ABSTRACT
This paper aims to analyze the rise of oligarch in post-communism Russia. The dynamics of Russian politics has embraced oligarch as a political forces. The giant businessmen dominate not only the economic environment, but also the political. It becomes a problem when the oligarchs has transformed as new patrons in economic and politics, and even ignited conflicts with former President Putin. This condition should be traced on the environmental construction of oligarch itself. This paper argues that oligarchs rise from the social structure of Russian society and the excess of neoliberalism agenda in Russia. As a historical process, oligarch has been existed since the ancient Rus civilization in early phase of Russian history. It brings a socio-cultural basis of oligarchy in Russia. In the other hand, oligarchy in post-communism Russia built on the impact of neoliberal policies made by Yelsin administration. The privatization which has become agenda in Yelsin’s reform policies brings a bad impact on the rise of the new rich. Later, they transform their existence as giant oligarch which dominates Russian political-economic environment. As a synthesis of those arguments, this paper also argues that there is a structural transformation of Russian Society in present which strengthen the basis of oligarch until the resignation of President Yelsin in 1999.
Keywords: Oligarch, History, Political-Economy, Russia.
Penulis: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]
PRAWACANA
Uni Sovyet memang telah jatuh dua puluh tahun silam. Namun, rejim yang telah menjadi babak sejarah yang cukup panjang bagi Rusia ini tetap menarik untuk menjadi bahan analisis. Terlebih, era baru yang kini tengah berjalan di Rusia diwarnai oleh sebuah fenomena baru: Oligarki bisnis yang memainkan peran-peran politik.
Di kala Rusia “modern” tengah berkutat pada persoalan late capitalism: ekonomi pasar dengan wajah baru dalam politik Sovyet, kita patut mencermati bagaimana sebetulnya oligarki tersebut muncul. Fenomenan oligarki bisnis yang terjun ke dunia politik tentu bukan persoalan yang muncul dengan sendirinya di Rusia, tetapi memiliki konstruksi-konstruksi di belakangnya.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana sebetulnya oligarki bisnis tersebut muncul dalam politik Sovyet? Tentu saja, di era komunisme Sovyet oligarki bisnis tidak dikenal. Satu-satunya saluran aspirasi politik praktis hanya Partai Komunis. Praktis, partai komunis pada waktu itu menjadi patron tunggal. Negara menjadi patrimonial karena kuasa negara telah mendeterminasi semua aspek kehidupan.
Pada tahun 1987, Mikhail Gorbachev terpilih sebagai Presiden Uni Sovyet. Presiden yang terkenal dekat dengan pihak Barat ini mulai mengajukan usulan-usulan reformasi politik yang kelak menjadi awal kejatuhan komunisme Sovyet. Dua kebijakannya yang terkenal adalah perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan). Kebijakan tersebut menandai era baru Sovyet yang terbuka terhadap perubahan, menerima pasar, dan berbeda dengan rejim sebelumnya. Implikasinya, Gorbachev harus menerima resistensi dari pendukung komunisme Sovyet yang mengantarkan negara tersebut pada sebuah krisis politik. 1990, Sovyet bubar dan digantikan oleh Federasi Rusia.
Pergantian rejim tentu menandai babakan sejarah Baru. Boris Yelsin, orang dekat Gorbachev yang kemudian menggantikan tampuk kepemimpinannya sebagai Presiden Rusia, menawarkan pendekatan baru atas kapitalisme bagi Rusia yang baru saja berpindah tangan. Ia menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar secara radikal dengan menganut model kebijakan yang disebut oleh John Williamson sebagai the Washington consensus[2]. Praktis, sejak saat itu dimulailah era baru ekonomi yang berbasis pasar.
Akan tetapi, penerapan ekonomi pasar tersebut juga diikuti oleh munculnya sebuah kekuatan baru dalam politik Rusia: Oligarki. Kelompok-kelompok bisnis yang dengan cepat tumbuh pasca-kejatuhan Sovyet secara cepat pula tumbuh menjadi kekuatan politik. Kaum-kaum usahawan yang pandai memutar alat keuangan menguasai sumber-sumber daya strategis di Rusia.
BBC memberitakan bahwa selama 15 tahun, hanya segelintir grup bisnis raksasa Rusia yang menguasai aktivitas perekonomian (BBC, 27/7/2004). Ironisnya, keberadaan oligarki ini juga berimplikasi pada praktik usaha yang tidak sehat, bahkan menjurus pada praktik korupsi seperti penghindaran pajak, penipuan, dan lain sebagainya[3]. Tentu ini bukan dampak yang diinginkan dari kapitalisme yang ditanamkan.
Sehingga, akan muncul beberapa pertanyaan kritis. Mengapa oligarki muncul? Bagaimana relasi antara oligarki dan kapitalisme di Rusia? Dan mengapa oligarki di Rusia cenderung koruptif? Artikel ini mencoba untuk mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam kerangka teori oligarki dan politik Rusia.
OLIGARKI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF: TINJAUAN PUSTAKA
Istilah oligarki untuk melihat fenomena-fenomena politik telah digunakan sejak satu abad silam. Pada tahun 1911, Robert Michels, seorang sosiolog Perancis memperkenalkan istilah “hukum besi oligarki” untuk melihat fenomena partai politik di Eropa pada waktu itu. Menurut Michels, partai politik yang mempunyai kecenderungan struktur kuat –seperti partai kader— akan memiliki kecenderungan untuk bertindak oligarkis, atau memusatkan kekuasaan hanya pada segelintir elit yang berada di pucuk kekuasaan[4]. Tendensi tersebut karena kepemimpinan dalam struktur organisasi yang hierarkis akan membuat para elit yang beraa di pucuk kekuasaan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan mereka (Michels, 1911).
Fenomena oligarki juga dapat dibaca dari analisis mengenai the iron triangle dalam politik Amerika Serikat abad 19 hingga awal abad 20. Iron triangle yang terdiri atas, mengutip Pulitzer dalam statement-nya di New York Times yang dikutip oleh Charles Grasty (18/1/1919), yaitu the bourbonism of politicians, the materialism of industrial and commercial circles, dan the militarism of professional soldiers[5]. Tiga kutub yang mendominasi pengambil keputusan di Amerika Serikat ini di kemudian hari dikenal sebagai military-industrial complex (MIC). Pola relasi kekuasaan ini dinilai sebagai pola yang oligarkis karena memusatkan kekuasaan hanya pada segelintir elit.
Studi tentang oligarki tersebut kemudian banyak menghasilkan studi lain yang lebih kontemporer. Hadiz dan Robison (2004) menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto[6]. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. (Hadiz dan Robison, 2004).
Studi lain yang juga berkutat pada tema oligarki dilakukan oleh Nimrod Raphaeli ketika berbicara soal Saudi Arabia. Raphaeli melihat fenomena penguasaan sumber daya ekonomi dan keuangan oleh elit monarki Saudi[7]. Dalam struktur politik monarkis Saudi Arabia, posisi istana memang sangat sentralistik dan berkuasa. Pemusatan kekuasaan ini tidak hanya terjadi secara politik, tetapi menjalar pada penguasaan kapital oleh “pangeran” dan kerabat Raja (Raphaeli, 2003: 28).
Dalam konteks Rusia, oligarki terbentuk dari sebuah aliansi bisnis raksasa yang mendominasi aktivitas perekonomian Rusia[8]. Oligarki diyakini muncul setelah Presiden Boris Yelsin melakukan shock therapy bagi kapitalisme di Rusia yang baru saja lepas dari rejim komunisme Sovyet (Fachrurodji, 2005). Oligarki eksis karena dukungan struktur politik, yang timbul akibat proses swastanisasi di Rusia. Akibatnya, proses politik yang menggunakan instrumen demokrasi menjadi terwarnai oleh oligarki. Cerita ini tak hanya terjadi di Rusia, tetapi juga di Ukraina (Aslund, 2005).
Dari beberapa literatur di atas, disimpulkan bahwa oligarki dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi politik, oligarki merupakan pemusatan kekuasaan pada segelintir elit yang menjalankan urusan publik dengan mekanisme mereka. Hal ini dapat dilihat dari teori Michels tentang “hukum besi oligarki” atau cerita mengenai rejim otoriter seperti Saudi Arabia atau Indonesia era Orde Baru. Kedua, dari sisi ekonomi-politik, oligarki merupakan relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara kaum industriawan dan elit politik yang saling menguntungkan secara timbal-balik. Cerita mengenai the iron triangle di Amerika Serikat atau oligarki bisnis Rusia masuk dalam kategori ini.
METODOLOGI, PENDEKATAN, DAN ARGUMEN
Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab sebuah pertanyaan utama: “Mengapa oligarki Rusia muncul pasca-kejatuhan Uni Sovyet?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa teori dan pendekatan yang digunakan.
Paper ini berkutat pada pemaparan oligarki sebagai basis konseptual dan unit analisis. Sebagai basis konseptual, oligarki dipahami sebagai relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara kaum bisnis dan elit politik yang saling menguntungkan. Relasi kekuasaan ini memunculkan dampak-dampak politik dan ekonomi pada politik Rusia, sehingga oligarki Rusia menjadi sebuah kekuatan dalam dinamika politik Rusia.
Argumennya, kemunculan oligarki dapat dipahami dari dua pendekatan. Pertama, dari sisi historis, kemunculan oligarki dapat dilacak dari eksistensi kaum Borjuis Rusia yang masuk sebagai elemen penting dalam struktur sosial-politik Rusia sejak sebelum Sovyet berdiri[9]. Keberadaan borjuasi, Tsar, dan tuan-tuan tanah (feudal) merupakan bukti dari sudah eksisnya oligarki sejak sebelum era Sovyet (Fachrurodji, 2005: 116). Ketika komunisme berkuasa di Rusia, oligarki tersebut digantikan oleh partai komunis yang menjadi saluran tunggal bagi ekspresi ekonomi dan ekspresi politik rakyat Rusia. Akan tetapi, ketika rejim komunisme runtuh, oligarki tersebut mereorganisasi diri dalam wujudnya yang berbeda. Dengan pendekatan ini, oligarki diyakini memiliki basis kultural dalam sejarah Rusia.
Kedua, dari sisi ekonomi-politik, kemunculan oligarki dilihat dari proses transisi demokrasi yang di-drive oleh kepentingan-kepentingan bisnis melalui jejaring institusi keuangan internasional dan negara itu sendiri. Penggunaan kapitalisme sebuah sebuah “shock doctrine” –meminjam istilah Naomi Klein— tidak akan terjadi begitu saja tanpa peran erat dua elemen ini. Institusi keuangan supranasional seperti World Bank atau IMF masuk untuk memberi resep dan suntikan ekonomi kepada negara yang bersangkutan. Di sisi lain, negara sebagai pelaksana teknis mengejawantahkan resep kebijakan tersebut di negaranya. Inilah yang disebut sebagai “The Washington Consensus”.
Dengan dua pendekatan tersebut, paper ini berargumen bahwa oligarki tidak lahir begitu saja dari kejatuhan Sovyet, tetapi dikonstruksi oleh lingkungan dari lokus politik Rusia. Paper ini melihat kemunculan oligarki dari dua pendekatan: historis dan ekonomi-politik.
OLIGARKI DAN STRUKTUR MASYARAKAT RUSIA: ANALISIS HISTORIS
Argumen pertama dari paper ini menyebutkan bahwa oligarki adalah wajah baru dari struktur sosial dan politik Rusia pra-Sovyet yang bertransformasi. Untuk menguji argumen tersebut, paper ini akan membaca kembali sejarah sosial Rusia era Tsarism.
Menurut Fachrurodji (2005: 10), struktur masyarakat Rusia di awal-awal pembentukan identitasnya adala struktur masyarakat yang feudal[10]. Rusia terbentuk ketika Ryurik memimpin kaum Rus Kuno pada tahun 862 M dan berkedudukan di Novgorod[11]. Era ini menandai masa kepangeranan (Knyaz) dalam Rus Kuno yang menandai berdirinya identitas Rusia. Struktur sosial yang berdiri pada waktu itu antara lain Knyaz (pangeran) sebagai pelaku tertinggi, disusul oleh Boyar (kaum bangsawan), Druzhniki (bangsawan), Gradskie Lyudi (penduduk kota), Smerdy (pemilik lahan), Zakupy (petani yang meminjam faktor produksi kepada orang lain), hingga Kholopy (buruh tani). Pucuk kepemimpinan terbatas di kalangan Knyaz dan Boyar[12]. Struktur sosial ini melambangkan jenis oligarki dalam konteks masyarakat feodal dan menjadi sebuah struktur baku di masyarakat Rusia hingga abad pertengahan.
Di abad pertengahan, struktur sosial Rusia mengerucut. Dalam konteks masyarakat yang masih feodal, meminjam catatan Schmidt (1960: 24), ada tiga kelas utama dalam struktur masyarakat Rusia. Pertama, bangsawan “muzi” yang mendominasi kekuasaan ekonomi, sosial, hingga politik. Kedua, orang biasa atau l’udi dari desa dan kota dengan basis pekerjaan pertanian dan perdagangan. Ketiga, kaum kholopy yang bekerja sebagai budak dan mengabdi untuk kelas di atasnya. Pada abad ke-16, dimulailah era Tsar yang dipimpin Ivan IV. Secara de facto, pemilahan kekuasaan secara oligarkis masih tetap eksis pada era ini.
Era abad ke-19 menjadi penanda keretakan dari oligarki. Kaum bangsawan dan pemilik lahan (smerdy) telah sejak lama menjalin kekuasaan yang oligarkis atas budak (kholopy). Kereteakan hubungan ini diawali oleh reformasi besar-besaran dari Tsar pada 1861 dengan membebaskan budak-budak yang selama ini menjadi tumpuan kaum smerdy dalam mengambil keuntungan (Wade, 2005: 3). Keretakan oligarki ini kemudian bertambah skalanya ketika Rusia beralih meniadi masyarakat industrial pada abad 20[13].
Pada awal abad ke-20, Rusia telah memasuki era industrial. Era ini merupaka peralihan dari sistem “pertanian” yang mengandalkan tenaga manusia menjadi sistem “industry” yang menggunakan mesin dan manusia menjadi operator mesin-mesin tersebut[14]. Era ini melahirkan term proletariat dan borjuis, dengan pola relasi eksploitatif (Marx & Engels, 1848). Kelas pekerja di Rusia dengan cepat menerima ide-ide Marxis dan menjadikannya alat bergerak untuk melawan eksploitasi. Akan tetapi, pada era itu struktur kekuasaan masih oligarkis. Sistem Tsar masih eksis walaupun keberadaannya sudah kehilangan makna karena basis oligarkinya yang paling dekat, yaitu pemilik lahan, tidak lagi mendominasi sejak masuknya industri. Kaum proletariat kemudian mengambil peran penting dalam revolusi 1917.
Persebaran ide-ide Marxis di Rusia berimplikasi politik pada munculnya gerakan Buruh. Pada tahun 1917, ketegangan antara Tsar dan buruh yang menggalang aliansi dengan petani memuncak. Revolusi 1917 mengantarkan kaum Buruh pada pucuk kepemimpinan Sovyet dan dengan demikian mengakhiri era Tsar. Oligarki berpindah tangan: dari kaum bangsawan ke kaum buruh. Ituah revolusi Bolshevik.
Akan tetapi, struktur sosial baru juga tidak jaub berbeda dengan struktur sosial sebelumnya. Jika pada era sebelumnya oligarki terbentuk antara petani (pemilik lahan) dengan kaum bangsawan, pasca-naiknya kaum Bolshevik ke puncak kepemimpinan, oligarki berpindah tangan ke kaum Buruh. Logika pemusatan kekuasaan ke segelintir elit tetap terjaga karena elit pengambil keputusan dipusatkan pada partai komunis. Dengan struktur yang ketat dan top-down, lembaga politburo di partai memerintah dengan tangan besi. Artinya, tesis Robert Michels soal organisasi politik yang modern menjadi relevan: Who says organization, says oligarchy (Michels, 1911: 15).
Oligarki yang tetap terjaga tersebut kemudian bertahan sampai akhir abad ke-20. Penguasaan sumber daya ekonomi sepenuhnya dilakukan oleh negara, yang kemudian membagikannya kepada rakyat sesuai cita-cita komunisme Lenin. Peran negara yang begitu sentral dan kuat menjadi ciri khas komunisme Sovyet.
Ketika Gorbachev mengakhiri komunisme dengan isu glasnost dan perestroika, banyak yang percaya bahwa pada saat itu pulalah Gorbachev mulai membuka pintu masuk bagi kapitalisme di Rusia. Hal ini bukan tanpa alasan. Selama tujuh puluh tahun Sovyet berada dalam ketertutupan ekonomi, dan kondisi yang ada juga tak seideal yang dibayangkan oleh para pendiri komunisme. Tafsir Lenin dan Stalin terhadap komunisme mulai coba didobrak oleh Gorbachev. Era ini menandai akhir oligarki dari partai komunis.
Goldman (2009) percaya bahwa di akhir era rejim Sovyet, terjadi disparitas yang sangat kuat di kalangan warga Rusia. Disparitas ini, menurut Goldman, terjadi bukan dalam parameter penguasaan faktor produksi, tetapi pada kedekatan mereka dengan struktur partai yang oligarkis. Goldman mengilustrasikan, “Senior members of the communist party for example, had the use of government mansions, chauffeurs and access to exclusive shops where luxury and even basic goods, such as the sugar and meat not always available to the general public, were set aside at heavily subsidized prices”[15]. Artinya, oligarki berdampak pada disparitas ekonomi (Goldman, 2009: 7).
Rejim komunisme runtuh pada 1991 dan Boris Yelsin membawa Sovyet kea rah pembaruan ekonomi-politik Rusia. Yelsin menerapkan The Washington Consensus dengan kebijakan swastanisasi asset negara dan program “Loan for Shares” bagi para pengusaha Rusia (Goldman, 2009). Program-program tersebut menjadi celah bagi tumbuhnya perusahaan yang bergerak di bidang industri ekstraktif dan secara cepat menjadi kekuatan baru dalam bidang ekonomi. Keberadaan mereka pada dasarnya memiliki basis sosial, karena rejim komunisme Sovyet tidak menghilangkan kaum industriawan secara total, hanya membuat mereka tunduk pada peraturan negara dan secara penuh dikontrol negara. Ketika negara tidak lagi kuat, kaum industriawan yang lahir dari sebuah proses sejarah yang panjang dalam struktur sosial masyarakat Rusia tersebut kemudian bertransformasi menjadi oligarki. Beberapa pengusaha energy dan minyak seperti Roman Abramovich dan Mikhail Khordokovsky tampil sebagai pemegang kuasa ekonomi utama (Goldman, 2009: 9). Pada titik inilah oligarki mulai berkembang di Rusia[16].
Dengan demikian, analisis tersebut mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa secara historis, keberadaan oligarki sudah memiliki fondasi yang kuat di Rusia. Sejak era Rus Kuno hingga pasca-Sovyet, struktur sosial masyarakat dipilah atas pemilikan tanah dan faktor produksi, dan pola relasi kekuasaan dibasiskan pada hal tersebut. Akibatnya, hingga sebelum era Sovyet, Tsarisme masih kuat. Ketika era Sovyet, oligarki berpindah tangan ke partai komunis. Pasca-Sovyet, kaum industriawan yang tersubordinasi oleh sistem bangkit dan membangun jejaring oligarkinya, termasuk pada kekuasaan. Oligarki kemudian dipandang sebagai bagian sejarah yang secara laten berjalan di Rusia.
EKSES NEOLIBERALISME? ANALISIS EKONOMI-POLITIK
Jika dalam kerangka sejarah oligarki dipahami sebagai sebuah proses yang niscaya, karena struktur masyarakat Rusia yang memang bertipe feodal hingga komunisme berkuasa, bagaimana halnya dengan pasca-Sovyet? Salah satu kekurangan dari analisis sejarah terletak pada pembahasan Rusia pasca-Sovyet. Perubahan politik yang cepat pada tahun 1991 tidak hanya membuat sebuah rejim politik baru, melainkan juga membawa arah baru dalam kebijakan ekonomi-politik Rusia yang berpengaruh tajam pada proses politik ke depan.
Neoliberalisme kerap diidentikkan dengan The Washington Consensus, sebuah pola kebijakan yang merujuk pada paham neo-institusionalisme dalam Hubungan Internasional. The Washington Consensus diderivasikan dari kebijakan lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau WTO. Kebijakan tersebut digunakan untuk memberi resep “krisis ekonomi” kepada negara-negara yang baru saja menjalani transisi menuju demokrasi atau perubahan politik. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh John Williamson (1990) dan secara sistematis membawa arus perubahan dalam tata ekonomi dan politik dunia[17]. Tiga ikon utama Washington Consensus, yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi, menjadi sebuah tawaran solusi untuk mengatasi krisis keuangan dan kesulitan ekonomi di berbagai negara, terutama negara berkembang (Stiglitz, 2002).
Salah satu kebijakan “Washington consensus” yang diterapkan di Rusia adalah privatisasi. Naomi Klein menyebutnya sebagai “bonfire of young democracy”. Kemunculan kapitalisme tak dapat dilepaskan dari kebijakan loan for shares dan privatisasi asset negara kepada publik (pasar). Kebijakan loan for shares dimaksudkan untuk mengatasi kelesuan usaha warga Sovyet akibat transisi dari komunisme ke demokrasi[18]. Untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi, pemerintah mencanangkan kebijakan dibukanya pintu bank-bank swasta untuk memberikan pinjaman kepada pengusaha (Goldman, 2009, Fachrurodji, 2005). Pinjaman itu kemudian membuka peluang bagi pebisnis untuk menjalankan roda usahanya demi pertumbuhan ekonomi[19].
Selain itu, pemerintah Yelsin juga menerapkan kebijakan privatisasi asset negara. Lahan investasi kepada publik dibuka seluas-luasnya. Logika yang digunakan adalah logika ekonomi pasar neoliberal, bahwa negara mesti menyerahkan kedaulatannya kepada pasar yang mengorganisasi dirinya sendiri (the invisible hand). Ignatius Wibowo mencatat bahwa neoliberalisme dicirkan dengan khas oleh fenomena “Emoh Negara”. Peran negara sedemikian mungkin diabdikan untuk kepentingan pasar. Sehingga, kebijakan publik yang dihasilkan juga mesti sesuai dengan kepentingan para pebisnis yang bertransaksi di pasar. Gagasan ini disebut oleh Priyono (2003) sebagai homo economicus. Dalam pandangan Priyono, adanya homo economicus mengimplikasikan relasi-relasi manusia sebagai relasi transaksional, ekonomis; dan untuk mencapai kemakmuran individu. Oleh karena itu, pelbagai bidang kehidupan mesti diatur berdasarkan konsepsi-konsepsi ekonomi pula[20].
Kebijakan privatisasi di Rusia tak terlepas dari shock doctrine yang terlembaga. Klein (2005) menulis bahwa kebijakan yang diambil untuk mendorong kapitalisme sebagai shock doctrine di Rusia sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran mazhab Chicago yang dibawa oleh Milton Friedman dan kawan-kawan. Konsep kebijakan didesain dengan membentuk tim ahli yang basis konseptual kebijakan mereka merujuk pada neo-institusionalisme Hayek dan Friedman. Kebijakan pertama Yelsin adalah kebijakan harga secara liberal. Klein (2007: 229) menyebutnya dengan istilah "the liberalization of prices will put everything in its right place”[21]. Dengan harga yang diatur melalui mekanisme pasar, pengaturan ekonomi akan sejalan dengan kepentingan pasar. Dan dalam basis konseptual neoliberalisme, ini akan mendorong pertumbuhan.
Akan tetapi, tentu saja kebijakan ekonomi pasar memerlukan stimulus berupa iklim usaha yang kompetitif, dan para pengusaha Rusia perlu distimulus untuk berinvestasi. Untuk itu, pada awal kepemimpinannya Yelsin mengeluarkan cheque privatisasi dan membagikannya kepada semua penduduk Rusia (Fachrurodji, 2005). Tujuannya adalah agar mereka dapat menggunakannya untuk membeli saham dari perusahaan negara dan dengan demikian mendorong iklim kompetisi bisnis[22].
Implikasi negatifnya, pembagian kupon privatisasi tidak menguntungkan semua pihak. Pihak yang menggunakan kupon tersebut tentu adalah pihak yang mempunyai modal besar. Artinya, mereka yang tidak punya modal kuat akan sangat mudah tergelincir dalam bisnis privatisasi tersebut. Dengan demikian, kebijakan privatisasi tidak hanya mendorong iklim kompetisi, tetapi juga menghasilkan “orang kaya baru” (novie russkie) di Rusia[23].
Dan hal tersebut terjadi di Rusia tanpa adanya redistribusi kesejahteraan dan pemerataan pendapatan ke semua warga Rusia Akhirnya, bermunculanlah nama-nama pebisnis raksasa yang memiliki modal kuat dan penghasilan yang berlipat ganda, seperti Boris Berezovsky, Khodordovski, atau Rem Vyakhirev. Mereka menjadi oligarki karena memanfaatkan fasilitas negara untuk menggandakan kepentingan bisnis mereka. Tentu saja, keuntungan yang besar yang mereka dapatkan adalah masuknya mereka sebagai salah satu entitas yang mempengaruhi dinamika politik Rusia, paling tidak sampai Yelsin mundur sebagai Presiden Rusia.
Artinya, jika dibaca dari logika dan analisis di atas, oligarki Rusia pasca-Sovyet muncul sebagai ekses dari kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan di Rusia. Alih-alih membawa kesejahteraan, kapitalisme yang di-drive oleh shock doctrine justru menimbulkan kelompok oligarki yang mendominasi ekonomi-politik Rusia. Keberadaan mereka tak dapat terlepaskan dari seting kebijakan Washington Consensus seperti liberalisasi perdagangan, kebijakan fiskal, atau privatisasi asset negara. Sehingga, kapitalisme jika tak terkelola dengan peran negara yang kuat justru hanya akan menghasilkan oligarki bisnis dan politik yang menggurita.
KESIMPULAN DAN SINTESIS
Oligarki bisnis yang menjadi kekuatan politik di Rusia adalah fenomena yang muncul pasca-kejatuhan Sovyet di akhir abad ke-20. Artinya, oligarki merupakan fenomena transisional yang sebetulnya hanya “efek samping” dari tata kelola negara pascakomunisme.
Pemaparan di atas sampai pada dua kesimpulan. Pertama, oligarki sebagai sebuah fenomena penguasaan sumber daya ekonomi di Rusia sebenarnya bukan fenomena baru. Sejak era Rus Kuno, struktur sosial masyarakat Rusia mengenal wajah oligarki dengan istilah yang berbeda, dan dengan balutan sistem feodal yang stratifikatif. Dengan demikian, ketika oligarki muncul dalam bentuknya sebagai elit-elit bisnis dan politik Rusia, ada basis sosial yang mendukung eksistensinya dalam politik Rusia.
Kedua, dalam konteks Rusia pascakomunisme, oligarki merupakan ekses dari kebijakan ekonomi neoliberal yang coba diterapkan secara radikal di Rusia pada era Presiden Boris Yelsin. Di samping memiliki basis sosial dan sejarah, oligarki juga dilahirkan dari dampak neoliberalisme berupa privatisasi asset negara dan liberalisasi pasar. Sistem ekonomi pasar tidak hanya mendorong iklim usaha yang kompetitif, tetapi juga mendorong penguasaan sumber daya ekonomi oleh para kapitalis baru yang menguasai industri Rusia.
Jika dua pendekatan tersebut disintesiskan, oligarki Rusia merupakan konstruksi dari lingkungan sejarah dan ekonomi-politik. Oligarki bukan sebuah fenomena yang lahir begitu saja dari transisi demokrasi Rusia, tetapi lebih merupakan dampak perubahan struktur masyarakat Rusia. Kita dapat menyimpulkan bahwa struktur masyarakat Rusia pada saat ini sedang bertransformasi: dari komunisme menjadi poskomunisme. Pada titik inilah oligarki menampakkan dirinya. [*]
DAFTAR PUSTAKA
Åslund, Anders. Comparative Oligarchy: Russia, Ukraine and the United States. (Warsawa: Center for Social and Economic Research, 2005.)
Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Fraser, Hugh. “Russia’s Oligarch: The Risky routes to riches”. British Broadcasting Channel, July 27, 2004.
Graty, Charles. “Forces at War in Peace Conclaves”. New York Times, January 17, 1999.
Goldman, Marshall A. “It is not Easy Being an Oligarch”. Russian Analytical Digest, July 2009.
Guniev, Sergei dan Konstantin Sonin. Dictators and Oligarchs: A Dynamic Theory of Contested Property Rights. Paper presented at ISNIE Conference (http://ssrn.com/abstract=983908).
Klein, Naomi. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. (New York: Metropolitan Press, 2007).
Michels, Robert. 1911. Political Parties: A Sociological Study of Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Collier.
Marx, Karl dan Frederich Engels. 1848. The Communist Manifesto. The Marxist publisher (http://www.marxists.org/)
Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono (eds.) Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras, 2003).
Raphaeli, Nimrod. “Saudi Arabia: A Brief Guide to Its Politics and Problems” Middle East Review of International Affairs, Vol. 7, No. 3 (September, 2003).
Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004)
Stiglitz, Joseph. Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran Pent.: Darmawan Triwibowo. (Jakarta: INFID, 2002).
Wade, Rex A. The Russian Revolution, 1917. Cambridge: Cambridge University press.
CATATAN KAKI
[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. NIM 08/267465/SP/22916. Paper ini merupakan tugas pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Politik & Pemerintahan Rusia.
[2] Dikutip dari Joseph Stiglitz. 2002. Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran (Pent.: Darmawan Triwibowo). Jakarta: INFID, diakses melalui versi .pdf pada situs http://www.dadangsolichin.com/ .
[3] Fraser, Hugh. “Russia’s Oligarch: The Risky routes to riches”. British Broadcasting Channel, July 27, 2004.
[4] Michels, Robert. 1911. Political Parties: A Sociological Study of Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Collier.
[5] Graty, Charles. “Forces at War in Peace Conclaves”. New York Times, January 17, 1999. Retrieved from http://query.nytimes.com/mem/archive-free/pdf?_r=1&res=9407E1D71339E13ABC4052DFB7668382609EDE&oref=slogin
[6] Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004)
[7] Raphaeli, Nimrod. “Saudi Arabia: A Brief Guide to Its Politics and Problems”.
[8] Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
[9] Ibid. pp. 116.
[10] Ibid. pp. 10.
[11] Ibid. pp. 12.
[12] Ibid. pp. 22.
[13] Wade, Rex A. The Russian Revolution, 1917. Cambridge: Cambridge University press.
[14] Marx, Karl dan Frederich Engels. 1848. The Communist Manifesto. Retrieved from http://www.marxists.org/
[15] Goldman, Marshall A. “It is not easy Being an Oligarch”. Russian Analytical Digest, July 2009.
[16] Ibid pp. 9.
[17] Stiglitz. Joseph.. Op. cit.
[18] Goldman, Marshall A.. Op. cit.
[19] Fachrurrodji, A.. Op. cit. pp. 201.
[20] Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono (eds.) Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras, 2003).
[21] Klein, Naomi. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. (New York: Metropolitan Press, 2007). pp. 229.
[22] Fachrurrodji, A. op. cit. pp. 201.
[23] Ibid.
8 komentar:
Hey Hey, I'm a newby. Better had say howdy.
Take care and Thankyou
(sorry if the wrong thread to put this post)
Tulisan yg sangat Ilmiah.. Terimakasih
analisanya bagus tentang munculnya berkuasa pasca-komunisme Rusia. Terima kasih. salam dari Paket Haji Plus 2012/2013
Hi, I desire to subscribe for this blog to take hottest updates, so where can i
do it please assist.
My website Sidney Crosby Black Jersey
Thanks a lot for sharing this with all people you actually realize what you are talking approximately!
Bookmarked. Please also talk over with my web site =).
We will have a link trade contract among us
Review my homepage; Christian Louboutin UK
Wonderful items from you, man. I've bear in mind your stuff prior to and you are simply extremely excellent. I actually like what you've
got here, certainly like what you're stating and the way during which you are saying it. You make it entertaining and you still take care of to stay it sensible. I can't wait to read much more from
you. This is really a tremendous site.
Feel free to surf to my weblog: Nike Air Jordan
Can I just say what a comfort to find someone who actually understands what they're discussing on the net. You actually understand how to bring an issue to light and make it important. More and more people ought to check this out and understand this side of your story. I can't believe you are not more popular since
you definitely have the gift.
My web page ... Air Max Pas Cher
My family every time say that I am wasting my time here at net, except I know I am getting experience
every day by reading such nice content.
Stop by my web blog: Louis Vuitton Handbags
Posting Komentar