Kamis, 11 Desember 2008

Reformasi PBB: Menanti Harapan Baru

(Sebuah Catatan Akhir Tahun)


Pengantar

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) disebut oleh Hans J. Morgenthau dalam literatur klasiknya, Politics Among Nations (1948) sebagai international government atau pemerintahan dunia. Jika merujuk pada teori Morgenthau tersebut, peran utama PBB adalah mendukung perdamaian dan keamanan dunia melalui sebuah instrumen politik yang mengakomodasi kepentingan kekuatan-kekuatan besar (great powers).


Dilema PBB


Hal ini kemudian menjadikan PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang memiliki otoritas untuk menjaga perdamaian dunia. Sekarang, setelah era perang dingin berakhir, United Nations (PBB) seakan mengalami berbagai dilema. Perubahan politik internasional pasca-perang dingin serta mulai masuknya aktor non-negara sebagai pemain dalam hubungan internasional setidaknya telah menjadi masukan bagi PBB untuk merevitalisasi perannya yang begitu sentral dalam politik internasional.


Dalam konteks sekarang, PBB setidaknya memiliki beberapa permasalahan yang sangat penting untuk segera diselesaikan, yaitu keberadaan hak veto, kesenjangan antara negara core dan periphery, serta munculnya hegemoni kekuatan besar dunia,. Tiga permasalahan ini, menurut penulis, merupakan indikator perlunya reformasi struktur PBB agar masalah-masalah internasional dapat diselesaikan.


Permasalahan Vital


Mari kita anatomi permasalahan-permasalahan di atas.


Pertama, hak veto. Persoalan hak veto merupakan persoalan klasik yang selalu menghambat penyelesaian masalah diplomatik secara adil. Padahal, asas keadilan merupakan aspek terpenting dalam decision-making pada diplomasi multilateral (Berridge, 2002). Banyak kasus yang menunjukkan bahwa hak veto sering disalahgunakan oleh negara pemiliknya untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti dalam kasus Israel.


Faktanya, keberadaan hak veto merupakan konsensus dari lima negara pemenang perang dunia II untuk memegang kontrol atas dunia. Adanya hak veto tidak didasarkan atas pertimbangan keadilan, tetapi lebih kepada balance of power yang merupakan ciri khas realisme politik. Perimbangan kekuasaan ini kemudian memberi hak bagi The Big Five untuk memainkan peran politik dalam pembuatan resolusi PBB.


Penulis menilai, pembagian kekuasaan ini cenderung oligarkis dan melupakan prinsip pertama realisme politik: Political realism believes that politics, like society in general, is governed by objective laws that have their roots in human nature (Morgenthau, 1948). Adanya hak veto sebagai bagian tak terpisahkan masih menunjukkan subordinasi hukum internasional oleh kepentingan politik.


Bagi penulis, agenda reformasi PBB pertama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah persoalan hak veto ini. Asas keadilan harus berlaku agar hegemoni Amerika Serikat yang menjadi sebuah kekuatan unipolar pasca-perang dingin dapat dikurangi, minimal melalui PBB. Penghapusan hak veto serta persamaan hak dan kedudukan negara di PBB akan memungkinkan kontrol atas Amerika Serikat.


Kedua, kesenjangan antara negara core dan periphery. Deadlock yang seringkali terjadi dalam sidang-sidang WTO harus dibaca sebagai sinyal ketidaksetujuan negara-negara periphery atas klausul free trade regime yang justru akan menjadi penyebab pemiskinan struktural di negara-negara miskin (Kegley, 2006). Negara-negara maju sering tidak memperhatikan kondisi perekonomian negara-negara miskin yang terpuruk akibat utang luar negeri yang begitu akut, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi.


Dengan tata ekonomi dunia yang semakin berbasis pasar serta masuknya multinational corporations (MNC) yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara global south (meminjam istilah Charles Kegley), struktur ekonomi dunia akan menjadi semakin timpang. Hal ini juga menjadi tanggung jawab PBB melalui dua lembaga donornya : IMF serta World Bank.


Permasalahan yang muncul, IMF serta World Bank tidak menjadi “penolong” negara-negara yang terpuruk tersebut. Mereka justru menawarkan resep ekonomi yang cenderung kapitalistik dengan peniadaan peran negara dalam mengatur perekonomian. Akibatnya, banyak negara-negara yang memaksakan konsep ini tanpa pertimbangan rasional sehingga pertumbuhan ekonomi melambat dan utang luar negeri justru bertambah. Fenomena ini dikritik oleh beberapa ekonom seperti Jeffrey Sachs atau Joseph Stiglitz yang pernah meraih nobel ekonomi.


Ketiga, hegemoni kekuatan besar dunia. Bukti kegagalan PBB dalam menjaga perdamaian dunia terlihat dari intervensi dan invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat. John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Men secara jelas menjelaskan bahwa AS melakukan serangkaian intervensi politik ke negara-negara lain, seperti Panama (Manuel Norriega), Chile (Salvador Allende), atau Guatemala (Jacobo Arbenz). Bahkan pada tahun 2001 dan 2003, Amerika Serikat melakukan show of force dengan melakukan invasi ke Afghanistan serta Irak.


Hegemoni ini sudah seharusnya dihancurkan, atau minimal dikurangi. Namun, PBB yang memiliki otoritas untuk melakukan hal ini justru tidak mampu berbuat banyak. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh sentimen PBB kepada AS yang telah memberi banyak dukungan finansial atas aktivitas operasional PBB. Meski demikian, PBB memiliki sebuah tugas sebagaimana dijelaskan dalam teori Morgenthau di atas.


Sistem politik internasional, sebagaimana dijelaskan oleh Dean Minix dalam bukunya, Global Politics, memang telah mengarah pada unipolaritas dengan Amerika Serikat sebagai pemain utamanya. Situasi seperti ini sangat tidak sehat dan memerlukan figur penanding yang dapat mengimbangi power Amerika Serikat. Untuk itu, PBB harus menjadi sebuah lembaga yang dapat memantik kekuatan baru untuk mengurangi hegemoni Amerika Serikat.


Menanti Framework


Tiga permasalahan di atas menunggu penyelesaian dari PBB. Ketika struktur politik global yang unipolar mengakibatkan munculnya sebuah hegemoni untuk mendominasi dunia sesuai kepentingannya, PBB harus merevitalisasi diri. Tiga langkah yang penulis tawarkan, yaitu restrukturasi format Dewan Keamanan, penghapusan hak veto, serta penguatan supremasi hukum internasional sebagai subordinat dari politik internasional dapat dijadikan alternatif langkah untuk mereformasi PBB.


Pada intinya, kita menantikan PBB yang adil dan mampu memberi keadilan bagi dunia. Semoga reformasi PBB bukan wacana belaka.


Tidak ada komentar: