Jumat, 02 April 2010

Wajah Baru Gerakan Mahasiswa


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Pemberitaan Banjarmasin Post (10/2 dan 11/2) cukup mengejutkan. Krisis kepemimpinan di Unlam ternyata juga terjadi pada level gerakan mahasiswa intrakampus atau Dewan Mahasiswa, di mana hanya ada satu pasang calon yang akan berkompetisi di pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa Unlam tahun ini.

Unlam ternyata tidak sendiri. Di Universitas Gadjah Mada, jumlah pemiliha pada Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) tiap tahunnya tidak mengalami kenaikan jumlah yang signifikan. Tercatat, hanya sekitar 10.000-12.000 mahasiswa UGM yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemira dari sekitar 35.000 jumlah mahasiswa UGM, tidak sampai 50% dari jumlah mahasiswa.

Dua fakta di atas memunculkan pertanyaan: apakah sekarang mahasiswa Indonesia sudah terdepolitisasi dan apatis dengan hal-hal yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa? Apa yang salah dari format gerakan mahasiswa Indonesia saat ini?

Jika kita tarik akar sejarahnya, gerakan mahasiswa Indonesia memang mengalami dinamika. Tercatat, Dewan Mahasiswa pertama kali dibentuk di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia pada era 1950-an.

Dewan Mahasiswa UGM ketika itu dipimpin oleh Koesnadi Harjasoemantri, mahasiswa Fakultas Hukum dan Dewan Mahasiswa UI dipimpin oleh Emil Salim dari Fakultas Ekonomi. Di kemudian hari, kedua tokoh Dewan Mahasiswa tersebut menjadi guru besar dan intelektual di bidangnya masing-masing.

Sejarah Dewan Mahasiswa mulai menampilkan konflik dan resistensi dengan rejim politik pada tahun 1970-an. Peristiwa Malari yang menyeret nama Hariman Siregar, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga Ketua Dewan Mahasiswa memulai ketidakharmonisan hubungan mahasiswa-pemerintah.

Pada tahun 1978-1979, konflik ini pecah menjadi bentrokan di kampus-kampus. Di Universitas Gadjah Mada, ABRI masuk ke kampus dan mengobrak-abrik gelanggang mahasiswa, serta menangkap beberapa tokoh aktivis. Pada waktu itu, DM UGM dipimpin oleh Lukman F. Mokoginta dari Fakultas Geografi serta Baharuddin Aritonang dari Fakultas Farmasi. Keduanya ditangkap oleh tentara pada waktu itu.

Peristiwa serupa terjadi di ITB, ketika aksi mahasiswa berujung pada masuknya tentara ke kampus. Tokoh dewan mahasiswa pada waktu itu antara lain Heri Akhmadi, Rizal Ramli, serta Al Hilal Hamdi. Begitu pula di beberapa kampus lain seperti UI (Dipo Alam) dan Universitas Syiah Kuala (Hasballah M. Saad). Klimaksnya, Dewan Mahasiswa dibekukan bersamaan dengan perumusan konsep NKK/BKK oleh Mendiknas Daoed Joesoef.

Selama sebelas tahun berikutnya, mahasiswa terdepolitisasi. Senat mahasiswa di tingkat fakultas berhasil membungkam aktivitas kemahasiswaan dan menanam benih apatisme di kalangan mahasiswa. Politik korporatisme Soeharto pada organisasi mahasiswa ekstrakampus juga turut memudarkan aroma gerakan kemahasiswaan.

Akan tetapi, pada tahun 1991, bersamaan dengan dilantiknya mendiknas Fuad Hassan, Senat Mahasiswa tingkat universitas kembali digalakkan. UGM memulainya dengan membuat SM UGM pada tahun 1991, dengan menempatkan Muhammad Khoiri Umar dari Fakultas Ekonomi sebagai Ketua SM UGM. Beliau digantikan oleh Anies R. Baswedan yang memimpin pada era 1992-1993.

Di Universitas Indonesia, SM UI dimulai dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa yang dipimpin oleh Eep Saefulloh Fatah dari FISIP pada tahun 1994. Forum ini diresmikan sebagai SM UI pada tahun 1996 yang menempatkan Zulkieflimansyah sebagai Ketua SM UI pertama.

Klimaks gerakan mahasiswa ini terjadi pada 1998, ketika krisis kapitalisme Orde Baru disambut oleh para aktivis mahasiswa untuk mengkapitalisasi isu dan wacana perubahan. Tercatat, pada tanggal 18 Mei 1998, gelombang mahasiswa mengerumuni dan menguasai gedung DPR/MPR. Mahasiswa melakukan tekanan-tekanan publik hingga pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998.

Lantas, apa yang terjadi pada gerakan mahasiwa sekarang? Dengan krisis politik mahasiswa di beberapa kampus berskala nasional, perlu ada pembenahan wajah gerakan mahasiswa intrakampus. Sudah saatnya gerakan mahasiswa, intrakampus ataupun ekstrakampus, merekonstruksi wacana dan agenda gerakan ke depan.

Opini mahasiswa di akar rumput yang kerap kita temui adalah bahwa gerakan mahasiswa identik dengan aksi dan demonstrasi. Opini ini mencerminkan eksklusifnya gerakan mahasiswa dan munculnya dikotomi di tataran mahasiswa antara “aktivis” dan “akademisi”. Hal ini perlu kita kritisi.

Gerakan mahasiswa, menurut penulis, hakikatnya adalah gerakan intelektual. Fakta sejarah bercerita pada kita bahwa para aktivis mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Figur tokoh muda seperti Anies Baswedan, Eep Saefulloh Fatah, Priyo Budhisantoso, atau Zulkieflimansyah adalah figur yang lahir dan besar dari entitas sederhana bernama Senat Mahasiswa.

Di sinilah posisi mahasiswa: sebagai gerakan intelektual, Dewan Mahasiswa/BEM dituntut untuk memiliki konsep dan gagasan yang komprehensif mengenai visinya dalam mewarnai pembangunan bangsa. Maka, gerakan mahasiswa tidak hanya diidentikkan dengan aksi demonstrasi, tetapi juga penelitian, pemberdayaan masyarakat, menulis, atau diskusi-diskusi rutin.

Tradisi intelektual mahasiswa, seperti membaca, menulis, riset, dan diskusi perlu disemai kembali oleh BEM/Dewan Mahasiswa. Untuk membangun legitimasi, BEM/Dewan Mahasiswa juga perlu mengkonstruksi visi bersama yang membumi dan diterima oleh segenap mahasiswa. Aksi dan program juga perlu melibatkan semua entitas mahasiswa secara partisipatif atas dasar tradisi intelektual.

Oleh karena itu, wajah baru gerakan mahasiswa ini perlu kembali kita tata. Jangan biarkan mahasiswa terlalu apatis dan jauh terdepolitisasi hingga bisa saja menyebabkan krisis kepemimpinan di era yang akan datang. Masa depan negeri ini adalah masa depan para mahasiswa saat ini.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM asal Banjarmasin

Tidak ada komentar: