Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Ada dua pertanyaan yang cukup mengganggu saya selama bergiat di beberapa organisasi mahasiswa: Pertama, apakah citra sebagai ‘aktivis mahasiswa’ menghalangi seorang mahasiswa untuk berprestasi, menghasilkan karya, atau mengembangkan kualitas diri? Kedua, apakah mahasiswa yang berprestasi secara akademik dianggap kurang ‘pas’ untuk menjadi aktivis?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul ketika saya dihadapkan pada fenomena munculnya dikotomi antara “aktivis mahasiswa” yang cenderung politis dan “mahasiswa akademis” yang cenderung apatis. Keduanya seakan terpisah; tersekat oleh garis batas imajiner yang menghalangi interaksi positif. Padahal, sejarah mencatat bahwa para tokoh bangsa, ketika menjadi mahasiswa, mampu menelurkan wacana-wacana perubahan tanpa harus membenturkan fungsinya sebagai mahasiswa.
Peran Mahasiswa Indonesia
Selama lebih dari 64 tahun kemerdekaan, mahasiswa Indonesia menempati posisi yang begitu vital, baik dalam perubahan politik, kontribusi pembangunan, serta bagian dari gerakan massa yang tidak mewacanakan perubahan. Mahasiswa Indonesia telah mentanfidzkan diri sebagai “pilar kelima demokrasi” –meminjam wacana Hariman Siregar— dan memosisikan diri dalam peran kontrolnya terhadap rejim politik.
Karakter mahasiswa Indonesia ini jarang dimiliki oleh mahasiswa di negara lain. Di Malaysia, misalnya, eksistensi Barisan Nasional selama lebih dari 3 dekade dapat dijelaskan melalui fenomena tidak berfungsinya kelas menengah dan mahasiswa sebagai kekuatan masyarakat sipil yang menjadi “hegemoni tandingan” –dalam kamus wacana Gramscian— dari masyarakat politik yang bermain di ranah kekuasaan.
Begitu pula di Singapura yang terkenal dengan korporatisme negara sebagai alat kontrol oposisi. Pengecualian mungkin hanya dilakukan untuk Filipina tahun 1986, itu pun dengan catatan ada kekuatan lain yang bermain dan gerakan mahasiswa tidak bertindak sebagai intelektual organik ataupun hegemoni dari gerakan massa tersebut.
Sehingga, peran mahasiswa Indonesia pun menjadi sedikit lebih “maju” dibandingkan dengan mahasiswa di negara lain. Anders Uhlin (2003) dalam disertasinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia” menempatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor penting dari gerakan prodemokrasi yang menumbangkan rejim otoritarian Suharto. Dalam pandangan Uhlin, mahasiswa menjadi elemen kelas menengah yang menentukan dalam gerakan massa tersebut, kendati kemudian dikooptasi oleh kekuatan-kekuatan lama yang “berganti baju” dan mereorganisasi kultur oligarkhi yang dulu kuat berjaya (Hadiz dan Robison, 2004).
Lantas, apakah sentralitas peran mahasiswa di era-era dulu tersebut berulang, terutama ketika publik dihadapkan pada pelbagai masalah seperti sekarang? Persoalannya tentu tidak sekadar mengulang “romantisme” dan “heroisme” sejarah pergerakan mahasiswa di era dulu. Ada faktor-faktor lain yang mendukung kapitalisasi isu yang berhasil menggerakkan mahasiswa. Misalnya, adanya dukungan eksternal dan momentum serta musuh bersama dari mahasiswa.
Patut dicatat, beberapa analis mencatat bahwa gerakan mahasiswa tahun 1998 mampu menumbangkan sebuah rejim otoriter karena adanya campur tangan militer di dalamnya (Lee, 2009). Faksionalisasi di tubuh TNI pada waktu itu telah membentuk sebuah kekuatan yang mendukung mahasiswa untuk menekan rejim yang telah rapuh, sehingga seakan-akan keberhasilan gerakan 1998 adalah keberhasilan gerakan mahasiswa. Padahal, dalam beberapa literatur, sebenarnya terjadi kontestasi elit pasca-reformasi yang menyebabkan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia sendiri berjalan begitu lamban, bahkan hingga sekarang.
Belajar dari hal ini, perlu kita cermati bahwa sebuah gerakan massa an sich belum mampu untuk membuat sebuah perubahan politik. Gerakan massa memerlukan apa yang disebut oleh Gramsci (seperti dikutip oleh Simon, 1999) sebagai “intelektual organik”. Di sanalah posisi mahasiswa seharusnya: tidak berat pada kepentingan rejim, tetapi aktif mendalami ilmunya serta mengabdikannya untuk kepentingan rakyat.
Reposisi Gerakan Mahasiswa?
Kembali pada pertanyaan penulis di atas, apakah seorang mahasiswa sejatinya menjadi “aktivis” atau “akademisi”? Jelas, dikotomisasi seperti ini mengada-ada. Jika menggunakan logika intelektual organik-nya Gramsci, seorang mahasiswa sejatinya adalah seorang pemikir, konseptor, dan penggagas yang ulung: mahasiswa memiliki prestasi secara akademik dan menawarkan sebuah gagasan melalui aktivitas perkuliahan. Akan tetapi, mahasiswa juga tak dapat lepas dari lingkungan sosial yang membentuknya: ia pun memiliki tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.
Maka, fungsi gerakan mahasiswa perlu pula direposisi. Jika selama ini paradigma gerakan mahasiswa adalah “agen perubahan” atau “kritikus kebijakan”, nuansa yang perlu ditambahkan adalah peran intelektual dan tawaran solusi konkret agar perubahan yang dijanjikan tidak menjadi omong kosong, dan muatan kritik tidak hanya menjadi slogan kosong.
Untuk itu, mahasiswa pun perlu membenahi diri. Sekurang-kurangnya, mahasiswa Indonesia perlu memiliki tiga karakteristik utama yang membedakannya dari elemen masyarakat lain:
Pertama, cerdas secara pemikiran, mampu merangkai kerangka visi untuk perubahan yang diinginkan. Kedua, stabil secara emosional, tidak terpancing oleh sentimen atau isu yang tidak jelas dan berpikir secara jernih dalam merumuskan langkah. Ketiga, dan ini yang terpenting, matang secara spiritual dan mampu menerjemahkan keyakinan agama ke dalam sikap perbuatan yang berdampak positif bagi lingkungannya.
Maka, dengan tiga karakter dasar tersebut, tidak perlu lagi ada dikotomi. Seorang mahasiswa, siapapun ia dan dari manapun latar belakangnya, adalah seorang intelektual. Sudah sewajarnya seorang mahasiswa menghasilkan karya dari tangan sendiri sebagai dedikasi intelektualitas dan keberpihakannya pada kebenaran.
Di sinilah posisi kita, para mahasiswa Indonesia, ditegakkan: dengan kata, pena, dan wacana, kita baktikan ilmu yang kita peroleh kepada agama, rakyat, dan bangsa untuk memberi harapan baru bagi negeri tercinta. Hidup mahasiswa Indonesia.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar