Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Untuk membuka tulisan ini, perkenankanlah penulis mengutip sebuah terjemahan dari buku Selected Prison Notebooks yang ditulis oleh Antonio Gramsci, salah satu pemikir Italia yang karya-karyanya banyak digunakan sebagai objek kajian alternatif dalam ilmu politik. Terjemahan tersebut dikutip oleh Roger Simon dalam bukunya “Gramsci’s Political Thought” (1999).
“Sejarah dan politik tak diciptakan tanpa keinginan, tanpa keterikatan emosional antara intelektual dan masyarakat-bangsa. Dengan tidak adanya keterikatan semacam ini, maka hubungan antara kaum intelektual dan masyarakat-bangsa hanya akan menjadi hubungan yang murni bersifat birokratis-formal; intelektual akan menjadi sebuah kasta atau kependetaan”.
Mahasiswa: Intelektual Organik?
Begitulah. Seorang intelektual tak dapat lepas dari realitas sosial. Vital atau tidak, peran seorang intelektual akan mempengaruhi kondisi masyarakat dengan posisi yang dimainkannya. Entah negatif, entah pula positif. Intelektual yang berlepas dari masyarakat, menurut Gramsci, hanya akan menjadi kasta yang tak berguna apa-apa dari ilmu yang ia miliki.
Gerakan mahasiswa, telah penulis tegaskan dalam tulisan sebelumnya, adalah sebuah gerakan intelektual. Mahasiswa-lah yang membentuk sebuah visi, menerjemahkan visi tersebut menjadi pemahaman berpikir, dan mengintegrasikan pemikiran tersebut ke dalam sikap perbuatan yang konkret. Dengan kapasitas yang dimiliki mahasiswa, peran sebagai seorang intelektual akan sangat vital bagi masyarakat.
Di sinilah pentingnya bagi kita untuk memahami bahwa mahasiswa sejatinya memainkan perannya sebagai “intelektual organik”. Mahasiswa tak dapat melepaskan dirinya dari struktur sosial yang membentuknya. Mahasiswa tak boleh lupa dengan akar-rumput yang membesarkannya. Mahasiswa tak boleh keluar dari lingkungan tempat ia lahir dan menuai kehidupan. Mahasiswa adalah bagian dari semua hal tersebut.
Lantas, dengan posisi mahasiswa tersebut, bagaimana ia menempatkan diri?
Tidak ada intelektual yang bebas-nilai atau “independen” Apapun yang ia lakukan, dampaknya pasti akan dirasakan oleh satu pihak; keberpihakannya pun akan terlihat jelas. Intelektual bukan seorang pertapa yang mengawasi dunia dari sebuah menara-gading. Intelektual adalah seorang orang yang melihat realitas sosial dan membaktikan ilmunya untuk mengubah realitas tersebut.
Sehingga, mahasiswa sejatinya tidak hanya terkungkung oleh tembok kampus. Aktivitas perkuliahan tidak lantas dipahami sebagai upaya untuk memberi garis batas imajiner antara mahasiswa dan rakyat. Jika mahasiswa tidak mau merasakan masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat dan menganalisisnya untuk menghasilkan solusi dan wacana konkret, pada gilirannya ia hanya akan menjadi seorang pragmatis-oportunis yang haus kuasa. Lahirlah “koruptor-koruptor baru” yang sebenarnya justru kontraproduktif dengan iklim akademik yang coba dibangun di kampus.
Posisi Mahasiswa Indonesia
Lagi-lagi, kita harus mencermati posisi mahasiswa Indonesia. Sebagai intelektual organik, mahasiswa tidak boleh terperangkap pada dikotomi sempit antara “aktivis mahasiswa” atau “mahasiswa akademis”. Apapun yang ia lakukan, ia mesti memahami bahwa tugas mahasiswa tidak hanya belajar untuk mendapatkan nilai, tetapi juga belajar untuk memahami kondisi lingkungan.
Perangkap-perangkap seperti ini bisa saja terjadi karena beberapa hal.
Pertama, sisa-sisa konstruksi pendidikan yang telah dibangun oleh Orde Baru dulu. Dengan berbagai dalih, rejim politik berusaha untuk mengkooptasi kampus dengan melarang adanya organisasi mahasiswa di level universitas (Dewan Mahasiswa) dan membuat rekayasa-rekayasa secara sistematis. Hal ini menciptakan garis batas imajiner antara mereka yang peduli secara sosial atau politik dan mereka yang berperilaku akademis dengan condong pada corak rejim.
Kedua, tantangan borjuasi global. Apa yang disebut oleh Hadiz dan Robison (2004) sebagai oligarkhi antara negara dan pasar telah membuat banyak korporasi memerlukan fresh graduate sebagai tenaga ahli mereka. Dengan oligarkhi ini, sistem pendidikan tidak lagi dibuat untuk mengonstruksi seorang intelektual yang cerdas dan komprehensif dalam berpikir, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal inilah yang dikritik oleh Robison (dalam Tanter dan Young, 1987) sebagai “dilema kelas menengah” yang kebingungan di tengah pusaran rakyat dan borjuasi elit.
Ketiga, citra negatif yang kerap kali melekat pada diri “aktivis”. Seakan-akan, ketika seseorang telah mendeklarasikan diri menjadi seorang aktivis, ia akan menghadapi ancaman nilai akademik yang rendah, waktu lulus yang lama, prestasi diri yang kurang, serta kualitas pribadi yang jauh dari kesan positif. Akibatnya, sebagian mahasiswa enggan untuk masuk ke dalam dunia kemahasiswaan karena anggapan ini. Maka, sebuah citra positif seorang profil mahasiswa yang ideal perlu di-create untuk menghapus citra negatif ini.
Padahal, banyak tokoh bangsa yang dulu bergiat di kampus sebagai seorang aktivis. Bahkan, sampai ke level nasional. Prof. Dr. Amien Rais dan Prof. Dr. Jahja Muhaimin, dua intelektual terkemuka dari UGM, dulu merupakan pendiri dan salah satu tokoh sentral IMM. Dr. Anies Baswedan pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Atau, mantan Wapres Jusuf Kalla yang dulu menjadi tokoh KAMI di era 1966.
Hasil dikotomisasi sesat ini tentu saja membuat mahasiswa terfragmentasi. Dengan logika intelektual organik yang idealnya dimiliki mahasiswa, sudah sepatutnya ada citra positif yang dibangun untuk mendekatkan mahasiswa ke realitas sosialnya. Sudah bukan saatnya lagi berbalik ke belakang untuk mengenang “heroisme” masa lalu. Tugas-tugas baru terbentang bagi intelektual organik tanpa kita sadari tugas itu ada.
Menjaga Intelektualitas
Untuk itu, ada beberapa poin yang perlu kita pikirkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai seorang intelektual organik.
Pertama, mahasiswa mesti menentukan keberpihakan. Ilmu yang ia miliki harus diberikan, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pihak yang ia baktikan. Ilmu yang didapatkan oleh mahasiswa harus bermanfaat; kepada pihak yang ia baktikan. inilah yang disebut dalam hadits Rasulullah sebagai “ilman nafi’an” yang tak putus walau telah berada di alam barzakh.
Perlu dicatat, tak mungkin seorang intelektual bebas-nilai. Mahasiswa yang independen dari kelompok masyarakat atau tak memiliki afiliasi pemikiran, bagi penulis, adalah sebuah omong kosong. Karena, seorang mahasiswa memiliki nalar berpikir dan intuisi yang mampu mendefinisikan kebenaran, setidaknya melalui sudut pandangnya. Yang perlu dilakukan mahasiswa sebenarnya bukan mempersoalkan afiliasi pemikirannya, tetapi menjaga agar pemikiran kritisnya tetap terjaga. Inilah posisi dari seorang intelektual organik.
Kedua, menjaga pemikiran kritis. Apapun afiliasi dan dimana pun seorang mahasiswa menentukan keberpihakannya, orientasinya tetap pada kebenaran. Tak ada taklid buta bagi seorang mahasiswa. Ketika pihak yang ia geluti melakukan kesalahan, kritik tetap harus dilontarkan. Seberapapun besarnya posisi seorang mahasiswa dalam kelompok sosial tersebut, kesalahan tetaplah kesalahan dan harus diluruskan. Kendati, ini akan membawa banyak implikasi di kemudian hari
Gejala mahasiswa Indonesia dewasa ini adalah “oposisi asal-beda”. Apapun kebijakan pemerintah, mahasiswa seakan-akan menjadi “oposisi permanen”. Sehingga, aktivitas mahasiswa terkadang tidak tepat sasaran, hanya menjadi “tukang kritik” tanpa ada kajian wacana yang jelas. Inilah yang kian mendikotomisasi kelompok mahasiswa, yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Kritisisime harus dilandasi oleh objektivitas dan niat baik untuk membawa nuansa kepedulian, bukan justru menjadi euforia semata.
Ketiga, konsisten atas jalan yang ditempuh. Konsisten di sini bukan berarti fanatik terhadap kelompok tempat ia berpihak, tetapi lebih pada garis pemikiran. Ketika seorang mahasiswa ingin berpikir kritis, bersikaplah konsisten. Ia harus memiliki standard dan berorientasi pada standard tersebut. Ketika ia melakukan kesalahan, akuilah. Inilah yang penulis sebut sebagai sikap konsisten dalam bersikap dan terbuka dalam memandang realitas.
Seorang rekan yang kebetulah menjadi tokoh gerakan mahasiswa di level universitas pernah berkata, tak mungkin menempuh jalan di dua buah kapal. Seorang mahasiswa mesti memilih untuk menentukan keberpihakannya. Setelah itu, konsisten dan menjadi intelektual organik dari posisi tersebut. Akan tetapi, bagi penulis, berbeda kapal bukan berarti berbeda tujuan. Maka, interaksi itu perlu sebagai sebuah modal untuk bersikap konsisten atas visi, bukan golongan.
Maka, dengan tiga sikap ini, setidaknya mahasiswa dapat menjadi sebuah “intelektual organik” yang tak lepas dari akar-rumputnya. Untuk itu, perlu sebuah visi besar dan tujuan yang jelas. Hidup mahasiswa Indonesia.
*) Mahasiwa Ilmu Hubungan Internasional UGM asal Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar