Sabtu, 08 Januari 2011

Demokrasi, Musyawarah, dan Masyarakat Desa

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar 

Deliberation may enhance collective judgment because it is concerned not just with polling information and exchanging views, but also with reasoning about these and testing arguments
-David Held, “Models of Democracy”-

Prawacana

Perdebatan mengenai demokrasi mengemuka di Indonesia satu dasawarsa terakhir. Purwo Santoso, pakar kebijakan publik, menyebut demokrasi sebagai proses "politiko-kultural”, karena demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai sebuah mekanisme sirkulasi elite dan proses politik, tetapi juga memiliki dimensi-dimensi budaya politik yang mengakar kuat dalam model penerapannya di Indonesia.

Akan tetapi, demokrasi di sisi lain juga dipandang problematis karena melahirkan konflik sosial pada beberapa kasus. Suksesi pemilihan pemimpin politik kerap diwarnai oleh politik uang, mobilisasi massa, anarkisme, atau pencitraan berlebihan. Sehingga, tak jarang publik justru jenuh atas proses demokrasi yang berjalan elitis serta membosankan.

Hal ini tidak saja menjadi preseden buruk bagi pembangunan politik Indonesia, tetapi juga menandakan bahwa demokrasi –yang pada mulanya lahir dan besar di Eropa— saat ini masih belum kompatibel dengan nuansa keindonesiaan. Oleh karena itu, demokrasi perlu disesuaikan dengan realitas Indonesia yang masih berkarakter pedesaan.

Sebagai mahasiswa Indonesia, kita dihadapkan pada sebuah persoalan: bagaimana menjadikan demokrasi tidak anarkistis dan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia?

Mengakar-rumputkan Demokrasi
Sejatinya, demokrasi tidak dibangun di ruang-ruang struktur. Ia tidak hanya berada di gedung parlemen, di ruang kerja menteri, atau kamar kerja seorang presiden. Demokrasi justru berada di sawah-sawah petani, sudut-sudut pasar, ruang kelas mahasiswa, di tengah dengung pabrik, bahkan di jalan tempat orang lalu-lalang. Pada titik itulah demokrasi masuk pada level “otonomi”, yang artinya terejawantahkan di semua bidang kehidupan.

Sehingga, demokrasi tidak lagi hanya dipandang pada dimensi eleckoral an sich. Demokrasi juga berada pada level sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan budaya. Lokus demokrasi akan terdesentralisasi dari gedung-gedung parlemen ke basis-basis komunitas. Ini berarti, demokrasi bukan hanya domain elite, tetapi juga bagian dari aktivitas rakyat.

Persoalannya, bagaimana mendesentralisasi lokus demokrasi tersebut? Jurgen Habermas, seorang pemikir Jerman, mengajukan sebuah tawaran: tindakan komunikatif sebagai basis dari demokrasi. Menurut Habermas, sebagaimana dipotret oleh F. Budi Hardiman, sebuah kebijakan publik mesti mendapatkan legitimasi rakyat.

Proses transfer legitimasi kepada rakyat tersebut dilakukan melalui diskursus komunikatif antarwarga dengan medium “ruang publik”. Basis-basis komunikasi publik di level terkecil masyarakat mesti diaktifkan. Demokrasi dipandang dalam bentuknya sebagai “deliberasi”, yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai “musyawarah”.

Dengan konsepsi ini, demokrasi tidak lagi menjadi sebuah makna politik. Ia terejawantahkan dalam model-model aktivitas publik sehari-hari. Berdemokrasi dimaknai bukan sekadar mengambil keputusan di parlemen, tetapi juga mencakup proses penyusunan anggaran, kritik terhadap pemerintah, menyalurkan aspirasi, memecahkan masalah warga, bahkan aktivitas belajar-mengajar di ruang kelas.

Oleh karena itulah, dengan menggunakan model demokrasi ini, logika pengambilan keputusan dibalik dari top-down menjadi bottom-up. Pada logika pertama (top-down), negara memainkan peran yang begitu sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demokrasi, dengan logika tersebut, adalah alat bagi negara untuk mendapatkan legitimasi.

Akan tetapi, logika kedua (bottom-up) justru mengimplikasikan hal berbeda. Peran negara didistribusikan kepada komunitas-komunitas yang ada di masyarakat. Demokrasi kemudian menjadi alat bagi masayrakat untuk mengaspirasikan kepentingannya sehingga dapat diterjemahkan oleh negara sebagai kebijakan publik. 

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, tentu saja demokrasi perlu direformulasi. Pemilu atau Parlemen kini bukan lagi lokus tunggal dari demokrasi. Ada lokus-lokus lain yang disebut oleh Habermas sebagai “ruang publik”, dan dalam konteks Indonesia, ruang publik tersebut mewujud pada sebuah istilah: “Desa”.

Desa dan Demokrasi 
Tantangan untuk mendesentralisasi demokrasi ke level-level nonpolitik –sebagaimana digagas di atas— mengemuka ketika publik dihadapkan pada sebuah. Persoalan: bagaimana mengidentifikasi “ruang publik” ideal yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terserak di masyarakat Indonesia?

Konsepsi ruang publik yang dibayangkan oleh Habermas memang saat bertipe “Eropa” dan penuh nuansa perkotaan. Ia membayangkannya sebagai “ruang” di mana semua anggota masyarakat dapat mengakses dan melakukan interaksi sosial di dalamnya.

Hal tersebut tentu mengimplikasikan budaya “kewargaan” (sipil) yang kuat. Perlu adanya kesadaran untuk mengaspirasikan kepentingan dari masing-masing warga. Implikasinya, semua warga harus teredukasi secara baik, atau setidaknya memahami posisi sosialnya masing-masing. Kesadaran posisi tersebut akan jarang kita temui di kalangan masyarakat kelas bawah.

Selain itu, pandangan ini juga menganggap semua warga yang mengaspirasikan kepentingannya tersebut berada dalam strata kelas yang sama. Artinya, jika kita bayangkan formulasi tersebut dalam konteks keindonesiaan, hal tersebut sangat mencirikan kultur perkotaan dan kelas menengah yang begitu kuat.

Oleh karena itu, penulis memandang perlu untuk mereformulasi “ruang publik” dalam perspektif keindonesiaan. Di Indonesia, “ruang publik” yang bertipe Habermasian tersebut mewujud dalam kerangka “Desa” yang berkarakter komunal, memiliki sedikit nuansa feudal, “guyub”, dan bertipe masyarakat agraris.

Pada hakikatnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Identitas sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan “identitas kewargaan” yang sangat kental nuansa kenegaraan, tetapi “identitas komunal” yang kental dengan nilai-nilai kelokalan. Kesadaran masyarakat terbangun bukan oleh “kesadaran sipil”, tetapi oleh faktor-faktor kultural yang mengikat masyarakat.

Robert Elson, seorang sejarawan Australia yang baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul “The Idea of Indonesia”, berpendapat bahwa asal-usul Indonesia tak dapat dipisahkan dari ciri-ciri etnis dan budaya, seperti bahasa, ciri fisik, dan adat-istiadat.

Esais Putu Wijaya juga berpendapat demikian. Adat istiadat dan tradisi menempati posisi penting dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari identitas kebangsaan Indonesia. Identitas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berada pada relung-relung budaya dan tradisi komunal yang begitu kuat.

Maka dari itu, ketika berbicara mengenai ruang publik dalam perspektif keindonesiaan, kita perlu melibatkan “masyarakat desa” sebagai unit analisis. Jika argumennya menyatakan bahwa demokrasi memerlukan ruang-ruang publik sebagai lokus, maka demokrasi juga harus bertransformasi ke sendi-sendi kehidupan masyarakat desa.

Artinya, demokrasi idealnya memperhatikan kearifan lokal, ke-guyub-an masyarakat, modal sosial, tradisi, atau nilai-nilai kelokalan. Demokrasi pada konteks ini bersifat transformatif: Masyarakat diberikan otonomi sepenuhnya untuk mengelola dirinya sendiri. Peran-peran negara dalam demokrasi juga harus selaras dengan kepentingan masyarakat, dari yang bersifat sipil menjadi bersifat kultural.

Dari Struktural ke Kultural
Persoalannya kemudian, bagaimana mengadaptasikan konteks demokrasi “sipil-politis” negara menjadi konteks “kultural”? Di sini, peran negara lagi-lagi perlu direkonstruksi. Negara cukup menjadi penyelaras sistem dan wadah penyaluran aspirasi komunitas, juga sebagai penyalur sumber daya publik yang ada (missal: anggaran dana).

Dengan otonomi yang diberikan pada unit masyarakat terkecil, hal-hal yang menjadi domain individu bisa diselesaikan pada level komunitas, sedangkan problem yang dihadapi oleh komunitas pada skala yang lebih besar diselesaikan dengan fasilitasi negara.

Jika gagasan tersebut bisa diadaptasi dalam konteks masyarakat pedesaan yang memiliki karakteristik khas, demokrasi akan berjalan secara lebih luwes. Kita akan menyongsong era baru demokrasi yang tidak lagi elitis, tetapi menjadikan masyarakat sebagai aktor yang aktif dalam proses demokratisasi.

 Maka, bagaimana meneguhkan identitas keindonesiaan dalam struktur dan format demokrasi yang dianut oleh negara saat ini? Setidaknya, ada empat hal yang patut dipertimbangkan sebagai sebuah langkah strategis bagi masyarakat sipil.

Pertama, mengedepankan demokrasi sebagai sebuah proses kultural, bukan proses politik. Logika demokrasi yang bertumpu pada elite serta berbasis kekuasaan politik perlu diubah menjadi interaksi warga serta pemecahan masalah publik.

Artinya, publik memandang demokrasi bukan lagi sebagai sebuah kewajiban sipil dalam memilih figur tertentu, tetapi justru sebuah konsekuensi logis dari hidup mereka bermasyarakat. Ini akan mengurangi dampak negatif demokrasi yang rawan konflik.
             
Kedua, memberdayakan unit-unit komunitas sebagai lokus utama demokrasi, Karena demokrasi dipandang sebagai proses kultural, lokasinya bukan lagi di gedung-gedung pemerintahan atau bilik-bilik suara. Lokasinya justru terletak di balai desa atau tempat pertemuan warga untuk memecahkan masalah mereka sendiri.

Sebab itu, masyarakat yang berada pada unit komunitas tersebut juga perlu diberdayakan. Salah satu model pemberdayaannya adalah mengenalkan mereka pada pentingnya memenuhi kebutuhan secara otonom dan tidak bertumpu pada negara. Adanya model penganggaran partisipatif –yang diinspirasi dari model Porto Allegre, Brazil— member celah bagi masyarakat untuk lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan.

Ketiga, proses demokratisasi perlu disesuaikan tradisi dan kearifan masyarakat lokal. Selama berabad-abad, masyarakat Indonesia telah memiliki sistem sosial dan budaya yang pakem dan mengatur kehidupan warga. Karena sistem tersebut telah pakem sebagai sebuah sistem sosial dan budaya, hedaknya demokrasi juga selaras dengan nilai-nilai tradisi yang ada tersebut.

Jika menggunakan unit komunitas, terutama komunitas-komunitas pedesaan sebagai aktor, logika ini sangat mungkin diterapkan. Adanya proses demokratisasi di pedesaan dengan menggunakan pendekatan deliberatif tidak akan kontraproduktif dengan sistem budaya, karena masyarakat Indonesia sejak dulu telah mengenal istilah “demokrasi” dalam wujudnya yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, sejak dulu masyarakat Indonesia telah mengenal istilah “gotong royong” dan “musyawarah” sebagai alat pemecahan masalah bersama. Dua hal ini adalah aktivitas sosial yang mengandung makna demokrasi, sebab setiap anggota masyarakat dipandang sederajat dan bebas mengaspirasikan pendapatnya. Ini berarti, sistem sosial dan budaya masyarakat justru akan sangat terjamin dalam proses demokratisasi jika disesuaikan dengan konteks keindonesiaan.

Keempat, aktor utama demokrasi bukan lagi hanya entitas kelas menengah atau kelas atas, tetapi juga masyarakat kelas bawah. Konsekuensi logis ketika demokrasi didesentralisasi ke level komunitas adalah adanya kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mengekspresikan pendapatnya.

Belajar dari Porto Allegre
Secara praktis, masalah demokrasi dengan basis pedesaan ini dapat kita lihat contohnya pada kasus anggaran partisipatif yang digagas di negara bagian Porto Allegre, Brazil. Gagasan mengenai perubahan model keuangan daerah melalui mekanisme anggaran partisipatif memberikan paradigma baru sistem penganggaran (budgetting) di level daerah, sebagaimana dicontohkan oleh Porto Allegre, Brazil.

Di sana, anggaran ternyata tidak hanya dibuat secara top-down seperti diterapkan di Indonesia, tetapi juga secara bottom-up, di mana masyarakat juga turut berpartisipasi memberikan usulan, draft, dan kontrol atas  anggaran yang ada. Artinya, dengan model bottom-up tersebut, anggaran tidak lagi bersifat elitis dan tidak terakses oleh masyarakat, tetapi juga dapat melibatkan segenap stakeholders untuk berpartisipasi, tak terkecuali masyarakat yang berpartisipasi dalam politik secara pasif.

Model anggaran partisipatif ini sangat mungkin diimplementasikan dalam level daerah. Artinya, jika ada kemauan politik lokal untuk mengubah paradigma anggaran dari top-down menjadi bottom-up, model anggaran partisipatif tersebut dapat menjadi sebuah ikon bagi demokratisasi keuangan daerah.

Indonesia sudah mencoba menggunakan logika tersebut dengan model Musrenbang yang dibuat bottom-up. Tentu saja wacana dan praksis dari  Musrenbang ini bukan tanpa masalah. Setidaknya, ada dua persoalan  yang akan dihadapi ketika ingin mengimplementasikan hal ini.

Pertama, partisipasi politik masyarakat yang tidak begitu tinggi. Anggaran partisipatif memerlukan peran serta
masyarakat dalam pengusulan dan pengawasan, dan ini perlu dilakukan dengan memberdayakan masyarakat. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, model anggaran partisipatif bisa menjadi elitis, simbolik, serta bernuansa politis-artifisial.

Kedua, kesiapan pemerintah daerah. Mengubah paradigma sistem anggaran berarti mengubah ritme kerja pembangunan, dan hal ini memerlukan penyesuaian dari birokrasi lokal. Tentu saja, penyesuaian-penyesuaian ini harus diikuti oleh pemahaman yang menyeluruh para birokrat mengenai model anggaran partisipatif. Sebab, model anggaran ini memerlukan sosialisasi dari aktor-aktor birokrasi lokal.

Sehingga, menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menuntaskan agenda demokratisasi ke level bawah tersebut. Ini memerlukan bukan lagi hanya peran negara, tetapi juga masyarakat. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat akan memainkan peran yang besar jika bisa turun langsung menghadapi problem tersebut dalam kerangka geraknya.

Mari Kembali ke Desa
Adanya model demokrasi yang terdesentralisasi ke level masyarakat akan membuat semua individu berkedudukan sama tanpa batas kelas. Model demokrasi yang ramah dengan lingkup sosial masyarakat desa, jika dikembangkan secara lebih luas, akan mengarusutamakan kepentingan kelas bawah. Dengan demikian, terjadi kesamaan posisi sosial pada semua individu di masyarakat.

Empat tawaran yang penulis diskusikan di atas dapat dibaca sebagai upaya untuk “mengindonesiakan” proses-proses demokratisasi. Tantangan kini terletak di pundak elemen mahasiswa dan masyarakat sipil. Siapkah demokrasi kita transformasikan dalam kerangka keindonesiaan?

Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan revitalisasi fungsi masyarakat sipil –termasuk pula mahasiswa— menjadi lebih mengakar pada basis sosial. Saatnya pemuda Indonesia, sebagai pemilik masa depan bangsa, turun ke desa serta memberdayakan masyarakat.

Saya kira, sudah saatnya kita melirik Desa sebagai laboratorium studi bagi ilmu-ilmu kita. Mungkin hal itu yang menginspirasi Koesnadi Harjasoemantri, pemimpin Dewan Mahasiswa UGM ketika menginisiasi Projek Pengerahan Tenaga Mahasiswa pada tahun 1955. Bagi Prof. Koesnadi, mahasiswa adalah bagian dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat pula.

Dengan beberapa tawaran sederhana di atas, sudah saatnya kita kembali memusatkan perhatian pada desa sebagai wajah bangsa Indonesia. Bagaimana dengan anda? Tertarik untuk kembali menyelami makna desa? Anda tidak sendiri, kawan. Mari lakukan itu bersama-sama sebagai mahasiswa Indonesia. [*]


*) Penulis adalah Mahasiswa Fisipol UGM dan Pegiat Lingkar Studi Bulaksumur, Yogyakarta. Artikel ini merupakan pemenang "Kompetisi Penulisan Kontribusi Mahasiswa Bagi Bangsa dan Negara", Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010

1 komentar:

Kaos Polo mengatakan...

Demokrasi dan musyawarah di masyarakat saat ini memang perlu digalakan, demi kerukunan antar warga masyarakat