Jumat, 02 April 2010

Korupsi Kekuasaan, Oligarki dan Pilkada


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Dalam tradisi kerajaan atau kesultanan, tahta kekuasaan lazimnya diturunkan melalui silsilah kekuasaan. Seorang raja atau Sultan akan dilantik setelah raja atau Sultan sebelumnya meninggal dunia, dan secara otomatis akan mewariskan kekuasaannya kepada putera mahkota kerajaan. Begitu seterusnya.

Konteks modern ternyata tidak menghilangkan model pewarisan kekuasaan tersebut. Hanya saja, model pewarisan kekuasaannya tidak menampilkan garis keturunan, melainkan faksi-faksi politik. Seorang pemimpin akan memiliki kecenderungan untuk meneguhkan kekuasaannya dengan berbagai jalan, antara lain dengan membangun dinasti politik, memupuk hegemoni –meminjam istilah Gramsci, atau menjalin hubungan kekuasaan dengan entitas nonpolitik (agama, pasar, atau birokrasi) dengan tujuan memperkuat kekuasaan.

Inilah yang disebut oleh Michels (1915) atau Hadiz & Robison (2004) sebagai oligarki. Kehebatan kekuasaan Orde Baru yang mempertahankan hegemoninya selama 32 tahun dibangun atas praktek ini. Sejarah mencatat bahwa kekuasaan Soeharto dipupuk atas oligarki kompleks antara negara dan pasar, dan ditujukan untuk memenuhi kepentingannya sendiri (Anderson, 1983). Maka, tak salah jika kita menyebut hal ini sebagai praktik “korupsi kekuasaan”.

Karakter Korupsi Kekuasaan

Alam demokrasi juga rawan oleh praktik-praktik semacam itu. Apa yang disebut oleh Michels sebagai praktik pemupukan kekuasaan oleh sekelompok pihak di partai politik pada hakikatnya terjadi pada sebuah rejim yang demokratis, ketika kebebasan berpendapat dan berkumpul digalang dalam sebuah mekanisme yang demokratis.

Dalil korupsi kekuasaan ini ada pada sebuah adagium yang dikenal luas di kalangan aktivis mahasiswa, “power tends to corrupt, absolute power absolutely corrupts” (Lord Acton). Setidaknya, ada tiga karakter khas korupsi kekuasaan yang terjalin pada sebuah rejim yang demokratis.

Pertama, kepemimpinan politik didasarkan pada figur. Penelitian Robert Michels pada partai Nazi –sebuah partai yang bertransformasi dari partai demokratis menjadi partai fasis—menunjukkan bahwa keberadaan figur yang terlalu sentral sangat berpotensi menjadi pintu gerbang menuju kediktatoran atau otoriterisme. Soeharto pun, dengan menggunakan hegemoni yang telah ia bangun, telah melakukan kooptasi terhadap demokrasi hingga berkuasa selama 32 tahun.

Kedua, munculnya sekelompok pihak yang mengatur jalannya pemerintahan, serta merangkul kekuatan lawan politik sehingga terjadi sebuah “koalisi besar”. Inilah yang disebut sebagai oligarki. Memang, “koalisi besar” tidak salah secara hukum. Akan tetapi, secara politik, praktik semacam ini adalah sebuah jalan masuk bagi pemusatan kekuasaan yang begitu besar tanpa adanya kritik yang memadai. Jika sudah demikian, praktik korupsi kekuasaan akan terjadi.

Di sinilah pentingnya oposisi. Oposisi pada hakikatnya bukan pengganggu pemerintahan. Justru, oposisi berperan penting untuk mengawal demokrasi agar tidak terjadi “wacana tunggal” dan pemusatan kekuasaan. Ketidakberdayaan demokrasi di Orde Baru adalah potret dari kooptasi sistemik terhadap partai oposisi,.

Ketiga, aktivitas pemerintah dilakukan tidak untuk mengusahakan kepentingan rakyat, tetapi untuk meneguhkan kekuasaannya. Ben Anderson menyebut hal ini sebagai “state qua state”. Ketika menganalisis Orde Baru, Anderson menemukan kesamaan dengan negara yang masih bertipe kolonial yang dikonstruksikan tidak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi untuk memenuhi kepentingan pemerintah. Ruth McVey menyebut ini sebagai “beamtenstaat”, negara penjaga malam.

Alhasil, negara yang dimaksud di atas tentu saja bukan entitas rakyat secara keseluruhan. “Negara” dikontruksikan sebagai kekuatan elit yang mendominasi sendi-sendi kehidupan, dibangun atas basis oligarki birokrasi, militer, dan pasar, serta dilegitimasi melalui pembangunan yang memihak sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Menjaga Pilkada

Maka, dengan membaca tiga karakter tersebut, kita patut berhati-hati dengan iklim demokrasi di negeri ini. Geliat desentralisasi yang akan diramaikan oleh sebuah perhelatan demokrasi lokal –pemilihan kepala daerah—juga patut diamankan dari praktik korupsi kekuasaan yang rawan dilakukan oleh gubernur baru.

Dengan adanya desentralisasi, lokus kekuasaan yang bergeser dari pusat ke daerah juga mengimplikasikan adanya pergeseran lokus korupsi. Muncul raja-raja kecil. Lahir oligarkhi baru di level daerah. Sehingga, ketika hal-hal negatif yang mengiringi pergeseran lokus kekuasaan ini terjadi, justru “semangat kedaerahan sempit” akan sangat mudah muncul.

Dengan demikian, Pilkada Kalimantan Selatan 2010 perlu diselamatkan dari hal-hal tersebut melalui beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh segenap kekuatan masyarakat sipil lokal.

Pertama, tidak memilih pemimpin yang memiliki track record pernah menjalin oligarki dengan kelompok bisnis sebagai modal kekuasaannya. Kedua, menolak dan mencegah praktik money politics, baik yang nyata ataupun berkedok sumbangan terhadap pesantren, panti asuhan, atau yang lainnya dengan menggunakan basis kekuasaan yang dimiliki.

Ketiga, mengupayakan independensi pemuka agama (kyai dan “tuan guru”) agar bersih dari upaya dukung-mendukung tanpa pemahaman politik yang jelas. Keempat, menyerukan transparansi dana kampanye dari masing-masing kandidat dan partai politik pengusung agar sumber dana kampanye dapat diketahui secara jelas.

Pilkada adalah pesta demokrasi lokal. Jangan sampai, Pilkada berubah menjadi ajang untuk menciptakan borjuasi-borjuasi lokal yang akhirnya berujung pada korupsi kekuasaan dari kepala daerah baru. Tiga karakter khas korupsi kekuasaan di atas patut dibaca sebagai bekal untuk mewaspadai munculnya kekuatan yang kontraproduktif dengan iklim demokrasi.

Cara yang paling mudah untuk menghukum kandidat dalam Pilkada adalah dengan tidak memilihnya sebagai kepala daerah. Maka, bersikaplah kritis. Sebuah pertaruhan besar untuk kebaikan banua, telah berada di depan mata kita.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM asal Banjarmasin

Tidak ada komentar: