Selasa, 02 Desember 2008

Jual-Beli: Perspektif Fiqh

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada kemunkaran; merekalah orang-orang yang beruntung”.


KATA PENGANTAR


Syukur Alhamdulillah, tugas berupa makalah kelompok yang dibebankan oleh Guru Pendidikan Agama Islam, Bapak Gusti Surian, S.Ag. Sebuah tugas yang cukup berat, dimana dalam tugas ini kami harus mengembangkan Tsaqafah keislaman kita, meletakkan dalil-dalil Alqur’an dan AlHadits pada permasalahan Jual-Beli sekaligus menganalisis implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.


Dalam makalah ini kami telah berupaya untuk menyajikan permasalahan jual-beli dengan menyuguhkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena keterbatasan ilmu kami ditambah dengan kurangnya referensi yang digunakan maka kami memohon maaf jika ada bagian dari makalah ini yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, ataupun pendapat ulama salafush-shalih. Koreksi, saran, dan kritik sangat kami perlukan demi perbaikan-perbaikan ke depan, agar makalah ini relevan dan dapat dipertanggungjawabkan secara kredibel.


Mudah-mudahan dengan adanya tulisan pendek ini bisa memberikan manfaat bagi kita bersama, minimal sebagai pembuka pemikiran dalam hal keislaman.


Nasrun Minallah Wa Fathun Qarib.


Banjarmasin, 17 Syawal 1427 H

8 November 2006 M

Penyusun,


ﺑﺳﻢ ﷲ ﺍﻠﺮﺣﻤﻦ ﺍﻠﺮﺣﻴﻢ

BAB I : Pendahuluan


    1. Bagaimana Islam Mengatur Jual-Beli? Sebuah Pengantar

Jual Beli merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bermumalah. Manusia melakukan aktivitas jual-beli Untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Tentunya dalam hal ini ajaran Islam telah memuat batasan-batasan serta ruang lingkup jual-beli yang telah dicantumkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Secara umum prinsip yang dipegang untuk dapat menjawab permasahan ini adalah sebuah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry, “Dilarang menimpakan bahaya dan dilarang membalas bahaya.”1 Dalam jual-beli tidak boleh ada unsur bahaya, baik dalam bentuknya, zatnya, ataupun cara berjual-belinya.Semuanya harus mengutamakan maslahat bagi pihak penjuak ataupun pembeli.

Kemudian muncul persoalan baru. Di era sekarang dapat kita lihat bersama-sama bahwa kondisi masyarakat berbeda dengan zaman Rasulullah, sehingga praktek berjual-beli juga berbeda dengan zaman Rasul. Jika dulu jual-beli hanya dilakukan di pasar dan hanya menggunakan uang, maka sekarang praktik jual-beli ada yang menggunakan kredit. Jika dulu aqad jual-beli dilakukan di pasar atau tempat transaksi, maka sekarang aqad dapat dilakukan melalui telepon, bahkan dapat pula melalui internet. Nah, dengan perkembangan teknologi yang berimplikasi pada munculnya permasalahan-permasalahan baru mengenai permasalahan jual-beli, maka diperlukan adanya Ijtihad dari para ulama sebagai usaha untuk melakukan kontekstualisasi hukum Syar’i –dengan legitimasi Al-Qur’an dan Sunnah tentunya-- agar relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Di sinilah letak urgensi tajdid dalam kehidupan masyarakat muamalah, agar umat Islam dapat mengaplikasikan ajaran Islam pada zamannya masing-masing tanpa menghilangkan substansi dari ajaran Islam tersebut. Tajdid yang dimaksud dalam konteks ini bukan berarti mengubah hukum Islam secara fundamental, tetapi tajdid di sini mempunyai dimensi yang lebih luas, yaitu mengembalikan masalah-masalah tersebut kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan pokok dalam berijtihad. Jika permasalahan-permasalahan ini dikembalikan kepada sumbernya langsung, maka jawaban-jawaban yang diperoleh akan sesuai dengan substansi nash Al-Qur’an-Sunnah.

Kembali kepada permasalahan jual-beli, untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer maka kami menyertakan berbagai fatwa dari ulama-ulama yang berkompeten. Ada fatwa-fatwa dari Majelis Tarjih Muhammadiyah yang terangkum dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 dan fatwa-fatwa dari Pak AR Fakhruddin, tanpa mengesampingkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Semua bahan ini kami masukkan demi adanya objektivitas dalam makalah ini, serta sebagai kontrol atas kesalahan-kesalahan kami.


    1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Hal yang melatarbelakangi kami dalam menyusun makalah ini adalah untuk menelaah kembali permasalahan jual-beli sesuai ajaran Islam, agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Permasalahan jual-beli yang notabene merupakan persoalan penting seyogyanya kita lakukan dengan menggunakan pedoman ajaran Islam. Terlebih lagi di era seperti sekarang ini permasalahan tersebut sedikit banyaknya memerlukan kajian yang mendalam, mengingat ada beberapa hal yang baru dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, seperti Credit Card, Transaksi Via Telepon, dan lain-lain.


Untuk itulah kami mengangkat tema tersebut, sebagai bentuk apresiasi kami mengenai masalah-masalah keislaman kontemporer di samping itu juga makalah ini merupakan tugas yang diberikan dalam Pelajaran Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :

      1. Untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam yang diberikan oleh Pak Gusti Surian. S.Ag,

      2. Untuk menjadi bahan diskusi kelas XI IPS 2 SMA Negeri 1 Banjarmasin

      3. Untuk membuka wawasan mengenai wacana-wacana keislaman kontemporer,

      4. Untuk menelaah lebih lanjut permasalahan muamalah syariah semacam jual-beli agar dapat diimplementasikan secara nyata dalam realitas empiris.


    1. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits Mengenai Jual Beli


Al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 198


Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berrzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.


Al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 275


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri elainkan seperti berdirinya syaithan lantaran (kemasukan) penyakit gila. Keadaan seperti itu ialah disebabkan merka berkata (berpendapat), sesungguhnya Jual-Beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan Jual-Beli dan mengharamkan Riba’. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil Riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.


Al-Qur’an Surah An-Nisa’ : 29


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.2


Hadits Riwayat Thabrani


Barangsiapa rela mencabut jual-beli terhadap saudaranya, maka Allah akan mencabut kerugiannya di hari kiamat.3


Hadits Riwayat Tirmidzi


Tidak sah jual beli kecuali pada sesuatu yang ia miliki.”4


Hadits Riwayat Muslim


Nabi Muhammad SAW telah melarang jual-beli yang mengandung unsur penipuan.”5

    1. Terminologi Jual-Beli: Perspektif Fiqh


Jual Beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (pihak yang menyerahkan barang) dan pembeli (pihak yang membayar barang di jual). Pada masa Rasulullah, harga barang dibayar dengan mata uang Dinar dan Dirham (Syamsuri, 2005).


Akan tetapi sekarang telah berkembang mata uang kertas yang telah dijadikan sebagai standar perekonomian. Sehingga sekarang kita berjual-beli tidak hanya dengan dinar atau dirham, tetapi juga dengan Rupiah (Indonesia), Dollar (AS), Baht (Thailand), Euro (Eropa), dan berbagai jenis mata uang lain


Dalam syari’at Islam, terdapat beberapa rukun dalam berjual-beli :

        1. Ada pembeli dan penjual, dimana pembeli dan penjual harus berakal, mumayyiz, dan berhak menggunakan hartanya.

        2. Ada sighat atau aqad atau ijab-qabul

        3. Ada barang yang diperjual-belikan. Barng tersebut harus merupakan sesuatu yang halal, bermanfaat (tidak sia-sia), merupakan milik penjual atau minimal berada di bawah kekuasaannya, tersedia di suatu tempat, dan diketahui dengan jelas bentuk dan zatnya oleh penjual dan pembeli.


Dalam istilah fiqh, dikenal terminology khiyar. Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan transaksi atas sebab suatu hal. 6


Khiyar dibedakan atas tiga jenis, antara lain :


  1. Khiyar Majlis, yaitu Khiyar yang berlangsung selama penjual dan pembeli berada di tempat transaksi. Dalilnya yaitu Hadits Rawahusy-Syaikhan :“Penjual dan Pembeli mempunyai hak khiyar selama keduanya belum berpisah dari tempat akad jual-beli.


  1. Khiyar Syarat, yaitu Khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual-beli. Dalilnya hadits riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah : “Engkau boleh khiyar pada barang yang engkau beli tiga hari tiga malam.”


  1. Khiyar ‘Aib, yaitu khiyar dimana pembeli mempunyai hak untuk membatalkan transaksi karena adanya kecacatan pada barang yang dibeli. Dalam hal ini ijma’ ulama sepakat akan kebolehannya.7


Contoh jual-beli yang terlarang antara lain :


        1. Jual-beli barang najis, seperti bangkai dan daging babi. Dalil hadits dari Jabir yang diriwayatkan Imam Bukhari8.


        1. Jual-Beli air mani hewan, dengan bersandar kepada Hadits Bukhari 9.


        1. Jual-beli anak hewan yang masih berada dalam perut induknya. Dalilnya berupa hadits dari Ibnu Umar10.


        1. Jual-Beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan. Dalilnya berupa Hadits riwayat Muslim11.


        1. Jual-Beli untuk menimbun barang. Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim12. Ditambah lagi fatwa dari KH. Hasan Basri ketika reformasi seperti dikutip oleh Nadirsyah Hosen dalam diskusi via Internet dengan Abu al-Fatih13


    1. Kutipan Fatwa KH. AR. Fakhruddin


Berikut kami kutip fatwa-fatwa berkaitan dengan hal jual-beli :


1. Tanya : Orang Tua sya membeli sepetak tanah empat tahun yang lalu. Sawah tersebut menjadi milik orang tua saya secara penuh dengan tanda sertifikat. Orang tua saya bermaksud untuk mendirikan tempat tinggal dan hal itu telah diketahui oleh penjual, tetapi belakangan inipenjual telah mensyaratkan penjualan itu untuk rumah sakit atau mushalla. Padahal waktu transaksi persyaratan itu tidak ada. Sahkah jual-beli 4 tahun yang lalu? Dan bagaimana kedudukan syarat yang datang kemudian? (St. Ramlah, Gowa, Sul-Sel).


Jawab : Syarat yang diberikan pada akad jual-beli itu sah saja, asal syarat itu baik, dapat diterima agama, dan tidak terlarang. Kalau syarat itu bertentangan dengan syara’, maka syarat itu tidak berlaku, dengan hadits dari Abu Dawud dan Al-Hakim : “Barangsiapa memberi persyaratan tidak sesuai dengan ketentuan kitabullah, maka persyaratan itu batal, walaupun seratus Syarat.


Selanjutnya dapat diterangkan bahwa jual-beli yang dilakukan dengan akad yang di dalamnya disebutkan syarat yang baik,tidak bertentangan dengan syara’, maka sahlah jual-beli itu dan masing-masing harus menghormati persyaratan tersebut, sesuai dengan Hadits riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim pula : “Orang-orang Islam (wajib memenuhi) atas syarat-syarat mereka.


Hubungannya dengan jual-beli, kalau jual-beli tanah itu untuk pendirian sekolah misalnya, penjual harus melepaskan tanahnya dan si pembeli membayar harganya, selanjutnya pembeli wajib melaksanakan syarat yang tersebut pada akad, yakni menggunakan tanah untuk mendirikan sekolah.


Kalau dalam transaksi tidak disebutkan syarat pada waktu melangsungkan akad maka berlakulah jual-beli itu tanpa syarat. Jual-beli sah, pembeli berhak atas tanah tersebut dan penjual tidak berhak lagi termasuk menyusulkan syarat.14


2. Tanya : Masalah kredit, sekarang ini hampir-hampir menjadi bagian dari hidup seseorang dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya. Bagaimana kedudukan nadzar secara kredit tersebut?


Jawab : Ada hadits dari Abu Hurairah : “Barangsiapa menjual dengan dua harga dalam satu perjanjian, maka haknya adalah menerima perjanjian harga yang lebih kecil atau kalau tidak akan masuk ke dalam riba.(HR. Abu Dawud) “


Pengertian hadits tersebut antara lain adalah jika seseorang menjual barang dengan dua macam harga seperti harga tunai dengan jumlah tertentu dan harga kredit dengan jumlah harga yang lebih tinggi, hak penjual adalah jumlah harga yang lebih kecil, baik pembayaran kredit ataupun tunai.


Mengenai kedudukan kredit, para ulama berbeda pendapat. Ulama yang tergolong pada Mazhab Syafi’i dan Hanafi menentukan bahwa Nadzar Kredit adalah Haram karena dipandang sebagai Riba Nasi’ah. Namun demikian Imam Thawus, Al-Hakam, dan Ahmad sama sekali tidak keberatan terhadap praktik nazar kredit. Demikian pula Syekh Yusuf Al-Qardhawy (ulama pakar zakat, peny.) dan kebanyakan ulama lain tidak keberatan dengan catatan selisih harga antara tunai dan kredit tidak terlalu besar dan terbebas dari unsur penindasan serta pemerasan.


Akan tetapi seyogyanya nadzar secara kredit dihindari kecuali keadaan yang memaksa demikian.15


    1. Apakah Islam Mengatur Jual-Beli? Sebuah Kesimpulan


Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa Islam telah mengatur permasalahan Jual-Beli. Permasalahan ini merupakan permasalahan Fiqh Muamalah yang cukup rumit namun efeknya dapat dirasakan di kehidupan sehari-hari.


Jual-Beli adalah lawan dari Riba, dimana pada Al-Qur’an dikatakan bahwa Allah telah mengharamkan Riba dan menghalalkan Jual-Beli16. Oleh karena itu, sebagai ajaran Islam kita harus melakukan jual-beli dengan legitimasi Al-Qur’an, Sunnah atau Ijtihad ulama. Janganlah melakukan jual-beli yang dilarang, karena dapat berdampak negatif dalam hubungan horizontal kita kepada sesama manusia (Hablum Minannas) dan hubungan vertikal kita kepada Allah (Hablum Minallah).


Mungkin hanya ini yang dapat kami hadirkan dalam makalah ini. Bila ada kekurangan – dan itu pasti ada – mohon kiranya dimaafkan. Kami hanyalah manusia biasa, yang takkan luput dari segala bentuk kesalahan.


Akhir kata, kami hanya dapat mendoakan mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita dalam meniti titian Shirathal Mustaqim, menempuh jalan yang lurus dan sesuai perintah-Nya.


Nasrun Minallah Wa Fathun Qarib.



Diselesaikan pada waktu Isya’

19 Syawal 1427 H / 10 November 2006


Daftar Pustaka


Rujukan Buku

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta, 1971.

Imam An-Nawawi, Terjemahan Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Sholahuddin Press, Jakarta, 2004.

Mulkhan, Abdul Munir, Pak AR Menjawab dan 274 Permasalahan dalam Islam, Sipress, Yogyakarta, 1993

Syamsuri, 2005, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 1991, Tanya Jawab Agama 2, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.


Rujukan Internet

http://members.tripod.com/abu_fatih/bcgbedamz2.html






1 Imam An-Nawawi, 2004, Terjemahan Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Sholahuddin Press, Jakarta.

2 Departemen Agama RI, 1971, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta.

3 Syamsuri, 2005, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

4 Ibid.

5 Ibid.

6 Syamsuri, 2005, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

7 Ibid.

8Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala.” (Hadits riwayat Imam Bukhari dari Jabir)

9Rasulullah SAW telah melarang menjual mani hewan.” (Hadits riwayat Imam Bukhari).

10Bahwa Rasulullah telah melarang menjual anak yang masih berada di dalam perut induknya.( Hadits riwayat Bukhari-Muslim).

11Nabi Muhammad SAW telah melarang jual-beli yang mengandung unsur penipuan.”(Hadits riwayat Muslim).

12Tidak menimbun barang kecuali orang yang salah atau durhaka.” (Hadits Riwayat Muslim).

13Contoh lain: ketika KH. hasan basri memfatwakan bahwa menimbun barang itu dosa. fatwa itu benar namun kurang baik. Kenapa? karena fatwa itu hanya menyerang rakyat kecil yg panik akibat krisis moneter. fatwa itu seharusnya juga menyerang praktek monopoli yg selama ini dipraktekkan konglomerat.”(http://members.tripod.com/abu_fatih/bcgbedamz2.html)


14 Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 1991, Tanya Jawab Agama 2, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.

15 Mulkhan, Abdul Munir, 1993, Pak AR Menjawab dan 274 Permasalahan dalam Islam, Sipress, Yogyakarta

16 Al-Qur’an Surah Al-Baqarah : 275

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri elainkan seperti berdirinya syaithan lantaran (kemasukan) penyakit gila. Keadaan seperti itu ialah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya Jual-Beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan Jual-Beli dan mengharamkan Riba’. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil Riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Makalah ini adalah Makalah Tugas Pendidikan Agama Islam ketika saya berada di Kelas XI IPS SMAN 1 Banjarmasin. Salam untuk Pak Gusti Surian, S.Ag, mudah-mudahan dakwah ini terus berjalan. Maju terus Majukan Rantau Badauh dan Marabahan Pak Gusti!

Tidak ada komentar: