Jumat, 02 April 2010

Muhammadiyah, Akar Sosial, dan Pembaharuan


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Tak terasa, usia Persyarikatan Muhammadiyah telah mencapai satu abad. Tepat pada 29 Dzulhijjah 1331 H yang lalu, seorang pembaharu bernama Muhammad Darwisy (kemudian dikenal sebagai KH. Ahmad Dahlan) mendirikan sebuah organisasi bernama Muhammadiyah. Penulis mencoba untuk memandang Muhammadiyah dari kacamata penulis sendiri yang subjektif, semoga dapat diobjektivisasi oleh pembaca sekalian.

Akar Sosial Muhammadiyah

Membicarakan Muhammadiyah tak dapat lepas dari peran pendirinya, Muhammad Darwisy. Siapakah Muhammad Darwisy atau KH. Ahmad Dahlan ini? Beliau adalah putera seorang abdi keraton Yogyakarta yang mengurus Masjid Gede Yogyakarta. Wajar jika seorang Darwisy tumbuh di lingkungan yang akrab dengan aktivitas keislaman dan kritis terhadap sikap keberagamaan masyarakat pada waktu itu. Hal ini membawa beliau pergi menuntut ilmu ke Timur Tengah, dan berguru pada seorang mufti’ kelahiran Minangkabau, Ahmad Chatib. Dari sinilah corak keberagamaan beliau mulai terwarnai.

Bersamaan dengan kepergian beliau tersebut, nuansa pemikiran Islam tengah diwarnai oleh pemikiran tiga serangkai pembaharu dari Mesir: Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Secara akademis, KH. Ahmad Dahlan tidak pernah menjadi murid dari ketiga syaikh ini. Akan tetapi, di usianya yang cemerlang, karya-karya tiga ulama besar ini telah dilahap oleh KH. Ahmad Dahlan. Maka, corak pemikiran KH. Ahmad Dahlan ketika pulang ke Indonesia menjadi khas: perpaduan nuansa salaf dan pembaharuan pemikiran.

Pulang ke tanah air, apa yang telah dibentuk dalam idealisasi pemikiran KH. Ahmad Dahlan menghadapi tantangan. Kondisi masyarakat Indonesia tidak seindah yang beliau bayangkan ketika di luar negeri. Disparitas yang luar biasa, kemiskinan akibat penjajahan, Kebodohan, serta tidak lurusnya akidah umat Islam menyebabkan kontradiksi-kontradiksi. Tercetuslah gagasan untuk membuat organisasi, yang kemudian bernama Muhammadiyah pada tahun 1912.

Motivasi KH. Ahmad Dahlan sederhana saja. Beliau melihat realitas objektif masyarakat Indonesia pada awal abad ke-20 yang bergelut di dalam kemiskinan. Sementara di sekeliling istana, para punggawa kerajaan yang menjalin oligarki dengan penjajah Belanda berada di titik kekuasaan dan kekayaan. Terciptalah disparitas sosial yang begitu luar biasa. Di lain pihak, kebodohan yang merajalela mengantarkan kaum pribumi sebagai “warga kelas dua” dalam tatanan sosial pada waktu itu, dan mendekatkan mereka pada klenik yang menjadi musuh utama dalam Akidah Islam.

Dengan realitas objektif ini, gagasan untuk membentuk Muhammadiyah pun bangkit. Lantas, bagaimana Muhammadiyah kemudian menghadapi semua ini? KH. Ahmad Dahlan mengambil langkah-langkah yang elegan dan tidak elitis: pendidikan. Beliau membuat basis-basis pengajian di level desa, menginisiasi sekolah-sekolah Muhammadiyah di berbagai lokasi, membentuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (PKO), dan berbagai bentuk pemberdayaan masyarakat lain.

Semangat turun ke masyarakat tercermin dari pengajian yang beliau adakan. Suatu ketika, KH. Ahmad Dahlan menyajikan makna Surah Al-Ma’un kepada murid-muridnya, ayat per ayat. Selama beberapa pekan, KH. Ahmad Dahlan tidak beranjak pada pembahasan tersebut. Bertanyalah murid-muridnya. Beliau menjawab ringkas, “sudahkah ayat tersebut dipraktikkan?” Murid-murid beliau kebingungan. Setelah KH. Ahmad Dahlan menerangkan, barulah murid-muridnya paham. Ternyata, ayat tersebut menyuruh umat Islam untuk menyantuni anak yatim, dan manifestasinya harus melalui perhatian kepada anak-anak yatim yang sangat banyak jumlahnya pada waktu itu.

Cerita sederhana tersebut menekankan satu hal: Muhammadiyah sangat mementingkan kepedulian sosial. Oleh karena itulah KH. Ahmad Dahlan tidak menarik-narik bendera Muhammadiyah ke ranah politik, karena tugas-tugas sosial untuk membawa kemaslahatan pada ranah sosial saja masih banyak yang belum diselesaikan oleh Muhammadiyah.

Pada era tersebut, sebenarnya bukan tidak mungkin bagi Muhammadiyah untuk masuk ke ranah politik. Ketika itu telah berdiri Syarekat Islam yang bertransformasi dari sebuah kartel dagang menjadi partai politik Islam. Akan tetapi, problematika sosial sangat dirasa penting untuk digarap melalui pendekatan sosial juga. Ini yang menjadi basis sikap Muhammadiyah pada waktu itu.

Untuk mengatasi kerusakan aqidah umat Islam, KH. Ahmad Dahlan merumuskan TBC, Takhayul, Bid’ah. dan Churafat sebagai penyakit tauhid pada waktu itu. Akibatnya, muncul resistensi dari kaum tradisionalis yang merasa pemahaman keagamaan mereka diganggu. Persinggungan yang tak terhindarkan dengan kaum tradisional ini membawa dinamika tersendiri ketika diadakan pertemuan Islam sedunia pada tahun 1927 di Mekkah, sebagai respons atas keruntuhan Khilafah Utsmaniyah. Muncullah Nahdhatul Ulama pada tahun 1927 sebagai wadah yang memayungi golongan tradisionalis. Kerap kali di beberapa daerah terjadi perdebatan mengenai beberapa persoalan fiqh, seperti qunut, tawassul, shalawat, atau ushalli.

Akan tetapi, meskipun berbeda haluan pemikiran, NU dan Muhammadiyah tidak lantas masuk pada konflik horizotal yang berlarut-larut pada level nasional. Kebutuhan untuk bersatu, serta kesibukan mengurus basis sosial masing-masing juga lebih urgen. Hal inilah yang menyebabkan kedua organisasi ini, bersama-sama organisasi lain, masuk mendirikan Masyumi pada 1945 sebagai kekuatan politik mewakili umat Islam.

Revitalisasi Sikap Satu Abad

Ketika usia Muhammadiyah telah mencapai satu abad, bagaimana peran Muhammadiyah? Mengacu pada akar sosial Muhammadiyah di atas, dapat kita simpulkan bahwa Muhammadiyah lahir dan tumbuh dari rakyat yang termarjinalkan. Atau, dalam bahasa Arab, kaum mustadh’afin. Muhammadiyah bukan organisasi yang abai terhadap realitas, atau justru mengalienasi diri dengan kajian keagamaan yang bersifat artifisial dan simbolik. Di sinilah posisi dakwah Muhammadiyah dibentuk.

Muhammadiyah memerangi Takhayul, Bid’ah, dan Churafat (TBC). Akan tetapi, Muhammadiyah tidak memeranginya dengan membid’ahkan golongan-golongan tersebut di forum pengajian, tetapi mendirikan sekolah untuk memotong generasi mubtadi’-mubtadi’ tersebut. Dakwah kultural diejawantahkan melalui pengabdian masyarakat, pendidikan, dan beragam cara yang memaknakan akar sosialnya.

Dengan demikian, sudah seyogianya pula kedekatan terhadap rakyat ini melandasi sikap gerak Muhammadiyah. Sangat tidak tepat jika ada yang mencoba untuk membawa Muhammadiyah kepada warna salah satu partai politik tertentu, karena pengabdian kepada masyarakat dalam jalan dakwah Muhammadiyah tidak terbawa oleh tarikan-tarikan kepentingan dan kekuasaan semu.

Upaya untuk membawa Muhammadiyah ke ranah politik, atau mengaitkan Muhammadiyah kepada partai politik tertentu justru kontraproduktif dengan logika di atas. Sudah saatnya kita tidak membenturkan fungsi sosial Muhammadiyah kepada tarikan-tarikan kekuasaan. Apalagi, jika partai tersebut memiliki warna dan garis ideologi yang sama sekali berbeda dengan Muhammadiyah.

Di sini, wajar jika Muhammadiyah kemudian mencoba untuk memproteksi diri dengan mengeluarkan peraturan bahwa anggota partai politik mesti memilih keanggotaan. Jika sampai terjadi dualisme dan terjadi tarikan kepentingan, justru akan terjadi kebingungan: di mana keberpihakan sang kader ditetapkan? Akan tetapi, hal ini perlu dilakukan kepada semua partai politik, bukan hanya pada partai tertentu saja.
.
Akan tetapi, meskipun memiliki sikap untuk tidak masuk ke ranah politik, bukan berarti Muhammadiyah apolitis. Sejarah mencatat, Muhammadiyah pernah menjadi anggota kehormatan Partai Masyumi dan para pendiri Masyumi seperti Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Muhammadiyah. Akan tetapi, kekuasaan bukan tujuan utama Muhammadiyah. Wacana Tajdid yang disuarakan oleh Muhammadiyah tidak melihat kekuasaan sebagai alat utama untuk mencapai masyarakat yang madani.

Muhammadiyah memaknai tajdid dalam kerangkanya yang integral sebagai kerangka pembangunan umat, yang tercermin dalam pokok-pokok pikiran Muhammadiyah di Anggaran Dasar Muhammadiyah. Oleh karena itu pula Muhammadiyah mengenal Tauhid Sosial, sebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dalam kepercayaan kepada Allah. Konsep yang ditelurkan oleh Prof. Dr. Amien Rais, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini memiliki praksis yang relevan dengan jiwa Muhammadiyah yang berakar dari masyarakat.

Dengan bentukan logika di atas, bagaimana menghadapi Muktamar 2010? Jelas, seabad Muhammadiyah harus ditanfidzkan sebagai awal pembaharuan. Tidak hanya pembaharuan garis dan jiwa Muhammadiyah, tetapi juga garis dan jiwa umat Islam Indonesia. Sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah akan mewajahkan umat Islam Indonesia di level internasional. Di sinilah pentingnya Muktamar untuk menerjemahkan praksis Tajdid yang senantiasa didengungkan oleh Muhammadiyah.

Maka, sebagai umat Islam Indonesia, penulis berharap banyak pada Muhammadiyah. Semoga tajdid Muhammadiyah mampu memberi kontribusi terhadap kebangkitan umat Islam, terutama di Indonesia. Selamat bermuktamar, Muhammadiyah!

*) Penulis adalah Alumnus SD Muhammadiyah 8 Banjarmasin

Tidak ada komentar: