Rabu, 10 Desember 2008

Mari Benahi Tauhid Kita

Pengantar

Seorang muslim mesti memiliki akidah dan tauhid yang benar. Dalilnya adalah Al-Qur’an Surah Al-Ikhlas :1-4 yang memerintahkan kita untuk mengakui bahwa Allah itu satu, dan tidak ada tuhan selain Allah. Dengan demikian, elemen paling substansial dalam akidah Islam adalah tauhid (berasal dari kata wahhada-tawhid). Semua unsur akidah harus bermuara dari konsep ini.

Konsep Tauhid

Sebagaimana telah kita ketahui, unsur tauhid tercantum dalam kalimat Syahadat, yaitu “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, Tiada Tuhan Selain Allah. Para ulama membagi tauhid menjadi tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid yang mengakui keesaan Allah dan tauhid yang mengimani bahwa Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.

Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, setidaknya ada empat hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam implementasi tauhid, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan akan benda-benda syirik) atau TBC.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an.

Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.

Konsekuensi Tauhid

Bagaimana konsekuensi dari konsep tauhid yang sangat transendental tersebut? Setidaknya, ada dua hal penting.

Pertama, melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tatacara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku maka ia tertolak”.

Dari hadits tersebut, cukuplah bagi kita untuk tidak melakukan hal-hal yang sama sekali tak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh Allah dalam persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat ritual harus memiliki legitimasi teoritis dari Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ibadah tersebut tidak memiliki sandaran dan dalil yang kuat, kita sebagai umat Islam sangat patut untuk berhati-hati.

Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya, kita juga harus mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Dr. Amien Rais pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan.

Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari Tauhid Akidah yang merupakan manifestasi dari pengesaan Allah secara mutlak agar tauhid akidah yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan secara konsisten. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid akidah ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan menjauhi Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan sehingga ketauhidan tidak lantas membuat manusia melupakan amal muamalahnya.

Dengan demikian, tauhid menuntut seorang muslim untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar.

Saya yakin, konsep tauhid ini dapat menjadi semacam alternatif di tengah krisis yang melanda bangsa ini. Maka, pertanyaan yang patut dilontarkan, ”Sudah Benarkah Tauhid Kita?”

Wallahu a’lam bish shawwab.


Artikel ini dimuat Juni 2008 di Banjarmasin Post, Kolom Mimbar Jum'at


Tidak ada komentar: