Sabtu, 20 Desember 2008

UU BHP dan ‘Krisis Keterbukaan’

Pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dilakukan tanpa sosialisasi, komunikasi, atau uji publik secara matang telah memicu polemik di kalangan mahasiswa dan pemerhati pendidikan. Hal ini wajar mengingat ada beberapa bagian dari UU ini yang semakin memperberat rakyat dalam menanggung biaya pendidikan serta mengurangi peran penting pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan

Satu hal yang harus diperhatikan dalam pengesahan UU BHP adalah soal kesiapan lembaga pendidikan dengan segenap elemen birokrasi dan kualitasnya dalam mengelola pendidikan secara mandiri. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengesahkan UU BHP dapat berpengaruh pada ketergesa-gesaan semua elemen pendidikan dalam beradaptasi dengan regulasi baru sehingga muncul kemungkinan terjadinya mismanagement dalam pendidikan jika fenomena ini terus berlangsung tanpa follow-up.

Fenomena ketergesa-gesaan ini mungkin dapat dipahami ketika pemerintah hanya memberlakukan BHP kepada perguruan tinggi negeri yang telah memiliki perangkat birokrasi tersendiri. Akan tetapi, bagaimana ketika pemerintah menggeneralisasi pemberlakukan BHP kepada semua perguruan tinggi swasta, bahkan sekolah menengah, yang tidak memiliki perangkat sama seperti perguruan tinggi negeri, disertai ancaman pembubaran lembaga jika tidak memenuhi syarat UU (Pasal 49)?

Faktanya, tidak semua perguruan tinggi dan sekolah memiliki akuntabilitas cukup dalam soal pendanaan. Banyak sekolah, bahkan perguruan tinggi, yang masih mewarisi ‘krisis keterbukaan’ dalam manajemen pendidikan. Hal ini tercermin dalam APBS (Bagi sekolah) yang hanya beredar terbatas di kalangan birokrat sekolah serta guru, atau RKAT (bagi perguruan tinggi) yang tidak dibuat secara transparan dan hanya beredar di kalangan tertentu. Siswa –atau orang tua siswa— dan mahasiswa hanya menerima hasil yang sudah jadi tanpa bisa mengkritisi isi anggaran. Begitu pula dengan laporan kegiatan.

Dalam konteks sekolah, masih belum meratanya prosedur birokrasi yang memuat prinsip good governance and clean government menjadi sebuah faktor krusial. Berbeda dengan perguruan tinggi yang memang melaksanakan pendidikan secara birokratis, aspek kultural dalam hubungan guru-murid tak boleh dilupakan. Jika logika UU BHP yang secara implisit mengakibatkan birokratisasi sekolah diteruskan, hubungan guru-murid akan menjadi lebih birokratis sehingga berpotensi menghilangkan kultur pendidikan yang sampai sekarang masih melekat pada figur sekolah.

Selain itu, sekolah juga sering mengalami krisis transparansi. Kenyataan yang penulis hadapi di sekolah dulu, APBS tak pernah dipublikasikan secara transparan kepada semua elemen, termasuk siswa. Hanya ada beberapa kelompok yang berada di inner circle birokrasi sekolah yang mengakses APBS. Hal ini jelas sangat rawan dengan praktik korupsi. Contoh kasus, seorang Kepala Dinas Pendidikan di sebuah Kota harus ditahan karena praktik-praktik korupsi sejenis.

Sehingga, penulis mengkhawatirkan UU BHP justru akan menjadi salah satu pembuka pintu gerbang korupsi dan komersialisasi pendidikan yang sangat rawan terjadi di era otonomi sekarang. Ketika pemerintah ingin memberi kebebasan penuh kepada semua lembaga pendidikan untuk mengatur rumah tangganya secara mandiri, pemerintah harus terlebih dulu mengatasi krisis keterbukaan yang sering terjadi. Akuntabilitas, transparansi, dan spirit antikorupsi menjadi variabel yang sangat penting dalam kebijakan pendidikan yang diputuskan oleh pemerintah.

Maka, sebelum UU BHP diteruskan menjadi sebuah payung hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, ada satu hal yang harus diperhatikan: krisis transparansi. Semangat penyelenggaraan pendidikan yang transparan, accountable, dan accessible akan menjadi salah satu parameter dalam keberhasilan pendidikan di Indonesia. Bukankah keterbukaan merupakan salah satu variabel moral yang penting dalam pelaksanaan pendidikan?

Tidak ada komentar: