Selasa, 16 Desember 2008

Pemilu 2009, Demokrasi, dan Pancasila

Pengantar

Pelaksanaan demokrasi yang terinstitusionalisasi melalui Pemilu menjadi sebuah agenda penting di Indonesia. Sebagai “puncak” dari pelaksanaan demokrasi, aspirasi rakyat yang terlembaga melalui partai-partai politik dapat diakomodasi dan perwakilan rakyat dapat dipilih melalui sebuah mekanisme yang demokratis. Dalam kacamata Budiardjo (1993), pemilu berkaitan erat dengan masalah perwakilan sebagai prinsi dari rule of law.

Mengingat pentingnya agenda Pemilu tersebut, sistem pemilu yang ada harus sesuai dengan kepribadian bangsa yang termuat dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi acuan normatif bagi pelaksanaan Pemilu agar pelaksanaan demokrasi dapat sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, harus ada keterkaitan langsung (link and match) antara sistem pemilu dengan nilai-nilai dasar pancasila.

Relevansi Pancasila

Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam Pemilu 2009 yang akan datang.

Pertama, Pemilu harus dilandasi oleh nilai-nilai religius. Muatan religius ini harus dibuktikan sebagai landasan moral bahwa Pemilu tak dapat dilepaskan dari keyakinan kepada Allah SWT. Implikasinya, pelaksanaan Pemilu harus menghormati ajaran agama yang dianut oleh rakyat Indonesia dan harus sinergis dengan nilai-nilai religius bangsa.

Landasan moral-religius ini memang abstrak. Akan tetapi, posisinya yang sangat signifikan dan penting sebagai landasan moral paling utama menjadikan Pemilu harus dilandasi oleh nilai-nilai ini. Jika nilai-nilai religius yang berbasis pada ajaran agama hilang, spirit Pancasila pun juga akan turut pudar. Oleh karena itu, nilai-nilai religius yang terdapat dalam ajaran agama harus dijadikan pedoman dasar dalam pelaksanaan pemilu.

Kedua, Pemilu harus dilandasi oleh landasan kemanusiaan. Landasan moral kedua ini mengisyaratkan bahwa Pemilu harus menghormati nilai kemanusiaan dan bukan menjadi alat pemicu konflik. Semua orang harus memiliki hak pilih dan hasil Pemilu harus dapat diterima semua pihak Selain itu, landasan ini juga mengisyaratkan adanya hasil pemilu yang jujur, transparan, adil, dan dapat diterima oleh semua pihak.

Hasil pemilu juga harus disikapi sebagai sebuah realitas demokrasi yang mungkin tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ketika pemilu dilaksanakan tidak semua partai memperoleh hasil memuaskan karena rakyat juga dihadapkan pada pilihan yang begitu kompleks. Maka, landasan kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki peran penting untuk mencegah konflik pasca-pemilu yang berpotensi merusak substansi Pemilu.

Ketiga, pemilu harus dilandasi oleh rasa persatuan. Pemilu, sekali lagi, adalah sebuah realitas demokrasi. Perbedaan yang terdapat dalam demokrasi akan dapat dijembatani melalui mekanisme Pemilu yang baik. Akan tetapi, perbedaan dalam demokrasi tidak boleh menjadi pemicu keretakan persatuan di seantero negeri. Indonesia yang secara kltural terkenal dengan Bhineka Tunggal Ika harus tetap bersatu ketika terdapat perbedaan dalam persoalan tertentu.

Ketika Pemilu dilangsungkan, landasan persatuan Indonesia menjadi sebuah harga mati yang harus dipegang agar Demokrasi yang diimplementasikan melalui Pemilu tidak menjadi sebuah demokrasi yang destruktif. Maka, penting bagi pelaksana Pemilu untuk bertindak sesuai landasan ini dengan profesionalitas dan kapabilitas untuk menengahi konflik yang mungkin saja terjadi.

Keempat, pemilu harus dilaksanakan atas dasar demokrasi pancasila. Di sini, Pemilu tidak hanya dilaksanakan secara demokratis. Pemilu harus memiliki nilai-nilai substansial dari demokrasi yang direlevansikan dengan nilai-nilai pancasila agar Pemilu tersebut menjadi bermakna dan sesuai dengan kepribadian bangsa. Terpenting, Pemilu tidak hanya dipandang sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga harus dipandang sebagai media untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera.

Demokrasi Pancasila, mengacu pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil perubahan 2002, adalah penegakan kembali asas-asas negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara secara kolektif atau perorangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Demokrasi pancasila ini memerlukan sebuah mekanisme Pemilu yang memenuhi asas Jurdil Luber, penegakan supremasi hukum, serta pembangunan politik yang demokratis.

Kelima, pemilu harus membawa implikasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan Pemilu tak akan ada artinya jika keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia tidak terjadi pasca-Pemilu. Hal ini patut diingat agar para anggota legislatif dan presiden yang terpilih dala Pemilu tetap konsisten dengan komitmen politik yang telah dibangunnya ketika kampanye.

Permasalahan kemudian muncul pada kebijakan yang ditelurkan pasca-Pemilu. Mungkin, pemilu tidak dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil setelah seseorang terpilih melalui mekanisme Pemilu. Akan tetapi, setidaknya Pemilu dapat memberikan preferensi kepada rakyat agar dapat memilih seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, Pemilu harus dilaksanakan secara demokratis dan terbuka agar rakyat tidak salah dalam menentukan pilihannya.

Kesimpulan: Sinergisasi Nilai

Lima hal tersebut dapat menjadi rujukan dalam sistem pemilu Indonesia. Pancasila, sebagai perjanjian luhur bangsa, akan dapat memberi referensi dasar dalam pembangunan politik. Nilai-nilai dasar yang telah ditawarkan oleh Pancasila juga dapat mencegah potensi konflik yang mungkin saja terjadi pasca-Pemilu.

Dalam konteks Indonesia, Pemilu harus memiliki kesesuaian dengan kepribadian bangsa agar nilai-nilai demokrasi tidak terdeviasi oleh kepentingan sempit. Maka, meminjam istilah Amien Rais, sudah saatnya kita membangun politik kelas tinggi (high politics) dan mengesampingkan kepentingan sesaat. Mari membangun Indonesia, mari berkontribusi dalam kebangkitan bangsa.

Tidak ada komentar: