan tidak dapat direduksi secara signifikan dengan adanya bantuan tersebut. Sementara substansi dari bantuan tidak mengena. Di sinilah kepahlawanan pemerintah kita dipertanyakan.

Sebenarnya, pemerintah dapat memberikan kepahlawanan lewat kebijakan yang ditelurkan. Dalam kebijakan penarikan subsidi BBM, misalnya, pemerintah dapat memberikan lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat menengah ke bawah dengan memberikan stimulus berupa modal untuk kerja. Tentunya hal tersebut lebih mengena di masyarakat kecil. Pembinaan UKM berbasis kompetensi kerja pun juga harus secara kontinyu dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan demikian, peran kepahlawanan pemerintah dapat lebih dirasakan terutama oleh kalangan grass-root..

Dalam perspektif yang lebih normatif, bangsa kita sangat memerlukan peran kepahlawanan langsung dari pemimpin-pemimpin kita. Untuk itu, hal yang diperlukan adalah adanya keteladanan dari figur seorang pemimpin. Dr. Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa bangsa ini perlu keteladanan untuk bangkit dari keterpurukan. Keteladanan itu sudah seyogianya ditunjukkan agar dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk bangkit dan mengubah karakteristik malas menjadi pekerja keras.

Sungguh ironis ketika di era reformasi seperti sekarang kita masih menemui tokoh-tokoh yang lebih mengedepankan kharisma atau basis massa yang dimiliki dan mengesampingkan keteladanan bagi masyarakat. Seakan-akan massa yang dimiliki sudah cukup untuk menjadi legitimasi politik baginya. Padahal, legitimasi politik tidaklah cukup untuk menjadikan seseorang sebagai pahlawan.

Untuk menunjukkan peran kepahlawanan, legitimasi sosial dan politik memang diperlukan. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus memiliki legitimasi moral dan legitimasi agama. Legitimasi moral bagi seorang pemimpin ditunjukkan dengan memegang teguh prinsip akuntabilitas dan kredibilitas ketika ia menjalankan amanahnya. Sedangkan legitimasi agama ditunjukkan dengan kepatuhan pada ketetapan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak adanya dua legitimasi yang sangat substansial inilah yang menyebabkan bangsa kita, meminjam istilah Hidayat Nur Wahid, mengalami krisis keteladanan.

Oleh karena itu, kepahlawanan bangsa ini harus dibuktikan secara nyata dalam kebijakan yang ditelurkan dan keteladanan dalam menjalankan amanah. Saya setuju bahwa pelajar juga harus menunjukkan jati diri kepahlawanannya. Tetapi, kepahlawanan seorang pelajar harus dimanifestasikan di atas koridor yang berlaku agar pelajar tidak mengalami disorientasi arah ke depannya.
Saya percaya, pahlawan sebenarnya mampu memaksimalkan potensi kepahlawanan yang ada pada dirinya pada setiap momentum. Salam Reformasi.

Pemilu 2009, Demokrasi, dan Pancasila

Pengantar

Pelaksanaan demokrasi yang terinstitusionalisasi melalui Pemilu menjadi sebuah agenda penting di Indonesia. Sebagai “puncak” dari pelaksanaan demokrasi, aspirasi rakyat yang terlembaga melalui partai-partai politik dapat diakomodasi dan perwakilan rakyat dapat dipilih melalui sebuah mekanisme yang demokratis. Dalam kacamata Budiardjo (1993), pemilu berkaitan erat dengan masalah perwakilan sebagai prinsi dari rule of law.

Mengingat pentingnya agenda Pemilu tersebut, sistem pemilu yang ada harus sesuai dengan kepribadian bangsa yang termuat dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi acuan normatif bagi pelaksanaan Pemilu agar pelaksanaan demokrasi dapat sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, harus ada keterkaitan langsung (link and match) antara sistem pemilu dengan nilai-nilai dasar pancasila.

Relevansi Pancasila

Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam Pemilu 2009 yang akan datang.

Pertama, Pemilu harus dilandasi oleh nilai-nilai religius. Muatan religius ini harus dibuktikan sebagai landasan moral bahwa Pemilu tak dapat dilepaskan dari keyakinan kepada Allah SWT. Implikasinya, pelaksanaan Pemilu harus menghormati ajaran agama yang dianut oleh rakyat Indonesia dan harus sinergis dengan nilai-nilai religius bangsa.

Landasan moral-religius ini memang abstrak. Akan tetapi, posisinya yang sangat signifikan dan penting sebagai landasan moral paling utama menjadikan Pemilu harus dilandasi oleh nilai-nilai ini. Jika nilai-nilai religius yang berbasis pada ajaran agama hilang, spirit Pancasila pun juga akan turut pudar. Oleh karena itu, nilai-nilai religius yang terdapat dalam ajaran agama harus dijadikan pedoman dasar dalam pelaksanaan pemilu.

Kedua, Pemilu harus dilandasi oleh landasan kemanusiaan. Landasan moral kedua ini mengisyaratkan bahwa Pemilu harus menghormati nilai kemanusiaan dan bukan menjadi alat pemicu konflik. Semua orang harus memiliki hak pilih dan hasil Pemilu harus dapat diterima semua pihak Selain itu, landasan ini juga mengisyaratkan adanya hasil pemilu yang jujur, transparan, adil, dan dapat diterima oleh semua pihak.

Hasil pemilu juga harus disikapi sebagai sebuah realitas demokrasi yang mungkin tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ketika pemilu dilaksanakan tidak semua partai memperoleh hasil memuaskan karena rakyat juga dihadapkan pada pilihan yang begitu kompleks. Maka, landasan kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki peran penting untuk mencegah konflik pasca-pemilu yang berpotensi merusak substansi Pemilu.

Ketiga, pemilu harus dilandasi oleh rasa persatuan. Pemilu, sekali lagi, adalah sebuah realitas demokrasi. Perbedaan yang terdapat dalam demokrasi akan dapat dijembatani melalui mekanisme Pemilu yang baik. Akan tetapi, perbedaan dalam demokrasi tidak boleh menjadi pemicu keretakan persatuan di seantero negeri. Indonesia yang secara kltural terkenal dengan Bhineka Tunggal Ika harus tetap bersatu ketika terdapat perbedaan dalam persoalan tertentu.

Ketika Pemilu dilangsungkan, landasan persatuan Indonesia menjadi sebuah harga mati yang harus dipegang agar Demokrasi yang diimplementasikan melalui Pemilu tidak menjadi sebuah demokrasi yang destruktif. Maka, penting bagi pelaksana Pemilu untuk bertindak sesuai landasan ini dengan profesionalitas dan kapabilitas untuk menengahi konflik yang mungkin saja terjadi.

Keempat, pemilu harus dilaksanakan atas dasar demokrasi pancasila. Di sini, Pemilu tidak hanya dilaksanakan secara demokratis. Pemilu harus memiliki nilai-nilai substansial dari demokrasi yang direlevansikan dengan nilai-nilai pancasila agar Pemilu tersebut menjadi bermakna dan sesuai dengan kepribadian bangsa. Terpenting, Pemilu tidak hanya dipandang sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga harus dipandang sebagai media untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera.

Demokrasi Pancasila, mengacu pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil perubahan 2002, adalah penegakan kembali asas-asas negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara secara kolektif atau perorangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Demokrasi pancasila ini memerlukan sebuah mekanisme Pemilu yang memenuhi asas Jurdil Luber, penegakan supremasi hukum, serta pembangunan politik yang demokratis.

Kelima, pemilu harus membawa implikasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan Pemilu tak akan ada artinya jika keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia tidak terjadi pasca-Pemilu. Hal ini patut diingat agar para anggota legislatif dan presiden yang terpilih dala Pemilu tetap konsisten dengan komitmen politik yang telah dibangunnya ketika kampanye.

Permasalahan kemudian muncul pada kebijakan yang ditelurkan pasca-Pemilu. Mungkin, pemilu tidak dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil setelah seseorang terpilih melalui mekanisme Pemilu. Akan tetapi, setidaknya Pemilu dapat memberikan preferensi kepada rakyat agar dapat memilih seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, Pemilu harus dilaksanakan secara demokratis dan terbuka agar rakyat tidak salah dalam menentukan pilihannya.

Kesimpulan: Sinergisasi Nilai

Lima hal tersebut dapat menjadi rujukan dalam sistem pemilu Indonesia. Pancasila, sebagai perjanjian luhur bangsa, akan dapat memberi referensi dasar dalam pembangunan politik. Nilai-nilai dasar yang telah ditawarkan oleh Pancasila juga dapat mencegah potensi konflik yang mungkin saja terjadi pasca-Pemilu.

Dalam konteks Indonesia, Pemilu harus memiliki kesesuaian dengan kepribadian bangsa agar nilai-nilai demokrasi tidak terdeviasi oleh kepentingan sempit. Maka, meminjam istilah Amien Rais, sudah saatnya kita membangun politik kelas tinggi (high politics) dan mengesampingkan kepentingan sesaat. Mari membangun Indonesia, mari berkontribusi dalam kebangkitan bangsa.

Kritik Cerdas, Mengapa Tidak?


(Pengalaman Artikel Pertama di Radar Banjarmasin)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

“Yang penting kita bekerja ikhlas secara maksimal. Sanjungan, kritik, dan sebagainya adalah garam kehidupan”.

(Prof. Dr. Amien Rais, Demi Kepentingan Bangsa, 1997)
Pengantar

Kehidupan manusia memang tak akan pernah terlepas dari benar dan salah, atau baik dan buruk. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, ada dua kemungkinan dari perbuatannya; Baik atau burukkah perbuatan yang dilakukan tersebut. Kebenaran atau kebaikan ini tak dapat dipisahkan dari acuan normatif yang berlaku di masyarakat, baik norma hukum, agama, kesusilaan, maupun norma kesopanan di masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi tolak ukur bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Dalam perspektif sosiologi, tindakan sosial yang dilakukan oleh seorang individu harus rasional dan berorientasi pada nilai atau norma.
Menulis: Kritik dan Kontrol Sosial

Karena adanya kebaikan dan keburukan itu, perlu adanya kontrol sosial di samping kontrol norma yang telah baku. Kontrol sosial yang paling efektif, menurut penulis, adalah melalui kritik atas perbuatan yang dilakukan. Di sini, peran seorang individu dalam “meluruskan” kesalahan yang diperbuat sangat diperlukan. Tentunya, pelurusan ini harus dilakukan secara baik tanpa menimbulkan konflik, walaupun sebenarnya konflik dan feedback sangat sulit untuk dihindari.

Kritik bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Bagi kaum intelektual, media paling baik dalam menyuarakan kritik adalah melalui tulisan. Tulisan yang berkualitas dan mampu menyuarakan kritik dengan baik, seperti diungkapkan oleh Ersis Warmansyah Abbas (EWA), lebih tajam dari pisau sekalipun. Selain itu, tulisan juga melambangkan pemikiran kritis yang diungkapkan secara rasional tanpa ada batasan untuk menghentikannya. Oleh karena itu, wajarlah jika sangat banyak tokoh yang dikenal dan dikenang oleh dunia karena tulisan-tulisannyanya.

Sebut saja Imam Syafi’i Rahimullah, seorang ulama yang menjadi anutan masyarakat Islam di Asia Tenggara, tak akan pernah menjadi seorang ulama besar jika beliau tidak menuliskan dalamnya samudera ilmu beliau melalui kitab Al-Umm yang menjadi pegangan dan rujukan ulama-ulama di Indonesia. Begitu pula dengan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, atau Al-Ghazali. Bahkan, ulama-ulama Semarang yang pun juga menulis. Sebut saja Hamka dengan Kitab Tafsir Al-Azhar, Al-Qardhawi dengan Fiqh Zakat, atau Nashiruddin Al-Albany dengan Shifat Shalat Nabiy dan Kumpulan Hadits-hadits maudhu’. Semuanya menunjukkan bahwa dengan menulis, pemikiran kita tak akan pernah lapuk dimakan zaman kendatipun kita telah meninggal dunia.

Budaya kritik melalui tulisan di Indonesia telah berkembang sejak lama. Melalui artikel kritisnya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andai aku seorang Belanda), Soewardi Suryaningrat yang kemudian terkenal dengan Ki Hajar Dewantara menghebohkan Indonesia pada waktu itu dan membuat pemerintah kolonial Belanda marah besar. Juga ketika Hatta mengkritik Presiden Soekarno melalui tulisannya Demokrasi Kita yang dimuat oleh Majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Dimuatnya tulisan ini menyebabkan Majalah Panji Masyarakat kurang mendapatkan hati pemerintah pada waktu itu dan berujung pada pembredelan.

Atau ketika Inu Kencana Syafei dengan gagah berani membongkar kasus IPDN melalui buku beliau, IPDN Undercover. Terakhir, kita juga mendengar Muhammad Faisal yang dipenjara karena kasus surat pembaca yang mengkritik kepemimpinan Gubernur. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kritik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia aktivisme, yang bertujuan memisahkan sesuatu yang hak dari yang batil atau memperjuangkan nasib masyarakat yang semakin terhimpit kehidupannya.

Pengalaman : Artikel Pertama di Radar Banjarmasin

Saya memiliki pengalaman tersendiri mengenai kritik-mengkritik ini. Artikel pertama saya dimuat oleh Radar Banjarmasin, 11 Oktober 2006 yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sebenarnya, artikel itu bukanlah tulisan pertama saya. Sebelumnya saya pernah menulis di Banjarmasin Post, akan tetapi tulisan tersebut cukup singkat dan hanya dimuat di surat pembaca. Artikel pertama sya di Radar Banjarmasin tersebut berjudul Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah. Dimuat cukup panjang, lebih dari setengah halaman di OPINI Radar Banjarmasin. Dari judulnya, sudah ada kesan bahwa artikel tersebut berisi kritikan terhadap sekolah secara umum (saya masih duduk di kelas 2 SMA pada waktu itu).

Tulisan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan saya (dan beberapa teman) dengan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas sekolah. Kebijakan-kebijakan tersebut sebenarnya telah dikritisi oleh OSIS dan MPK (di mana saya menjadi ketuanya) dalam forum yang dihadiri oleh para fungsionaris sekolah, tetapi kurang berhasil menemukan titik temu. Forum tersebut mengalami deadlock setelah perdebatan alot selama dua hari.

Satu bulan setelah forum yang gagal tersebut, saya berinisiatif untuk melakukan kritik terbuka kepada sekolah melalui tulisan di media massa. Tulisan sepanjang 4,5 halaman folio tersebut saya kirim ke Radar Banjarmasin pada hari Senin, dan dimuat pada hari Rabu. Saya cukup terkejut dengan dimuatnya tulisan tersebut, apalagi dengan mencantumkan jabatan saya sebagai Ketua Umum MPK di sekolah saya.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat sebuah SMS dari seorang teman, bahwa saya dipanggil untuk menghadap oleh seorang “pejabat” di sekolah. Saya mendapat firasat yang kurang baik pada saat itu dan memutuskan untuk tidak memenuhi “panggilan” beliau. Apalagi beberapa hari sebelum pemanggilan saya dan “sang pejabat” terlibat diskusi dan tanya-jawab yang cukup hangat. Sampai seusai Idul Fitri, panggilan tak kunjung saya penuhi.

Rupanya saya masih sangat idealis pada waktu itu. Saya kembali membuat sebuah artikel untuk mendukung artikel sebelumnya di Radar Banjarmasin. Artikel setebal 3 halaman saya buat dan akhirnya dimuat oleh Kalimantan Post. Artikel berjudul Bangkitlah Gerakan Pelajar! tersebut pada awalnya hanya membicarakan fenomena aktivisme pelajar, tetapi di tengah artikel mulai menyinggung kebijakan sekolah. Namun, tulisan saya di Kalimantan Post ini kurang mendapat respons, karena memang “tak terbaca” oleh sang pihak pejabat di sekolah.

Seakan kurang puas, tulisan senada saya kirim ke Banjarmasin Post. Tulisan ini pun juga dimuat, walaupun hanya berada di rubrik Hotline atau Surat pembaca. Di sinilah “sang pejabat” seperti kebakaran jenggot dan mulai menunjukkan sikap-sikap kurang simpatik kepada saya. Ketika saya menemui beliau untuk urusan organisasi, beliau kurang merespons secara positif dan menunjukkan raut wajah sinis kepada saya. Bahkan beliau menanyai saya mengenai artikel di media massa tersebut. Akan tetapi, saya kurang menanggapi dan hanya berargumen sedikit, walaupun sudah mulai ada sedikit nada emosional dari saya maupun beliau.

Selama beberapa hari, tidak terjadi apa-apa. Mungkin karena pada saat itu sedang ulangan, beliau tidak memanggil saya. Selain itu, saya pun juga menghindari kontak dengan beliau. Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika beberapa hari kemudian teman saya mengatakan bahwa saya diminta untuk menemui “sang pejabat”. Saya tak berpikir negatif, dan terus saja menemui beliau. Ternyata, seperti yang saya duga, beliau kembali meminta klarifikasi atas artikel saya di beberapa media massa. Bahkan pada hari itu beliau membawa fotocopy artikel saya yang telah digarisbawahi. Jadilah, hari itu saya “disidang” oleh beberapa “pejabat” yang menemani beliau selama satu jam!

Memang, tulisan tersebut berisi kritikan yang cukup keras, walaupun tidak langsung menuding ke sekolah saya. Saya hanya mengulas sistem pendidikan secara umu, disertai dengan beberapa penyimpangan yang “mungkin” dilakukan. Akan tetapi, kesalahan saya ada pada identitas diri. Di situ jelas-jelas identitas saya adalah Ketua Umum MPK di sekolah saya tersebut, sehingga “pejabat” yang memanggil saya menganggap bisa saja ada orang yang berkesimpulan bahwa tulisan tersebut ditujukan kepada sekolah. Pada intinya, beliau menganggap bahwa tulisan tersebut cenderung tendensius dan mendiskreditkan sekolah saya sendiri.

Pada waktu itu, saya hanya menjawab sedikit mengenai tulisan tersebut. Saya berpendapat, cukup sulit untuk berargumen ketika berada di bawah tekanan. Tetapi anehnya, ketika saya “menantang” sang pejabat untuk menggunakan hak jawab di koran yang sama, beliau tidak mau. Entah karena tak mau menulis, kesibukan, atau bahkan tak bisa menulis, saya tidak tahu. Yang jelas beliau mengatakan bahwa berpolemik di media massa “tak dapat dipahami dengan jelas”. Sampai sekarang, tak ada satu pun tanggapan atas artikel-artikel saya di koran yang mengkritisi sekolah.

Padahal jika memang tulisan saya tersebut “bermasalah”, akan muncul feedback dari pembaca. Hal tersebut sangat sering kita jumpai di harian Jawa Pos dan Radar Banjarmasin. Salah satu contohnya adalah pada tulisan Rifqinizamy Karsayudha yang ditanggapi oleh Lamise di Radar Banjarmasin. Atau mengenai tulisan Suriansyah mengenai Kepala Sekolah Unggul yang ditanggapi oleh Fatchul Mu’in sebelum dibelokkan arah permasalahannya oleh Bambang Subiyakto yang mengulas Dekan Unggul, juga di Radar Banjarmasin. Kasus-kasus perdebatan itu terjadi karena adanya kritik balik mengenai isi tulisan yang akhirnya menjadi sebuah wacana publik. Di sinilah keunggulan seorang intelektual, karena ia pasti akan dapat menganalisis masalah secara ilmiah melalui artikel yang santun namun tajam. Ia juga tetap menyoroti masalah secara objektif disertai alternatif pemecahan sesuai landasan keilmuan.

Setelah panggilan tersebut, saya terus menulis. Bagi saya, kebenaran harus terus disuarakan walaupun tidak secara langsung. Dalam artikel-artikel saya yang lain, saya tetap menyindir perilaku menyimpang tersebut, tanpa menyebutkan identitas pelaku. Namun tak ada panggilan yang ditujukan kepada saya. Apalagi dalam bentuk hak jawab. Semuanya tetap menjadi misteri bagi saya, apakah memang karena kesibukan ataukah karena ketidakmampuan untuk menulis yang menyebabkan tidak adanya tanggapan berarti atas artikel. Di dalam hati saya sampai terbersit sebuah pemikiran bahwa saya telah “menang”, dalam artian bahwa tulisan tersebut berhasil memberikan implikasi-implikasi walaupun hanya di kalangan tertentu.

Menulislah, Anda Akan Mengubah Keadaan!

Pengalaman saya tersebut merupakan sebuah pengalaman tak ternilai dalam hidup saya, yang mengharuskan saya untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Bagaimanapun rintangan yang menghadang kita, kebenaran harus tetap kita sampaikan. Tulisan yang kita hasilkan harus dapat mengubah keadaan kita, karena dengan tulisanlah kunci perubahan itu berada.

Kritik membangun, menurut Sidiq (2004), merupakan prasyarat menuju demokratisasi. Untuk itulah maka peranan kita sebagai bagian dari civil society diperlukan, terutama sebagai kontrol sosial atas penyimpangan yang berlaku di masyarakat. Dengan kritik, kebenaran akan dapat tersampaikan. Dengan kritik pula, kebaikan dapat disebarkan secara arif dan bijaksana.

Bagi para pemimpin, ingatlah bahwa kritik merupakan hal yang biasa, apalagi di era demokrasi seperti sekarang ini. Sungguh aneh dan “luar biasa” jika para pengkritik ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih “mencemarkan nama baik”. Padahal, kritik tersebut merefleksikan aspirasi masyarakat yang ingin suara mereka didengar oleh pemimpin. Oleh karena itu, meminjam istilah Pak Amien Rais, anggaplah kritik yang diterima sebagai “garam” kehidupan. Keikhlasan dan kerja keraslah yang sangat menentukan dalam ikhtiar kita. Jika budaya kritik dapat diterima secara lapang dada, masyarakat madani yang dirindukan tak mustahil dapat diciptakan.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang yang beruntung”.

(Al-Qur’an Surah Ali Imran: 104)

*) Penulis Lepas, Pelajar bertempat tinggal di Banjarmasin

Harga Sebuah Amarah

(Refleksi Jumat Kelabu 23 Mei 1997)

Dampak peristiwa 23 Mei 1997 (delapan tahun lalu) yang dikenal dengan Jumat Kelabu, masih kita rasakan. Saat itu, ratusan korban berjatuhan untuk sebuah pelampiasan yang tak beralasan. Hasilnya, kerugian yang sangat besar menimpa seluruh entitas warga Kota Banjarmasin yang tak tahu apa-apa. Sungguh, sebuah pembayaran yang amat mahal untuk sebuah konflik yang tak jelas ujung dan pangkalnya.

Kita ketahui, Jumat Kelabu merupakan sebuah insiden memilukan menjelang Pemilu 1997 berupa bentrok antara massa yang membawa identitas partai/kelompok politik tertentu. Tak sedikit korban jiwa dan harta benda dari kerusuhan itu. Banyak orang hilang, pusat perbelanjaan hancur oleh amuk massa. Peristiwa itu mirip dengan Tragedi Mei 1998 di Jakarta, masyarakat menjarah pusat perbelanjaan karena barang dagangan ditinggalkan akibat terjadi amuk massa. Ironisnya di Banjarmasin saat itu , pintu masuk dan keluar plasa ditutup massa kemudian dibakar. Alhasil, ratusan orang terjebak di dalamnya. Laporan resmi menyebutkan, ada 121 korban yang terpanggang di Plasa Mitra Banjarmasin.

Tragedi Jumat Kelabu itu masih menyisakan pertanyaan mengenai motif kerusuhan tersebut. Sebenarnya, muncul banyak interpretasi mengenai sebab, motif dan fenomena di balik tragedi itu. Ada yang menyebutkan, kerusuhan terjadi karena dendam simpatisan partai tertentu kepada partai/kelompok lain dalam persoalan politik. Hal ini cukup beralasan. Mengingat, dalam kampanye salah satu partai selalu memobilisasi massa dengan jumlah yang besar tetapi pada saat Pemilu mereka kalah. Dengan konsiderasi seperti ini, wajar simpatisan partai yang dirugikan tidak percaya dan mencurigai ada ‘permainan’ di balik hasil pemilu.

Asumsi lain, kerusuhan terjadi karena perilaku simpatisan dan kader kelompok politik tertentu yang melakukan hura-hura ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Memang, ada beberapa orang yang memakai identitas kelompok politik tertentu berpawai melewati masjid ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Mereka juga dikabarkan membunyikan musik dengan keras ketika Khutbah Jumat dibacakan, sehingga mengundang kemarahan masyarakat. Diduga, kerusuhan itu dipicu oleh perilaku ini.

Berdasarkan pengalaman saya saat masih bertempat tinggal di Jalan Ahmad Yani Kilometer 2 Banjarmasin, isu terjadi keributan pada waktu Shalat Jumat telah ada ketika saya pulang shalat dari Masjid RS Ulin. Suasana menjadi tegang, ketika Jumat siang itu beberapa orang bersenjata tajam lewat di depan rumah saya. Terlepas dari penafsiran itu, yang jekas Tragedi 23 Mei itu membuat banyak orang tak bersalah menjadi korban. Mayat di Plasa Mitra bukan hanya kader atau simpatisan kelompok politik yang berkonflik, tetapi juga masyarakat yang tak tahu apa-apa.

Ditinjau dengan pendekatan sosiologi, Tragedi 23 Mei 1997 berkaitan erat dengan konflik dan kekerasan. Tragedi ini jelas telah menimbulkan korban jiwa sebagai indikator terjadinya kekerasan. Berpegang pada teori lingkungan sosial, kekerasan akan terjadi jika di sebuah lingkungan terjadi sesuatu yang sensitif atau tidak kondusif. Kasus kerusuhan 23 Mei 1997, sangat erat kaitannya dengan lingkungan sosial-masyarakat yang kurang kondusif. Asumsi ini diperkuat oleh adanya fakta, pada masa itu ada semacam sentimen negatif antara kedua belah pihak yang berkonflik secara politik sehingga iklim konflik semakin terasa terutama di akhir era 1990-an.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai kita terlibat konflik hanya karena persoalan yang sangat sepele seperti masalah politik. Ingat, kita membayar sangat mahal hanya untuk melampiaskan amarah dan emosi. Akankah kita bangkit, bersatu untuk sebuah reformasi? Stop Bacakut Papadaan!
Artikel ini dimuat pada 23 Mei 2007, ketika saya masih duduk di kelas 2 SMA.

Sabtu, 13 Desember 2008

Ketika Kekuasaan Berbicara

(Review Film "Air Force One", 1997)

Pengantar

Sebuah pesawat elit yang mengangkut Presiden Amerika Serikat yang melintasi samudera pasifik dibajak oleh sekelompok teroris yang memiliki kepentingan politik tertentu. Pesawat tersebut baru saja pulang dari Moskow setelah Presiden menyampaikan pidatonya sebagai jawaban atas ditangkapnya pemimpin Kazakhstan. Aksi teroris tersebut bertujuan untuk menyandera presiden AS sebagai aksi balasan atas ditangkapnya pemimpin mereka. Mampukah sang Presiden menyelamatkan diri dan menyelesaikan penyanderaan ini dengan kekuatan yang dimilikinya?

Sekelumit cerita di atas menggambarkan latar belakang film Air Force One yang dibintangi oleh Harrison Ford. Seperti halnya film-film Hollywood yang bergenre action lain, film ini mengisahkan aksi heroik James Marshall, Presiden AS (Harrison Ford) yang berhasil menggagalkan usaha pembajakan pesawat Air Force One oleh teroris. Film ini juga sangat berbau politis, karena mengambil setting penangkapan seorang tokoh radikal Kazakhstan.

Film ini dibuat pada tahun 1997, sehingga setting cerita tidak lagi berkaitan dengan konflik AS-Sovyet[1]. Akan tetapi, film ini tetap bercerita tentang gangguan keamanan internasional dengan adanya pembajakan oleh sekelompok orang yang diidentifikasikan sebagai gerilyawan Kazakhstan. Maka, penggunaan hard power tetap ada dalam konteks film ini.

Hard Power: Efektifkah?

Film ini juga memiliki aspek politik yang lain jika kita telaah. Secara umum, film ini menggambarkan penggunaan hard power oleh beberapa pihak dalam aksi terorisme tersebut dengan implikasi-implikasi yang ditentukan oleh alur cerita.

Setidaknya, ada tiga hard power yang terdapat dalam film. Pertama, hard power digunakan oleh tentara Amerika Serikat dan Rusia yang mengalahkan kekuatan bersenjata di Kazakhtan serta menangkap pemimpin mereka (latar belakang pra-cerita). Kedua, hard power digunakan oleh kelompok teroris Kazakhstan yang ingin mengembalikan kedudukan pemimpin mereka dengan kekuatan bersenjata. Ketiga, hard power digunakan oleh pemerintah Rusia yang menembak pemimpin Kazakhstan tersebut ketika akan dibebaskan.

Mari kita analisis penggunaan hard power tersebut.

Pada poin pertama, penggunaan kekuatan militer oleh Rusia dan didukung oleh Amerika Serikat sangat tampak sebagai penggunaan hard power. Kekuatan militer yang digunakan untuk menekan negara lain adalah salah satu bentuk dari hard power. Selain itu, adanya implikasi lanjutan berupa penggunaan kekuatan bersenjata balasan dari gerilyawan Kazakh juga mengindikasikan adanya hard power atau coercive diplomacy dalam bahasa Kegley (2006)[2].

Pada poin kedua, hard power juga digunakan oleh gerilyawan Kazakhstan yang ingin membalas penangkapan pemimpin mereka. Mengacu pada definisi power yang diberikan oleh Morgenthau (1956)[3], aksi yang dilakukan oleh gerilyawan ini dapat dikatakan sebagai hard power karena menggunakan kekuatan bersenjata dan dilakukan sebagai koersi terhadap seseorang walaupun hal ini illegal. Adanya hard power ini mampu membuat para petinggi militer AS melonggarkan hard power mereka.

Sebagai balasan atas hard power dari kekuatan bersenjata Kazakhstan ini, para petinggi Amerika Serikat tidak lagi menggunakan hard power untuk menyelesaikannya. Mereka membuka pintu negosiasi dengan mengakomodasi beberapa tuntutan dari penyandera (termasuk membebaskan pemimpin gerilyawan Kazakh). Cara ini kemudian mampu membuat para penyandera menunda eksekusi mati terhadap para sandera di pesawat Air Force One serta memungkinkan James Marshall (Presiden AS) untuk menyiapkan aksi-aksi heroiknya.

Dalam konteks ini, hard power tak harus dijawab dengan hard power juga. Pemerintah AS masih memiliki strategi lain, yaitu diplomasi. Model diplomasi pada saat krisis dengan menggunakan telekomunikasi ini terbukti cukup efektif sebagai strategi transisi untuk mempersiapkan strategi selanjutnya, yaitu operasi akhir[4].

Pada poin ketiga, hard power yang digunakan adalah eksekusi terhadap Ivan Radek, pemimpin Kazakhstan yang dilakukan oleh Rusia. Sebagai follow-up dari hasil negosiasi dengan penyandera, pemerintah AS dan Rusia memutuskan untuk mengakomodasi sebagian dari kesepakatan dengan penyandera. Hasil ini cukup controversial karena tidak disetujui oleh beberapa pihak. Akhirnya, Radek pun dibebaskan dari tahanannya. Namun, beberapa saat setelah dia menginjakkan kaki di luar penjara, pasukan Rusia menembaknya.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Rusia telah menggunakan hard power­nya kendati hasil negosiasi telah mengisyaratkan adanya pembebasan penuh. Hard power, seperti dikatakan oleh Morgenthau (1956)[5], akan bertindak tanpa prosedur jika tidak ada pengawasan dan perimbangan kekuasaan. Strategi Rusia menembak pemimpin gerilyawan ketika ia keluar dari penjara menunjukkan penggunaan hard power ketika langkah yang dilakukannya tak mendapat pengawasan

Perlu dicatat, Radek berada di bawah pengawasan pemerintah Rusia. Ketika Radek dibebaskan, Rusia masih memiliki hard power dengan mengelabui para penyandera tersebut. Hal ini, sesuai nature dari hard power tersebut, adalah sikap klasik dari negara-negara yang memiliki power yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

Kesimpulan: Perlukah Kekuasaan Berbicara?

Film Air Force One pada dasarnya cukup menarik, menegangkan, dan penuh makna. Walaupun film ini sangat Amerika-sentris, secara keseluruhan film ini patut diapresiasi karena efek yang cukup baik dan skenario yang cenderung tak terduga. Selain itu, ada beberapa hal yang dapat dianalisis dari film ini, salah satunya berkaitan dengan penggunaan power oleh pelaku film.

Dalam konteks ilmu politik, film ini mengajarkan bahwa power tak boleh digunakan untuk kepentingan sepihak; Power harus digunakan sesuai rational choice, pendekatan moral, dan yang terpenting harus menggunakan legitimasi atau keabsahan (Budiardjo, 1993)[6]. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan oleh negara-negara powerful yang justru menggunakan hard power mereka untuk kepentingan pribadi.

Maka, sudah seharusnys power digunakan untuk perdamaian, bukan untuk menindas kelompok lain yang menjadi lawan. Bukankah tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencapai perdamaian?



[2] Charles W. Kegley. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006). pp. 441.

[3] Lihat Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised). Definisi tersebut berbunyi, If we are talking about power, it means man’s control over the mind and action of other men.

[4] Lihat G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition) pada bagian Telecommunications; Crisis Diplomacy.

[5] Hans J. Morgenthau, op.cit.

[6] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelima belas). pp. 37-38.


Referensi

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelima belas).

G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition).

J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised).

Charles W. Kegley. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006).

http://id.wikipedia.org/wiki/air_force_one_(film)

Kamis, 11 Desember 2008

Reformasi PBB: Menanti Harapan Baru

(Sebuah Catatan Akhir Tahun)


Pengantar

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) disebut oleh Hans J. Morgenthau dalam literatur klasiknya, Politics Among Nations (1948) sebagai international government atau pemerintahan dunia. Jika merujuk pada teori Morgenthau tersebut, peran utama PBB adalah mendukung perdamaian dan keamanan dunia melalui sebuah instrumen politik yang mengakomodasi kepentingan kekuatan-kekuatan besar (great powers).


Dilema PBB


Hal ini kemudian menjadikan PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki otoritas untuk menjaga perdamaian dunia. Sekarang, setelah era perang dingin berakhir, United Nations (PBB) seakan mengalami berbagai dilema. Perubahan politik internasional pasca-perang dingin serta mulai masuknya aktor non-negara sebagai pemain dalam hubungan internasional setidaknya telah menjadi masukan bagi PBB untuk merevitalisasi perannya yang begitu sentral dalam politik internasional.


Dalam konteks sekarang, PBB setidaknya memiliki beberapa permasalahan yang sangat penting untuk segera diselesaikan, yaitu keberadaan hak veto, kesenjangan antara negara core dan periphery, serta munculnya hegemoni kekuatan besar dunia,. Tiga permasalahan ini, menurut penulis, merupakan indikator perlunya reformasi struktur PBB agar masalah-masalah internasional dapat diselesaikan.


Permasalahan Vital


Mari kita anatomi permasalahan-permasalahan di atas.


Pertama, hak veto. Persoalan hak veto merupakan persoalan klasik yang selalu menghambat penyelesaian masalah diplomatik secara adil. Padahal, asas keadilan merupakan aspek terpenting dalam decision-making pada diplomasi multilateral (Berridge, 2002). Banyak kasus yang menunjukkan bahwa hak veto sering disalahgunakan oleh negara pemiliknya untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti dalam kasus Israel.


Faktanya, keberadaan hak veto merupakan konsensus dari lima negara pemenang perang dunia II untuk memegang kontrol atas dunia. Adanya hak veto tidak didasarkan atas pertimbangan keadilan, tetapi lebih kepada balance of power yang merupakan ciri khas realisme politik. Perimbangan kekuasaan ini kemudian memberi hak bagi The Big Five untuk memainkan peran politik dalam pembuatan resolusi PBB.


Penulis menilai, pembagian kekuasaan ini cenderung oligarkis dan melupakan prinsip pertama realisme politik: Political realism believes that politics, like society in general, is governed by objective laws that have their roots in human nature (Morgenthau, 1948). Adanya hak veto sebagai bagian tak terpisahkan masih menunjukkan subordinasi hukum internasional oleh kepentingan politik.


Bagi penulis, agenda reformasi PBB pertama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah persoalan hak veto ini. Asas keadilan harus berlaku agar hegemoni Amerika Serikat yang menjadi sebuah kekuatan unipolar pasca-perang dingin dapat dikurangi, minimal melalui PBB. Penghapusan hak veto serta persamaan hak dan kedudukan negara di PBB akan memungkinkan kontrol atas Amerika Serikat.


Kedua, kesenjangan antara negara core dan periphery. Deadlock yang seringkali terjadi dalam sidang-sidang WTO harus dibaca sebagai sinyal ketidaksetujuan negara-negara periphery atas klausul free trade regime yang justru akan menjadi penyebab pemiskinan struktural di negara-negara miskin (Kegley, 2006). Negara-negara maju sering tidak memperhatikan kondisi perekonomian negara-negara miskin yang terpuruk akibat utang luar negeri yang begitu akut, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi.


Dengan tata ekonomi dunia yang semakin berbasis pasar serta masuknya multinational corporations (MNC) yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara global south (meminjam istilah Charles Kegley), struktur ekonomi dunia akan menjadi semakin timpang. Hal ini juga menjadi tanggung jawab PBB melalui dua lembaga donornya : IMF serta World Bank.


Permasalahan yang muncul, IMF serta World Bank tidak menjadi “penolong” negara-negara yang terpuruk tersebut. Mereka justru menawarkan resep ekonomi yang cenderung kapitalistik dengan peniadaan peran negara dalam mengatur perekonomian. Akibatnya, banyak negara-negara yang memaksakan konsep ini tanpa pertimbangan rasional sehingga pertumbuhan ekonomi melambat dan utang luar negeri justru bertambah. Fenomena ini dikritik oleh beberapa ekonom seperti Jeffrey Sachs atau Joseph Stiglitz yang pernah meraih nobel ekonomi.


Ketiga, hegemoni kekuatan besar dunia. Bukti kegagalan PBB dalam menjaga perdamaian dunia terlihat dari intervensi dan invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat. John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men secara jelas menjelaskan bahwa AS melakukan serangkaian intervensi politik ke negara-negara lain, seperti Panama (Manuel Norriega), Chile (Salvador Allende), atau Guatemala (Jacobo Arbenz). Bahkan pada tahun 2001 dan 2003, Amerika Serikat melakukan show of force dengan melakukan invasi ke Afghanistan serta Irak.


Hegemoni ini sudah seharusnya dihancurkan, atau minimal dikurangi. Namun, PBB yang memiliki otoritas untuk melakukan hal ini justru tidak mampu berbuat banyak. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh sentimen PBB kepada AS yang telah memberi banyak dukungan finansial atas aktivitas operasional PBB. Meski demikian, PBB memiliki sebuah tugas sebagaimana dijelaskan dalam teori Morgenthau di atas.


Sistem politik internasional, sebagaimana dijelaskan oleh Dean Minix dalam bukunya, Global Politics, memang telah mengarah pada unipolaritas dengan Amerika Serikat sebagai pemain utamanya. Situasi seperti ini sangat tidak sehat dan memerlukan figur penanding yang dapat mengimbangi power Amerika Serikat. Untuk itu, PBB harus menjadi sebuah lembaga yang dapat memantik kekuatan baru untuk mengurangi hegemoni Amerika Serikat.


Menanti Framework


Tiga permasalahan di atas menunggu penyelesaian dari PBB. Ketika struktur politik global yang unipolar mengakibatkan munculnya sebuah hegemoni untuk mendominasi dunia sesuai kepentingannya, PBB harus merevitalisasi diri. Tiga langkah yang penulis tawarkan, yaitu restrukturasi format Dewan Keamanan, penghapusan hak veto, serta penguatan supremasi hukum internasional sebagai subordinat dari politik internasional dapat dijadikan alternatif langkah untuk mereformasi PBB.


Pada intinya, kita menantikan PBB yang adil dan mampu memberi keadilan bagi dunia. Semoga reformasi PBB bukan wacana belaka.


UK dan Hard Power (Invasi AS-Inggris ke Irak)

"Guardians are the armed citizens, police, and military, who protect their unarmed fellow citizens."

-Judith Hicks Stiehm-

Invasi Amerika Serikat ke Iraq merupakan sebuah langkah dari kampanye global “war on terrorism”pasca-tragedi 11 September 2001. Setelah sebelumnya menginvasi Afghanistan dan menumbangkan rejim Taliban, Amerika Serikat kemudian melakukan invasi ke Iraq dengan alasan menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) oleh Iraq kendati eksistensi senjata tersebut tak terbukti sampai rejim Saddam Hussein jatuh.


Invasi ini dilakukan sejak tanggal 29 Maret 2003 sampai tanggal 8 April 2003, ketika Baghdad secara resmi berhasil dikuasai oleh pasukan koalisi dalam keadaan vacuum of power (Setiawati, 2004:13-14)1. Akibat invasi ini, rejim Saddam Hussein tumbang dan Amerika Serikat secara resmi menanamkan hegemoninya di Irak (Setiawati, 2004:552; Kegley, 2006:4173; Rais, 2008:634).


Invasi ini melibatkan sebuah koalisi besar negara-negara great powers dengan Amerika Serikat sebagai poros sentral. Sebagai sekutu utama Amerika Serikat, Inggris tentu saja terlibat secara langsung dalam eskalasi konflik. Inggris secara resmi memegang otoritas atas wilayah Bashrah pasca-invasi dan secara penuh mendukung pendudukan atas wilayah-wilayah penting di Irak oleh Amerika Serikat.


Secara historis, Inggris memiliki kedekatan dengan Irak karena Inggris pernah menjajah beberapa daerah di Timur Tengah sebelum perang dunia I. Namun setelah perjanjian Balfour yang mengisyaratkan keluarnya Inggris dan Perancis dari Timur Tengah serta berdirinya negara Israel yang kontroversial, Inggris pun tidak lagi terlibat secara langsung dalam permasalahan Timur Tengah.


Namun, Inggris tetap memiliki kepentingan, terutama kepentingan politik berkaitan global campaign of war on terrorism dan kepentingan ekonomi berkaitan dengan pasokan minyak ke eropa. Oleh karena itu, aksi pendudukan Amerika Serikat ke Irak kemudian disambut oleh Inggris dengan mengirimkan kekuatan militer sebagai salah satu bagian dari koalisi aggressor.


Keterlibatan Inggris secara langsung dalam invasi ini tak lepas dari keberadaan Tony Blair yang secara tegas mencanangkan kebijakan luar negeri yang pro-Washington. Sejak memenangkan Pemilu tahun 1997, kebijakan luar negeri Tony Blair terlihat dekat dengan Washington, terutama dalam kerjasama ekonomi. Hal ini kemudian mempengaruhi keterlibatan militer Inggris dalam berbagai perang yang sebenarnya dilakukan oleh Washington.


Inggris sendiri memiliki peran cukup besar dalam invasi ke Irak. Pertama, bantuan militer. Setidaknya ada kira-kira 7-14 bom yang dijatuhkan oleh armada udara Inggris sebelum tahun 20035. Inggris juga membantu dengan mengirimkan pasukan sebanyak 45.000 personel pasukan. Dengan jumlah sebanyak ini, Inggris secara langsung terlibat dalam penggunaan hard power-nya untuk membantu Amerika Serikat.


Pada saat peperangan, ada beberapa jenis pasukan elite yang diturunkan oleh masing-masing negara aggressor, seperti British Special Air Service (SAS), The Australian Special Air Service Regiment (SASR) dan 4RAR, The U.S. Army's Delta Force, United States Navy SEALs, United States Army's Green Berets dan U.S. Air Force Combat Controllers6. Masuknya British SAS tersebut cukup menarik perhatian kita karena pada dasarnya British SAS adalah pasukan elite udara yang hanya diterjunkan untuk operasi-operasi militer penting.


Inggris kemudian memusatkan perhatian pada upaya untuk merebut Basrah, sementara AS berupaya menaklukkan Baghdad. Untuk merebut wilayah tersebut, personel militer Inggris harus menaklukkan Umm Qasr, sebuah kota pelabuhan di Irak. Upaya untuk merebut wilayah tersebut tidak mudah, karena daerah tersebut terkenal dengan medan yang sulit. Pada tanggal 6 April 2003, tank-tank Inggris yang berkode Red Devils mulai menuju Umm Qasr, dengan tujuan menguasai pelabuhan agar angkatan laut dapat mengakses wilayah tersebut dan bantuan kemanusiaan yang diangkut melalui kapal dapat dengan mudah masuk7.


Kemudian, personel militer Inggris dari 1 (UK) Armoured Division maju ke sekitar Al-Amarah, disusul oleh personel infantri dan kavaleri dari The British 3rd Armoured dan 4th Mechanized Division (Divisi Kavaleri) yang menyerang tentara Irak di sekitar daerah tersebut serta mengamankan ladang-ladang minyak yang berada di sekitar daerah tersebut. Minyak menjadi persoalan penting dalam invasi ke Irak, karena pasokan minyak Irak tak boleh terhenti kendati perang berlangsung.


Setelah menguasai Umm Qasar, teknisi elektronik dan bangunan dari Royal Electrical Mechanical Engineers (REME) dan Royal Engineers of the British Army langsung bekerja untuk memperbaiki pelabuhan Umm Qasr. Setelah penaklukkan Umm Qasr, personel angkatan darat Inggris yang dibantu oleh Royal Navy kemudian berhasil memasuki kota Basrah, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Karbala, kota suci kaum Syiah di Irak.


Persoalan memasuki Karbala bukan persoalan yang mudah. Resistensi dari kelompok Syiah juga menghantui personel militer Inggris. Untuk itu, pasukan AS juga berkonsentrasi untuk merebut Najaf dan mempersiapkan diri untuk memasuki Baghdad. Pasukan Inggris dan Australia dibantu oleh sekelompok personel militer Polandia hanya sedikit mengamankan Karbala agar Baghdad mudah dikuasai. Tank-tank Inggris mulai bergerak ke Karbala dan terlibat serangkaian pertempuran.


Pasukan Inggris yang telah merebut Karbala kemudian bertemu dengan tentara Amerika Serikat di Baghdad untuk kemudian melakukan penaklukan final atas Baghdad sekaligus menandai kemenangan tentara pendudukan AS. Dua pasukan tank dari AS dan Inggris, US. M1 Abrams dan British Challenger 2 berada di garda terdepan pasukan koalisi. Koalisi kemudian dapat memasuki Baghdad tanpa halangan berarti. Pasukan Inggris dari Challenger 2 menderita kerugian berupa rusaknya tank Queen's Royal Lancers akibat kesalahan komunikasi dari tank yang lain sehingga menewaskan dua crewmen.


Perang yang berlangsung selama 21 hari ini kemudian dikecam oleh banyak pihak. Kecaman muncul karena Inggris dan Amerika sangat menonjolkan hard power mereka untuk sesuatu hal yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui jalan diplomasi. Istilah pre-emptive diplomacy yang digunakan oleh kelompok agresor di sini kurang tepat, karena sikap ini dilandasi oleh sikap apriori dan penuh kepentingan dari Amerika Serikat atau Inggris.


Ada hal yang patut kita pertanyakan dari tujuan invasi ke Irak tersebut. Jika tujuan Amerika Serikat dan Inggris menyerang Irak adalah untuk menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction), mengapa AS dan Inggris tidak menggunakan PBB sebagai alat untuk membuktikan kesalahan tersebut serta menjatuhkan sanksi? Bukankah PBB sudah memiliki IAEA atau Badan Atom Internasional yang memiliki otoritas untuk memaksa?


Maka, jika kita analisis lebih jauh, penggunaan hard power Inggris dalam invasi ke Irak tidak murni atas alasan menghentikan peredaran weapons of mass destruction. Terbukti, setelah ternyata senjata pemusnah massal tersebut ternyata tidak dapat ditemukan di Irak, hegemoni kedua negara tersebut masih tetap ada. Walaupun Lord Bingham, mantan anggota House of Lords Inggris menganggap bahwa invasi Inggris ke Irak menyalahi hukum internasional, Inggris tetap menegaskan kedudukannya di Basrah sebagai penjaga keamanan di Irak.


Banyak pihak beranggapan bahwa motif lain yang diinginkan oleh Inggris dan AS di Irak adalah minyak (Hamidi, 2003)8. Minyak adalah komoditas utama dari Irak dan merupakan salah satu cadangan minyak terbesar di dunia selain Arab Saudi. Sikap Saddam Hussein yang cenderung beroposisi terhadap AS, serta menipisnya cadangan minyak AS yang tidak diimbangi oleh penurunan permintaan terhadap minyak dapat berakibat pada naiknya harga minyak dunia yang tak terkendali. Oleh karena itu, AS dan Inggris merasa perlu untuk mengamankan pasokan minyak dunia dengan menguasai sumber daya minyak di Irak.


Persoalan minyak ini kemudian memicu penggunaan hard power dari Amerika Serikat dan Inggris. Dalam konteks ini, penggunaan hard power dari sebuah negara demokratis seperti Inggris justru merugikan negara-negara lain. Keterlibatan Inggris dalam invasi ke Irak hanya menegaskan hegemoni kekuatan negara besar. Hal ini juga menandakan bahwa political realism masih mendominasi panggung politik internasional tanpa ada balance of power atau hal-hal lain yang membatasinya. Padahal, prinsip pertama dari political realism seperti disebutkan oleh Morgenthau (1956) adalah adanya hukum internasional yang membatasi kekuatan politik untuk menciptakan balance of power9.


Maka, penggunaan hard power atau coercive diplomacy harus dilaksanakan dengan pilihan rasional dan dilakukan untuk menjaga perdamaian dunia agar balance of power tetap terjaga.



Footnotes

1 Siti Muti’ah Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik TImur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004). pp. 13-14.

2 Ibid. pp. 55.

3 Charles W. Kegley and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformations (Belmont, CA: Thomson Wadsworth, 2006). pp. 417.

4 Rais, Mohammad Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008). pp. 63.

6 Ibid,

7 Ibid.

8Lutfi Hamidi. Dolar vs Euro : Awal Kebangkrutan AS ? (Jakarta: Senayan Publishing, 2003).

9 Hans J. Morgenthau. Politics Among Nation: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred A. Knopf, 1956, revised, second edition).