Selasa, 16 Desember 2008

Kritik Cerdas, Mengapa Tidak?


(Pengalaman Artikel Pertama di Radar Banjarmasin)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

“Yang penting kita bekerja ikhlas secara maksimal. Sanjungan, kritik, dan sebagainya adalah garam kehidupan”.

(Prof. Dr. Amien Rais, Demi Kepentingan Bangsa, 1997)
Pengantar

Kehidupan manusia memang tak akan pernah terlepas dari benar dan salah, atau baik dan buruk. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, ada dua kemungkinan dari perbuatannya; Baik atau burukkah perbuatan yang dilakukan tersebut. Kebenaran atau kebaikan ini tak dapat dipisahkan dari acuan normatif yang berlaku di masyarakat, baik norma hukum, agama, kesusilaan, maupun norma kesopanan di masyarakat. Aturan-aturan tersebut menjadi tolak ukur bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Dalam perspektif sosiologi, tindakan sosial yang dilakukan oleh seorang individu harus rasional dan berorientasi pada nilai atau norma.
Menulis: Kritik dan Kontrol Sosial

Karena adanya kebaikan dan keburukan itu, perlu adanya kontrol sosial di samping kontrol norma yang telah baku. Kontrol sosial yang paling efektif, menurut penulis, adalah melalui kritik atas perbuatan yang dilakukan. Di sini, peran seorang individu dalam “meluruskan” kesalahan yang diperbuat sangat diperlukan. Tentunya, pelurusan ini harus dilakukan secara baik tanpa menimbulkan konflik, walaupun sebenarnya konflik dan feedback sangat sulit untuk dihindari.

Kritik bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Bagi kaum intelektual, media paling baik dalam menyuarakan kritik adalah melalui tulisan. Tulisan yang berkualitas dan mampu menyuarakan kritik dengan baik, seperti diungkapkan oleh Ersis Warmansyah Abbas (EWA), lebih tajam dari pisau sekalipun. Selain itu, tulisan juga melambangkan pemikiran kritis yang diungkapkan secara rasional tanpa ada batasan untuk menghentikannya. Oleh karena itu, wajarlah jika sangat banyak tokoh yang dikenal dan dikenang oleh dunia karena tulisan-tulisannyanya.

Sebut saja Imam Syafi’i Rahimullah, seorang ulama yang menjadi anutan masyarakat Islam di Asia Tenggara, tak akan pernah menjadi seorang ulama besar jika beliau tidak menuliskan dalamnya samudera ilmu beliau melalui kitab Al-Umm yang menjadi pegangan dan rujukan ulama-ulama di Indonesia. Begitu pula dengan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, atau Al-Ghazali. Bahkan, ulama-ulama Semarang yang pun juga menulis. Sebut saja Hamka dengan Kitab Tafsir Al-Azhar, Al-Qardhawi dengan Fiqh Zakat, atau Nashiruddin Al-Albany dengan Shifat Shalat Nabiy dan Kumpulan Hadits-hadits maudhu’. Semuanya menunjukkan bahwa dengan menulis, pemikiran kita tak akan pernah lapuk dimakan zaman kendatipun kita telah meninggal dunia.

Budaya kritik melalui tulisan di Indonesia telah berkembang sejak lama. Melalui artikel kritisnya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andai aku seorang Belanda), Soewardi Suryaningrat yang kemudian terkenal dengan Ki Hajar Dewantara menghebohkan Indonesia pada waktu itu dan membuat pemerintah kolonial Belanda marah besar. Juga ketika Hatta mengkritik Presiden Soekarno melalui tulisannya Demokrasi Kita yang dimuat oleh Majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Dimuatnya tulisan ini menyebabkan Majalah Panji Masyarakat kurang mendapatkan hati pemerintah pada waktu itu dan berujung pada pembredelan.

Atau ketika Inu Kencana Syafei dengan gagah berani membongkar kasus IPDN melalui buku beliau, IPDN Undercover. Terakhir, kita juga mendengar Muhammad Faisal yang dipenjara karena kasus surat pembaca yang mengkritik kepemimpinan Gubernur. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kritik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia aktivisme, yang bertujuan memisahkan sesuatu yang hak dari yang batil atau memperjuangkan nasib masyarakat yang semakin terhimpit kehidupannya.

Pengalaman : Artikel Pertama di Radar Banjarmasin

Saya memiliki pengalaman tersendiri mengenai kritik-mengkritik ini. Artikel pertama saya dimuat oleh Radar Banjarmasin, 11 Oktober 2006 yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sebenarnya, artikel itu bukanlah tulisan pertama saya. Sebelumnya saya pernah menulis di Banjarmasin Post, akan tetapi tulisan tersebut cukup singkat dan hanya dimuat di surat pembaca. Artikel pertama sya di Radar Banjarmasin tersebut berjudul Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah. Dimuat cukup panjang, lebih dari setengah halaman di OPINI Radar Banjarmasin. Dari judulnya, sudah ada kesan bahwa artikel tersebut berisi kritikan terhadap sekolah secara umum (saya masih duduk di kelas 2 SMA pada waktu itu).

Tulisan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan saya (dan beberapa teman) dengan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas sekolah. Kebijakan-kebijakan tersebut sebenarnya telah dikritisi oleh OSIS dan MPK (di mana saya menjadi ketuanya) dalam forum yang dihadiri oleh para fungsionaris sekolah, tetapi kurang berhasil menemukan titik temu. Forum tersebut mengalami deadlock setelah perdebatan alot selama dua hari.

Satu bulan setelah forum yang gagal tersebut, saya berinisiatif untuk melakukan kritik terbuka kepada sekolah melalui tulisan di media massa. Tulisan sepanjang 4,5 halaman folio tersebut saya kirim ke Radar Banjarmasin pada hari Senin, dan dimuat pada hari Rabu. Saya cukup terkejut dengan dimuatnya tulisan tersebut, apalagi dengan mencantumkan jabatan saya sebagai Ketua Umum MPK di sekolah saya.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat sebuah SMS dari seorang teman, bahwa saya dipanggil untuk menghadap oleh seorang “pejabat” di sekolah. Saya mendapat firasat yang kurang baik pada saat itu dan memutuskan untuk tidak memenuhi “panggilan” beliau. Apalagi beberapa hari sebelum pemanggilan saya dan “sang pejabat” terlibat diskusi dan tanya-jawab yang cukup hangat. Sampai seusai Idul Fitri, panggilan tak kunjung saya penuhi.

Rupanya saya masih sangat idealis pada waktu itu. Saya kembali membuat sebuah artikel untuk mendukung artikel sebelumnya di Radar Banjarmasin. Artikel setebal 3 halaman saya buat dan akhirnya dimuat oleh Kalimantan Post. Artikel berjudul Bangkitlah Gerakan Pelajar! tersebut pada awalnya hanya membicarakan fenomena aktivisme pelajar, tetapi di tengah artikel mulai menyinggung kebijakan sekolah. Namun, tulisan saya di Kalimantan Post ini kurang mendapat respons, karena memang “tak terbaca” oleh sang pihak pejabat di sekolah.

Seakan kurang puas, tulisan senada saya kirim ke Banjarmasin Post. Tulisan ini pun juga dimuat, walaupun hanya berada di rubrik Hotline atau Surat pembaca. Di sinilah “sang pejabat” seperti kebakaran jenggot dan mulai menunjukkan sikap-sikap kurang simpatik kepada saya. Ketika saya menemui beliau untuk urusan organisasi, beliau kurang merespons secara positif dan menunjukkan raut wajah sinis kepada saya. Bahkan beliau menanyai saya mengenai artikel di media massa tersebut. Akan tetapi, saya kurang menanggapi dan hanya berargumen sedikit, walaupun sudah mulai ada sedikit nada emosional dari saya maupun beliau.

Selama beberapa hari, tidak terjadi apa-apa. Mungkin karena pada saat itu sedang ulangan, beliau tidak memanggil saya. Selain itu, saya pun juga menghindari kontak dengan beliau. Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika beberapa hari kemudian teman saya mengatakan bahwa saya diminta untuk menemui “sang pejabat”. Saya tak berpikir negatif, dan terus saja menemui beliau. Ternyata, seperti yang saya duga, beliau kembali meminta klarifikasi atas artikel saya di beberapa media massa. Bahkan pada hari itu beliau membawa fotocopy artikel saya yang telah digarisbawahi. Jadilah, hari itu saya “disidang” oleh beberapa “pejabat” yang menemani beliau selama satu jam!

Memang, tulisan tersebut berisi kritikan yang cukup keras, walaupun tidak langsung menuding ke sekolah saya. Saya hanya mengulas sistem pendidikan secara umu, disertai dengan beberapa penyimpangan yang “mungkin” dilakukan. Akan tetapi, kesalahan saya ada pada identitas diri. Di situ jelas-jelas identitas saya adalah Ketua Umum MPK di sekolah saya tersebut, sehingga “pejabat” yang memanggil saya menganggap bisa saja ada orang yang berkesimpulan bahwa tulisan tersebut ditujukan kepada sekolah. Pada intinya, beliau menganggap bahwa tulisan tersebut cenderung tendensius dan mendiskreditkan sekolah saya sendiri.

Pada waktu itu, saya hanya menjawab sedikit mengenai tulisan tersebut. Saya berpendapat, cukup sulit untuk berargumen ketika berada di bawah tekanan. Tetapi anehnya, ketika saya “menantang” sang pejabat untuk menggunakan hak jawab di koran yang sama, beliau tidak mau. Entah karena tak mau menulis, kesibukan, atau bahkan tak bisa menulis, saya tidak tahu. Yang jelas beliau mengatakan bahwa berpolemik di media massa “tak dapat dipahami dengan jelas”. Sampai sekarang, tak ada satu pun tanggapan atas artikel-artikel saya di koran yang mengkritisi sekolah.

Padahal jika memang tulisan saya tersebut “bermasalah”, akan muncul feedback dari pembaca. Hal tersebut sangat sering kita jumpai di harian Jawa Pos dan Radar Banjarmasin. Salah satu contohnya adalah pada tulisan Rifqinizamy Karsayudha yang ditanggapi oleh Lamise di Radar Banjarmasin. Atau mengenai tulisan Suriansyah mengenai Kepala Sekolah Unggul yang ditanggapi oleh Fatchul Mu’in sebelum dibelokkan arah permasalahannya oleh Bambang Subiyakto yang mengulas Dekan Unggul, juga di Radar Banjarmasin. Kasus-kasus perdebatan itu terjadi karena adanya kritik balik mengenai isi tulisan yang akhirnya menjadi sebuah wacana publik. Di sinilah keunggulan seorang intelektual, karena ia pasti akan dapat menganalisis masalah secara ilmiah melalui artikel yang santun namun tajam. Ia juga tetap menyoroti masalah secara objektif disertai alternatif pemecahan sesuai landasan keilmuan.

Setelah panggilan tersebut, saya terus menulis. Bagi saya, kebenaran harus terus disuarakan walaupun tidak secara langsung. Dalam artikel-artikel saya yang lain, saya tetap menyindir perilaku menyimpang tersebut, tanpa menyebutkan identitas pelaku. Namun tak ada panggilan yang ditujukan kepada saya. Apalagi dalam bentuk hak jawab. Semuanya tetap menjadi misteri bagi saya, apakah memang karena kesibukan ataukah karena ketidakmampuan untuk menulis yang menyebabkan tidak adanya tanggapan berarti atas artikel. Di dalam hati saya sampai terbersit sebuah pemikiran bahwa saya telah “menang”, dalam artian bahwa tulisan tersebut berhasil memberikan implikasi-implikasi walaupun hanya di kalangan tertentu.

Menulislah, Anda Akan Mengubah Keadaan!

Pengalaman saya tersebut merupakan sebuah pengalaman tak ternilai dalam hidup saya, yang mengharuskan saya untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Bagaimanapun rintangan yang menghadang kita, kebenaran harus tetap kita sampaikan. Tulisan yang kita hasilkan harus dapat mengubah keadaan kita, karena dengan tulisanlah kunci perubahan itu berada.

Kritik membangun, menurut Sidiq (2004), merupakan prasyarat menuju demokratisasi. Untuk itulah maka peranan kita sebagai bagian dari civil society diperlukan, terutama sebagai kontrol sosial atas penyimpangan yang berlaku di masyarakat. Dengan kritik, kebenaran akan dapat tersampaikan. Dengan kritik pula, kebaikan dapat disebarkan secara arif dan bijaksana.

Bagi para pemimpin, ingatlah bahwa kritik merupakan hal yang biasa, apalagi di era demokrasi seperti sekarang ini. Sungguh aneh dan “luar biasa” jika para pengkritik ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih “mencemarkan nama baik”. Padahal, kritik tersebut merefleksikan aspirasi masyarakat yang ingin suara mereka didengar oleh pemimpin. Oleh karena itu, meminjam istilah Pak Amien Rais, anggaplah kritik yang diterima sebagai “garam” kehidupan. Keikhlasan dan kerja keraslah yang sangat menentukan dalam ikhtiar kita. Jika budaya kritik dapat diterima secara lapang dada, masyarakat madani yang dirindukan tak mustahil dapat diciptakan.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang yang beruntung”.

(Al-Qur’an Surah Ali Imran: 104)

*) Penulis Lepas, Pelajar bertempat tinggal di Banjarmasin

Tidak ada komentar: