Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Awal 2010, publik Indonesia dikejutkan oleh sebuah pengumuman “mendadak”: Perdagangan bebas antara ASEAN (termasuk Indonesia) dan Cina, atau dikenal pula sebagai ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) secara resmi diberlakukan.
Keterkejutan publik disebabkan oleh baru disadarinya kenyataan bahwa ASEAN sedang menapak jalan baru untuk memperluas kerjasama internasionalnya, sementara negeri kita masih disibukkan oleh pelbagai persoalan domestik. Padahal, ACFTA hanya sebuah batu loncatan pertama untuk menghadapi model regioalisme baru di Asia Tenggara di tahun-tahun mendatang.
Banyak pihak meragukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi skema perdagangan bebas ini. Ikhsan Modjo, Ekonom Universitas Airlangga di MetroTV (25/2) menyatakan bahwa kesiapan pemerintah dalam mempersiapkan ACFTA ini cukup lemah, terutama dalam menyelamatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Selain karena minimnya diseminasi informasi kepada publik, kesiapan Indonesia dalam mempersiapkan daya saing usaha kecil menengah serta tenaga kerja Indonesia juga tidak begitu signifikan. Sehingga, ketika pada 1 Januari 2010 ACFTA diberlakukan, banyak pihak yang meminta renegosiasi. Tentu saja ini sudah sangat terlambat. Padahal, inisiasi pemberlakuan ACFTA ini telah dimulai sejak tahun 2004.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu enam tahun sebelum FTA ini efektif diberlakukan? Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu kita catat sebelum ini.
Pertama, Lemahnya koordinasi antarkementerian/departemen. Pada kasus ACFTA, lemahnya koordinasi antara stakeholders (Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian UKM, Kementerian Perindusterian, dan Kadin) berimplikasi pada tidak adanya blueprint kebijakan yang strategis dalam kasus ini.
Lemahnya koordinasi ini berdampak pula pada minimnya sosialisasi dan persiapan di level daerah. Kepala-kepala daerah yang sebenarnya memiliki kewenangan sangat luas dalam hal ini masih disibukkan oleh persoalan domestik mereka sendiri, entah karena mereka tidak tahu dengan ACFTA atau memang belum memiliki visi untuk mempersiapkan hal tersebut. Padahal, dengan otonomi daerah, jangkar untuk memperkuat pertahanan ekonomi kita berada di level daerah, bukan pusat.
Kedua, Terlenanya pemerintah oleh penuntasan beberapa kasus yang dibesar-besarkan dan menguras energi. Selama ini, konstelasi politik domestik yang cukup memanas membuat publik dilengahkan oleh pelbagai kasus seperti Century yang pada dasarnya kontraproduktif dengan upaya menghadapi problem ACFTA ini.
Dalam kurun waktu 100 hari pertama SBY-Boediono, masyarakat hanya tahu beberapa kasus “heboh” seperti Cicak-Buaya, Bibit-Hamzah, atau Skandal Bank Century yang menguras energi para pengambil keputusan. Program 100 hari? Wallahu a’lam. Bahkan acara sekaliber National Summit yang sebenarnya difokuskan untuk menuntaskan program awal tahun pun “kalah saing” oleh kasus-kasus di atas.
Sehingga, wajar jika kemudian persoalan ACFTA hanya menjadi konsumsi pihak-pihak yang terkait dengan Kementerian Perdagangan saja. ACFTA tidak membumi hingga ke level daerah yang nantinya akan sangat terdampak oleh pemberlakukan sistem ini. Akibatnya, ketika 1 Januari 2010 pemerintah mengumumkan pemberlakukan ACFTA secara efektif, kita pun “kelabakan”.
Ketiga, daya saing produk Indonesia masih belum kompetitif. Hal ini disebabkan oleh kedua faktor di atas, di mana problem birokrasi dan kelengahan pemerintah membuat tidak disiapkannya kualitas produksi untuk meningkatkan daya saing. Ketika daya saing produk dalam negeri tidak kompetitif, muncul kekhawatiran akan didominasinya pasar domestik oleh produk asing.
Di sisi lain, pemerintah seakan terjebak oleh program-program populis, seperti BLT atau subsidi BBM, tanpa memperhatikan konsekuensi-konsekuensi struktural dari kemiskinan di masa depan (Yustika, 2003). Padahal, dalam kurun waktu 2004-2009, sebetulnya masih mungkin bagi Indonesia untuk memperkuat jangkar ekonomi rakyat dan UMKM untuk dihadapkan pada kompetisi terbuka melawan produk Cina.
Bagaimana dengan Kalimantan Selatan? Pada dasarnya, Kalimantan Selatan masih belum banyak terdampak oleh arus perdagangan bebas ini. Akan tetapi, jangan salah. Masuknya produk Cina ke Kalimantan Selatan akan berdampak pada pola dan preferensi konsumsi masyarakat, sehingga terjadi persoalan “kalah saing” tersebut.
Sekadar mengambil contoh, kita dapat mulai mengamati handphone Cina yang mulai masuk ke Banjarmasin secara massif. Jika Kalsel tak mulai berbenah dalam transfer teknologi, dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan Indonesia akan menjadi konsumen “setia” dari produk-produk ini.
Ini akhirnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah. Skema Otonomi daerah telah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi daerah untuk mengembangkan potensinya secara efektif, terutama dalam mengantisipasi produksi lokal dan produk-produk unggulan khas daerah tersebut.
Dalam konteks Kalimantan Selatan yang sebentar lagi akan menghadapi Pemilihan Umum Kepala Daerah, keberlangsungan hal ini akan sangat ditentukan oleh sikap kepala daerah baru yang akan dipilih pertengahan 2010 nanti. Dengan gubernur/bupati/walikota yang memiliki visi global, kesiapan kita untuk menghadapi era perdagangan bebas yang lebih luas nanti akan diuji.
Jika kita analisis visi-misi para kandidat gubernur atau bupati, belum ada yang betul-betul serius mempersiapkan perekonomian daerah untuk menghadapi tantangan global. Padahal, jauh sebelum ini, Malaysia dan Thailand telah mempersiapkan diri untuk mengelola produksi mereka. Pun dengan modal desentralisasi di negara mereka.
Para kandidat masih terpaku pada proyek bernuansa pencitraan seperti “sembako murah”, “ekonomi kerakyatan”, atau “kemajuan” yang masih bersifat sangat abstrak. Lantas, bagaimana dengan agenda meningkatkan kualitas produk lokal? Bagaimana menjaga kuasa pertambangan agar tidak diberikan kepada jaringan korporatokrasi global? Atau, bagaimana menghadapi gempuran produk non-lokal di pasar domestik?
Saya kira, pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab oleh masing-masing kandidat sebelum benar-benar turun dalam pesta demokrasi lokal tahun ini. Mari memperkuat jangkar ekonomi Kalimantan Selatan demi kebaikan bersama.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar