Selasa, 16 Desember 2008

Pemimpin dan Peran Kepahlawanannya


Banyak yang percaya, pergulatan revolusi 1945-1949 dan pergerakan reformasi tahun 1998 tak akan berjalan dengan sukses tanpa adanya peran kepahlawanan para aktornya. Sebut saja Bung Tomo, misalnya. Tanpa ada pidatonya yang menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo, peristiwa 10 november hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Juga jika para mahasiswa tidak turun ke jalan pada pertengahan Mei 1998, Soeharto pasti masih berkuasa Semarang. Singkatnya, perjalanan bangsa ini telah diwarnai oleh peran kepahlawanan dari aktivis yang berjiwa heroik.

Sekarang, 62 tahun sudah revolusi berakhir. Juga, hampir 10 tahun sudah reformasi berlalu Yang menjadi persoalan, bagaimanakah bangsa kita sekarang memandang para pahlawan yang telah gugur memertaruhkan jiwa untuk kemerdekaan. Jika kita realitas yang ada, terutama pada aspek moral, bangsa ini seakan-akan telah melupakan pahlawannya. Mengapa? Karena bangsa yang menghargai pahlawan akan terus meningkatkan taraf hidup masyarakatnya serta berupaya membangun seluruh aspek kehidupan bangsa ini.

Berbicara mengenai pahlawan dalam konteks global, kita dapati bahwa dunia telah memiliki banyak sekali tokoh yang diklaim –atau mengklaim diri—sebagai pahlawan. Tampaknya, urusan klaim-mengklaim gelar pahlawan ini terjadi karena adanya unsur golongan yang sangat kental. Bagi orang Kuba, Che Guevara dan Fidel Castro mungkin adalah figur yang paling menonjol sebagai aktor revolusioner melawan hegemoni Amerika dan pemerintahan status-quo.

Atau bagi orang Komunis Cina, Mao Zedong dan Deng Xiaoping juga dianggap sebagai pahlawan karena jasanya membangun perekonomian Cina menjadi negara yang disegani. Semuanya menunjukkan bahwa paradigma umum yang mengemuka di masyarakat meletakkan pahlawan pada golongan masing-masing. Tentunya sebagai umat Islam kita juga harus memiliki loyalitas dan figur pahlawan yang kita jadikan role model, yaitu Rasulullah.

Lantas, "jenis" pahlawan seperti apa yang kita harapkan dapat tampil membangun bangsa? Saya setuju dengan pendapat Anis Matta, “Seorang Pahlawan adalah orang yang mampu menggunakan setiap momentum untuk menujukkan sisi-sisi kepahlawanannya”. Artinya, tak ada timing bagi seseorang untuk menunjukkan kepada publik bahwa ia adalah pahlawan. Di sini, konsepsi pahlawan diperluas tidak hanya pada konteks perjuangan, tetapi pada sendi-sendi kehidupan yang lain.

Persoalannya adalah, adakah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan seperti itu di masa kini, terutama di Indonesia? Banyak sekali tokoh yang memiliki konsep mengenai pembangunan mendasar bangsa ini, tetapi kelihatannya konsep tersebut hanya diimplementasikan pada tataran makro, sementara belum ada kebijakan yang membawa perubahan signifikan dalam tataran mikro.

Contoh kasusnya ada pada penarikan subsidi BBM. Kita memaklumi bahwa harga minyak dunia naik dan berimplikasi pada naiknya harga minyak di Indonesia. Akan tetapi, penggantian subsidi BBM ini ternyata masih belum memenuhi kebutuhan yang ada. Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) masih terkesan apologetik dan formalistik. Buktinya, angka kemiskinan tidak dapat direduksi secara signifikan dengan adanya bantuan tersebut. Sementara substansi dari bantuan tidak mengena. Di sinilah kepahlawanan pemerintah kita dipertanyakan.

Sebenarnya, pemerintah dapat memberikan kepahlawanan lewat kebijakan yang ditelurkan. Dalam kebijakan penarikan subsidi BBM, misalnya, pemerintah dapat memberikan lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat menengah ke bawah dengan memberikan stimulus berupa modal untuk kerja. Tentunya hal tersebut lebih mengena di masyarakat kecil. Pembinaan UKM berbasis kompetensi kerja pun juga harus secara kontinyu dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan demikian, peran kepahlawanan pemerintah dapat lebih dirasakan terutama oleh kalangan grass-root..

Dalam perspektif yang lebih normatif, bangsa kita sangat memerlukan peran kepahlawanan langsung dari pemimpin-pemimpin kita. Untuk itu, hal yang diperlukan adalah adanya keteladanan dari figur seorang pemimpin. Dr. Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa bangsa ini perlu keteladanan untuk bangkit dari keterpurukan. Keteladanan itu sudah seyogianya ditunjukkan agar dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk bangkit dan mengubah karakteristik malas menjadi pekerja keras.

Sungguh ironis ketika di era reformasi seperti sekarang kita masih menemui tokoh-tokoh yang lebih mengedepankan kharisma atau basis massa yang dimiliki dan mengesampingkan keteladanan bagi masyarakat. Seakan-akan massa yang dimiliki sudah cukup untuk menjadi legitimasi politik baginya. Padahal, legitimasi politik tidaklah cukup untuk menjadikan seseorang sebagai pahlawan.

Untuk menunjukkan peran kepahlawanan, legitimasi sosial dan politik memang diperlukan. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus memiliki legitimasi moral dan legitimasi agama. Legitimasi moral bagi seorang pemimpin ditunjukkan dengan memegang teguh prinsip akuntabilitas dan kredibilitas ketika ia menjalankan amanahnya. Sedangkan legitimasi agama ditunjukkan dengan kepatuhan pada ketetapan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak adanya dua legitimasi yang sangat substansial inilah yang menyebabkan bangsa kita, meminjam istilah Hidayat Nur Wahid, mengalami krisis keteladanan.

Oleh karena itu, kepahlawanan bangsa ini harus dibuktikan secara nyata dalam kebijakan yang ditelurkan dan keteladanan dalam menjalankan amanah. Saya setuju bahwa pelajar juga harus menunjukkan jati diri kepahlawanannya. Tetapi, kepahlawanan seorang pelajar harus dimanifestasikan di atas koridor yang berlaku agar pelajar tidak mengalami disorientasi arah ke depannya.
Saya percaya, pahlawan sebenarnya mampu memaksimalkan potensi kepahlawanan yang ada pada dirinya pada setiap momentum. Salam Reformasi.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

He he emang ada pemimpin sekarang yang berjiwa pahlawan? Saya mengharapkan, mendoakan, agar pemimpin sekaligus pahlawan bangsa. Amin.

Anonim mengatakan...

terimakasih telah berkunjung ke kafe sophie.blogspot.com; ruang kosong untuk hati saya. salam kenal.