Senin, 22 Desember 2008

Konstruksi Politik pada Era Dinasti Umayyah : Perspektif Sejarah


A. Pendekatan Sejarah dalam Studi Politik Islam : Sebuah Pendahuluan


Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.


Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior (Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis, sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang melatarbelakanginya.


Dalam konteks politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan sosial-politik pada era tersebut (Ralliby, 1960)2.


Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi kesinambungan antara sejarah dan masa depan.


Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak dalam peristiwa tersebut. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa tersebut, yaitu peristiwa tahkim3


Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah. Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa “history is story of great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang besar)4.


Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu sentralistik serta istana-sentris.


Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.


Dalam hal ini, kami akan memfokuskan diri untuk membahas kontruksi sosial-politik pada era Umayyah yang berlangsung dari tahun 661 M – 750 M.


B. Konstruksi Kekuasaan Dinasti Umayyah


Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.


Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.


Ada beberapa implikasiyang menyertai konstruksi monarki ini.


Pertama, berubahnya pola orientasi kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya. Hal ini berbeda dengan kondisi di era Khulafaur Rasyidin, ketika ternyata sanggahan seorang ibu kepada Khalifah Umar berkaitan dengan kebijakan dan anjuran untuk menurunkan mahar nikah dari para pemuda berhasil membuat Khalifah Umar merevisi kebijakannya. Ketika itu, Al-Qur’an dan perintah Rasulullah menjadi sumber kebijakan yang paling utama.


Kedua, sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan (Ralliby, 1963: 220)5. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.


Ketiga, berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.


Keempat, kekuasaan terpusat hanya pada sekeliling istana (istana-sentris). Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.


C. Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan


Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.


Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.


Gerakan pertama adalah gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.


Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.


Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.


Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.


Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.


Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena yang cukup menarik.


Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar.


Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.


D. Konstruksi Politik Luar Negeri dan Ekspansi Dakwah



Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani Umayyah.


Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran yang begitu kuat.


Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani Umayyah.


Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.


Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.


Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (Ridha, 2004: 85)6.


Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.


Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas).

Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (Bandung: Rosda, 2005, cetakan ketiga).

Ralliby, Osman. Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintag, 1963).

Carlyle, Thomas. On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, (London, Oxford University Press, 1963).

http://id.wikipedia.org/wiki/bani_umayyah

Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq: Buku Tertua tentang Sejarah Nabi Muhammad, pent. Dewi Candraningrum (Surakarta: Muhammadiyah University Press).

Manshur, Fadhil Munawwar. Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Jurnal Humaniora Vol. XV, No. 2/2003.

Basthoni, Hepi Andi. Belajar dari Dua Umar (Bogor: Al-Bustan, 2005)

Ridha, Abu. Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004).



Catatan Kaki


1 Miriam Budiardji, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas), pp. 17. lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (Bandung: Rosda, 2005, cetakan ketiga). pp. 209.

2 Osman Ralliby, Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintag, 1963). Ibnu Khaldun menekankan pentingnya historiografi sebagai instrument analisis politik pada sebuah studi sejarah, dalam hal ini era-era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah

3 Bersumpah dan berhukum kepada Allah untuk menghentikan peperangan. Cerita dijelaskan pada Bab II.

4 Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History, 1963, dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, op. cit. pp. 167.

5 Osman Ralliby, op.cit. pp. 220. Istilah ini dikutip dari muqaddimah Ibnu Khaldun yang menganalisis pemusatan kekuasaan sebagai tren kekuasaan pada era Dinasti Umayyahdan dinasti Abbasiyah sebagai peneguhan ‘ashabiyah yang memang menjadi tumpuan kekuatan utama di dinasti tersebut.

6 Abu Ridha, Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004), pp. 85.

4 komentar:

Azhar Irfansyah mengatakan...

sejarah terdiri dari proses jangka pendek. ujar John Maynard Keyness.

saya selalu takut kalau-kalau fikiran tentang kejayaan islam selalu terbentur pada Khilafah, Khilafah, dan Khilafah..

masa jaya Khilafah itu berabad-abad yang lalu, sekarang logikanya sudah berbeda. institusi kekuasaan sudah tidak seperti dulu lagi dalam cara kerja dan penguasaannya.

saya harap teman-teman yang mengusung islamisme belajar berdilaektika dari tk lagi.

wassalam.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar mengatakan...

ini bukan romantisme, bung...

kita dapat mengambil ibroh dari sejarah, karena sejarah telah memperlihatkan bagaimana nasib mereka yang berbuat kerusakan...

sejarah dan politik selalu berkaitan... Sejarah tak selalu sesuai dengan kenyataan di depan, tetapi kita dapat menjadikan sejarah sebagai tolak ukur, sebagai perangkat analisis...

Memang benar, kita tidak boleh terjebak dengan romantisme sempit, kita tak boleh terbutakan oleh realitas masa lampau yang kadang memang tak relevand dengan sekarang, tetapi, seperti kata Bung Karno, jangan melupakan sejarah. Ambillah sejarah, renungkanlah, petik intisarinya, dan pilahlah mana yang relevan dengan sekarang..

Maaf, saya bukan hegelian atau keynesian, saya tak mengerti dengan istilah dialektika anda... cukuplah Allah sebagai penolong...

Azhar Irfansyah mengatakan...

haha,..

siapa bilang saya ini hegelian atau keynessian? saya hanya bersepakat di beberapa aspek saja.

-history is set of a lies agreed upon- pernah dengar? belum? makanya hati-hati mengutip sejarah.. yang bilang Napoleon Bonaparte. ada di mading HI.

saya bukan Napoleonis loh..!

ya, ya.. saya setuju dengan istilah mengabil ibroh dari sejarah.. tapi jangan kemudian terkesan ingin menaiki mesin waktu lalu kembali ke zaman rikiplik.

mempelajari sejarah - bagi saya - berarti melihat proses tesis dan penegasiannya, antitesis.. lalu kita membuatnya menjadi sintesis. agar dunia yang kita tinggali ini menjadi lebih baik.. itulah - bagi saya loh.., ada beragam cara yang lain- caranya menjadi khalifah di muka bumi..

nah, sesuai pernyataan anda di paragraf ke tiga.. saya menganggap bahwa sudah tidak relevan lagi untuk menjiplak-ulang sistem khilafah seperti dulu lagi ke masa sekarang. tanya saja pada penduduk arab di masa kebangkrutan ottoman!

pada akhirnya mereka membutuhkan demokrasi, nasionalisme, dan isme-isme lain..

nah, kan saya sudah bilang untuk belajar dialektika dari tk lagi..

saya yang banyak omong ini juga paling-paling baru tk b..
haha..!

hati-hati (didepan anda) jebakan simbol!

wassalam.

nb: kapan2 bolehlah berdiskusi di musolah.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar mengatakan...

“Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanan dimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)

Sah-sah saja Napoleon berkata demikian, bahwa sejarah adalah kumpulan kebohongan...

Tetapi mohon maaf bung, saya tidak menggunakan tesis Napoleone untuk berbicara tentang sejarah Islam. Apa yang dikatakan oleh Napoleone sebetulnya telah menjadi bahan pemikiran Ibnu Khaldun, yang dalam Muqaddimahnya telah menjelaskan pentingnya historiografi secara benar untuk menghindari kekeliruan periwayatan sejarah.

Sejarah bisa saja menjadi sebuah kebohongan yang turun-temurun jika sejarawan tidak dibekali oleh ilmu yang cukup. Oleh karena itulah, sejarah peradaban Islam menekankan pentingnya historiografi serta proses "tabayyun".

Apakah Khilafah tidak relevan? Jangan terburu-buru dulu, Bung. Saya tak ingin berkomentar apakah khilafah itu relevan atau tidak. Karena, persoalan yang paling penting bukan memperdebatkan apakah khilafah itu relevan atau tidak, namun bagaimana cara kita menginternalisasi nilai Islam ke seluruh aspek kehidupan kita.

Tanpa memperdebatkan khilafah pun, tugas kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. Masalah-masalah umat menunggu penyelesaian.

Wah, sekali lagi, saya tidak memahami konsep dialektika Hegel yang anda tawarkan. Mungkin saya terlalu bodoh untuk belajar berdialektika. Belajar bagaimana menajaga konsistensi ibadah dan mempelajari soal-soal keislaman saja saya masih tersendat-sendat.

Bagi saya, amalan saya, dan bagi anda, amalan anda.