Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Kongres Demokrat yang akan digelar di Bandung, 21-23 Mei 2010 menjadi diskursus politik yang cukup hangat belakangan ini. Mengingat, kongres partai pemenang Pemilu 2010 ini akan menentukan arah dan figur utama partai ini di Pemilu 2014 yang akan datang.
Pertarungan Internal?
Menarik untuk disimak, Kongres Partai Demokrat tahun ini menyuguhkan pertunjukan politik menarik: ajang kontestasi internal untuk memperebutkan kursi Ketua Umum partai ternyata digelar dengan memanfaatkan ruang-ruang publik.
Proses pemilihan Ketua Umum --yang biasanya digelar dalam pertemuan tertutup dan dilaksanakan pada arena Kongres—kini melibatkan iklan-iklan politik serta adu kekuatan yang secara bebas disorot media.
Hal ini perlu ditelaah sebagai sebuah fenomena baru dalam politik Indonesia. Pakem politik lama yang menempatkan Pemilu sebagai arena persaingan ideologi, telah bergeser pada arena pencitraan masing-masing kelompok. Jika dulu orang berpolitik untuk mengaktualisasikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya: berpolitik demi kepentingan-kepentingan yang sangat pragmatis.
Jika demikian halnya, apa yang bisa kita baca dari proses politik yang begitu terbuka ini? Ada setidaknya tiga fenomena yang bisa kita petakan.
Pertama, Diskursus politik dalam kongres Partai Demokrat 2010 ini sangat terkait dengan “siapa” pengganti Presiden SBY pada 2014. Mengingat, tahun 2014 ini akan menjadi akhir dari masa bakti SBY dan akan muncul kompetisi baru di antara elit.
Sampai saat ini, tidak ada figur yang menonjol sebagai kader penerus SBY di tubuh internal Partai Demokrat. Oleh karena itu, momentum Kongres 2010 ini sangat krusial untuk menjadi alat penokohan dan penguatan kapasitas bagi “siapa” yang ingin menjadi pengganti SBY sebagai Presiden.
Maka, wajar saja jika semua kandidat mendeklarasikan diri secara terbuka. Kwartet A –Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Agus Hermanto, dan Marzuki Alie— memiliki kans yang relatif sama untuk bersaing. Kursi Ketua Umum dapat dibaca sebagai langkah awal menuju momentum 2014 nanti.
Kedua, kontestasi elit Partai Demokrat di Kongres 2010 ini akan menjadi momentum penentuan masa depan partai ke depan.
Tesis Michels (1915) menyatakan, semakin luas dan besar struktur organisasi sebuah partai, akan semakin rawan pula oligarki yang muncul. Atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, partai yang besar akan memunculkan kelompok-kelompok yang bersaing di struktur partai secara internal.
Selama ini, keberadaan SBY yang begitu kharismatik dan disegani oleh segenap kader sangat efektif dalam meredam konflik antarfaksi yang rawan muncul. Akan tetapi, bagaimana pasca-SBY? Jika tidak segera direkonsolidasi, Partai Demokrat akan sangat rawan terkena sindrom yang disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki” atau faksionalisasi secara berlebihan.
Ketiga, kongres Partai Demokrat telah menyajikan fenomena tersendiri dalam politik Indonesia, yaitu penggunaan “marketing politik” sebagai strategi kampanye.
Wacana yang menganalogikan partai politik sebagai korporasi dan voter sebagai konsumen dalam politik ini telah memberi wacana baru dalam politik Indonesia: ideologi politik bergeser ke arah kepentingan. Partai Demokrat –dan juga SBY— mampu mengejawantahkan hal ini sebagai kapital untuk memenangi Pemilu 2009 lalu.
Jika kita cermati dengan pisau analisis Hagopian (1996), misalnya, kita tak dapat secara jelas memosisikan di mana ideologi politik Partai Demokrat. Basis platform-nya sebagai Partai Tengah dan catch-all—terutama dalam basis kekuasaan negara atau ekonomi politik— memberi corak baru dalam politik Indonesia.
Jika argumen partai “catch-all” kita pakai untuk menjelaskan fenomena Partai Demokrat, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan: ideologi bukan lagi variabel utama dalam politik. Pencitraan yang sangat menentukan dalam kemenangan. It is all about “who gets what” in politics (Lasswell, 1950).
Menuju Wajah Baru
Terlepas dari kontestasi Kwartet-A di Partai Demokrat, ada sebuah fenomena menarik yang bisa ditelaah: munculnya kecenderungan penguatan sentrifugal pada partai politik, di mana partai bergerak mengikuti basis kepentingan masing-masing, bukan lagi ideologi (Sartori, 1996).
Artinya, ideologi partai tidak lagi menjadi batas penghalang interaksi partai. Belakangan, kita dapat melihat, partai dengan spektrum ideologi paling nasionalis seperti PDIP pun, pada beberapa kondisi mampu menjalin koalisi dengan PKS yang spektrum ideologinya dinilai sangat Islamis.
Fenomena ini seakan menjelaskan pada kita: Muncul kecenderungan baru dalam politik Indonesia yang menitikberatkan proses politik di parlemen sebagai basis utama dalam politik. Pemilu tidak lagi hanya dimaknai sekadar aktivitas rutin lima-tahunan, tetapi juga menjadi ajang kompetisi dan pencitraan untuk menggaet voter.
Hal tersebut memiliki dampak positif dan negatif: Positifnya, tingkat partisipasi politik –secara kuantitatif—akan meningkat, dan hal ini penting sebagai jalan bagi pendewasaan demokrasi ke depannya. Akan tetapi, negatifnya, Politik menjadi terancam kehilangan “nilai” yang selama ini mewujud dalam bentuk ideologi.
Arena politik direduksi menjadi hanya seperti “proses berniaga di pasar”, di mana partai menjadi penjual dan pemilih sebagai pembeli. Jelas, dalam konteks ini aspek nilai, idealisme, dan deliberasi menjadi tergadai.
Maka, kita perlu mencatat bahwa Partai Demokrat perlu merevitalisasi diri pasca-Kongres ke depan. Revitalisasi ini bukan hanya terkait mempersiapkan 2014, tetapi juga dalam soal-soal identitas dan garis sikap partai.
Kita berharap, Partai Demokrat ke depan mampu menunjukkan sebagai partai yang memegang legitimasi rakyat dengan basis sikap dan ideologinya. Selamat berkongres, Partai Demokrat.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Kongres Demokrat yang akan digelar di Bandung, 21-23 Mei 2010 menjadi diskursus politik yang cukup hangat belakangan ini. Mengingat, kongres partai pemenang Pemilu 2010 ini akan menentukan arah dan figur utama partai ini di Pemilu 2014 yang akan datang.
Pertarungan Internal?
Menarik untuk disimak, Kongres Partai Demokrat tahun ini menyuguhkan pertunjukan politik menarik: ajang kontestasi internal untuk memperebutkan kursi Ketua Umum partai ternyata digelar dengan memanfaatkan ruang-ruang publik.
Proses pemilihan Ketua Umum --yang biasanya digelar dalam pertemuan tertutup dan dilaksanakan pada arena Kongres—kini melibatkan iklan-iklan politik serta adu kekuatan yang secara bebas disorot media.
Hal ini perlu ditelaah sebagai sebuah fenomena baru dalam politik Indonesia. Pakem politik lama yang menempatkan Pemilu sebagai arena persaingan ideologi, telah bergeser pada arena pencitraan masing-masing kelompok. Jika dulu orang berpolitik untuk mengaktualisasikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya: berpolitik demi kepentingan-kepentingan yang sangat pragmatis.
Jika demikian halnya, apa yang bisa kita baca dari proses politik yang begitu terbuka ini? Ada setidaknya tiga fenomena yang bisa kita petakan.
Pertama, Diskursus politik dalam kongres Partai Demokrat 2010 ini sangat terkait dengan “siapa” pengganti Presiden SBY pada 2014. Mengingat, tahun 2014 ini akan menjadi akhir dari masa bakti SBY dan akan muncul kompetisi baru di antara elit.
Sampai saat ini, tidak ada figur yang menonjol sebagai kader penerus SBY di tubuh internal Partai Demokrat. Oleh karena itu, momentum Kongres 2010 ini sangat krusial untuk menjadi alat penokohan dan penguatan kapasitas bagi “siapa” yang ingin menjadi pengganti SBY sebagai Presiden.
Maka, wajar saja jika semua kandidat mendeklarasikan diri secara terbuka. Kwartet A –Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Agus Hermanto, dan Marzuki Alie— memiliki kans yang relatif sama untuk bersaing. Kursi Ketua Umum dapat dibaca sebagai langkah awal menuju momentum 2014 nanti.
Kedua, kontestasi elit Partai Demokrat di Kongres 2010 ini akan menjadi momentum penentuan masa depan partai ke depan.
Tesis Michels (1915) menyatakan, semakin luas dan besar struktur organisasi sebuah partai, akan semakin rawan pula oligarki yang muncul. Atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, partai yang besar akan memunculkan kelompok-kelompok yang bersaing di struktur partai secara internal.
Selama ini, keberadaan SBY yang begitu kharismatik dan disegani oleh segenap kader sangat efektif dalam meredam konflik antarfaksi yang rawan muncul. Akan tetapi, bagaimana pasca-SBY? Jika tidak segera direkonsolidasi, Partai Demokrat akan sangat rawan terkena sindrom yang disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki” atau faksionalisasi secara berlebihan.
Ketiga, kongres Partai Demokrat telah menyajikan fenomena tersendiri dalam politik Indonesia, yaitu penggunaan “marketing politik” sebagai strategi kampanye.
Wacana yang menganalogikan partai politik sebagai korporasi dan voter sebagai konsumen dalam politik ini telah memberi wacana baru dalam politik Indonesia: ideologi politik bergeser ke arah kepentingan. Partai Demokrat –dan juga SBY— mampu mengejawantahkan hal ini sebagai kapital untuk memenangi Pemilu 2009 lalu.
Jika kita cermati dengan pisau analisis Hagopian (1996), misalnya, kita tak dapat secara jelas memosisikan di mana ideologi politik Partai Demokrat. Basis platform-nya sebagai Partai Tengah dan catch-all—terutama dalam basis kekuasaan negara atau ekonomi politik— memberi corak baru dalam politik Indonesia.
Jika argumen partai “catch-all” kita pakai untuk menjelaskan fenomena Partai Demokrat, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan: ideologi bukan lagi variabel utama dalam politik. Pencitraan yang sangat menentukan dalam kemenangan. It is all about “who gets what” in politics (Lasswell, 1950).
Menuju Wajah Baru
Terlepas dari kontestasi Kwartet-A di Partai Demokrat, ada sebuah fenomena menarik yang bisa ditelaah: munculnya kecenderungan penguatan sentrifugal pada partai politik, di mana partai bergerak mengikuti basis kepentingan masing-masing, bukan lagi ideologi (Sartori, 1996).
Artinya, ideologi partai tidak lagi menjadi batas penghalang interaksi partai. Belakangan, kita dapat melihat, partai dengan spektrum ideologi paling nasionalis seperti PDIP pun, pada beberapa kondisi mampu menjalin koalisi dengan PKS yang spektrum ideologinya dinilai sangat Islamis.
Fenomena ini seakan menjelaskan pada kita: Muncul kecenderungan baru dalam politik Indonesia yang menitikberatkan proses politik di parlemen sebagai basis utama dalam politik. Pemilu tidak lagi hanya dimaknai sekadar aktivitas rutin lima-tahunan, tetapi juga menjadi ajang kompetisi dan pencitraan untuk menggaet voter.
Hal tersebut memiliki dampak positif dan negatif: Positifnya, tingkat partisipasi politik –secara kuantitatif—akan meningkat, dan hal ini penting sebagai jalan bagi pendewasaan demokrasi ke depannya. Akan tetapi, negatifnya, Politik menjadi terancam kehilangan “nilai” yang selama ini mewujud dalam bentuk ideologi.
Arena politik direduksi menjadi hanya seperti “proses berniaga di pasar”, di mana partai menjadi penjual dan pemilih sebagai pembeli. Jelas, dalam konteks ini aspek nilai, idealisme, dan deliberasi menjadi tergadai.
Maka, kita perlu mencatat bahwa Partai Demokrat perlu merevitalisasi diri pasca-Kongres ke depan. Revitalisasi ini bukan hanya terkait mempersiapkan 2014, tetapi juga dalam soal-soal identitas dan garis sikap partai.
Kita berharap, Partai Demokrat ke depan mampu menunjukkan sebagai partai yang memegang legitimasi rakyat dengan basis sikap dan ideologinya. Selamat berkongres, Partai Demokrat.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
1 komentar:
mantap anak muda! teruskan berjihad dengan penamu.. buat kalimantan selatan bangga krn telah memiliki pemuda cerdas seperti dirimu..
Posting Komentar